Laman

Jumat, 19 April 2013

17. Kunjungan Malam



Dalam goa di balik air terjun itu dua wajah yang hampir sama saling memandang tak berkedip.  Sesaat kemudian kedua orang yang masih sama-sama muda, yang satu gagah dan yang satu cantik itu berseru hampr berbarengan:

“Sin-Te…!”  Sahut gadis cantik itu dengan suara bergetar sambil memandang pemuda tampan di depannya yang bukasn lain adalah Hong-Sin.

“Giok-cici…!” Hong Sin-pun terharu kemudian maju merangkul cicinya itu.  Keduanya terdiam sampai lama.  Semua yang terjadi di masa lalu saat kehancuran tempat tinggal mereka dan kematian seluruh anggota keluarga mereka, bahkan sampai akhirnya mereka berdua terpisah kembali terbayang dengan jelas.

Keadaan membisu itu berlangsung hingga beberapa saat.  Tanpa mereka sadari, bayangan gadis cantik yang lain yang berdiri di dekat mereka  sudah lenyap dari tempat itu.

“Sin-te, baik-baikkah kau selama ini? Apakah kau sudah menemukan jejak penghianat yang telah menghancurkan keluarga kita?...”  Akhirnya terdengar suara lembut gadis berjubah putih yang tangan kirinya memegang sebuah topeng kemala.

“Giok-cici, aku baik-baik saja, namun maafkan adikmu yang begitu bebal hingga saat ini belum berhasil menemukan pengkhianat tersebut…”  Kata Hong Sin sambil menundukkan wajahnya.

“Tidak apa-apa Sin-te, bukan salahmu.  Cicimu-pun sampai saat ini masih meraba-raba.  Pengkhianat itu sangat licin dan licik.  Namun cici sudah menemukan sedikit titik terang, hanya saja masih sangat sulit untuk memastikannya…”

“Apa maksud cici?” Tanya Hong Sin dengan kening berkerut.

“Cici tak dapat memberi penjelasan panjang lebar saat ini.  Tapi yang cici ingat satu dari para pengkhianat itu membokong ibu kita dari belakang dengan “Hawa pukulan penghancur jantung”…”

“Hmmm…Hawa Racun Penghancur Jantung”.  Cici, bukankah ilmu pukulan ini adalah ilmu aliran Tok-Sia-Pay yang telah musnah limapuluh tahun lalu?”

“Benar adikku, dahulu satu-satunya orang yang masih mewarisi ilmu ini adalah paman Siao Kan.”  Sahut gadis itu dengan suara perlahan.

 “Paman Siao Kan?...” Hong Sin terkejut mendengar perkataan cicinya.  Dia tahu paman Siao Kan adalah salah satu penjaga Utara Lembah Tiga Dewa.   Memang sebelum menjadi pembantu ayahnya,  paman Siao Kan adalah seorang tokoh sesat yang berjuluk Tok-Ciang-Mo.  Namun setelah di taklukkan ayahnya, beliau menjadi orang yang sangat di percayai ayahnya dahulu. “Apa maksud cici?...apa cici mempunyai kecurigaan terhadap paman Siao Kan?”

“Cicimu tidak mencurigainya, Sin-te.  Sampai akhir hayat paman Siao Kan, beliau masih berjuang di sisi ayah walaupun mereka akhirnya terbunuh karena kehabisan tenaga akibat Racun Pelemah Syaraf yang keji.  Hanya saja yang cici temukan dari penyelidikan cici selama ini cici tahu di Mo-Kiong-Bun ini ada dua orang yang juga menguasai ilmu keji itu dengan sangat sempurna...dan mereka adalah Toa-Huhoat dan Majikan Topeng Emas sendiri”

“…???” Hong sin menatap kedua bola mata cicinya untuk sesaat.  “Aku mengerti

Gadis itu tersenyum manis kemudian menarik adiknya dalam pelukannya: “Sin-Te, Ing-Moi sudah menceritakan semuanya padaku.  Dengan adanya kamu cici yakin tabir gelap ini akan terkuak.  Akh…Lembah Tiga Dewa memiliki bintang Cemerlang sepertimu sungguh suatu berkah yang sangat membanggakan.  Semoga ayah-ibu di alam sana bangga melihatmu…”

****

Tiga Bulan berlalu dengan cepat…

Gunung Siong San Nampak penuh kesibukan beberapa hari belakangan ini.  Beberapa hari di depan nanti adalah pertemuan tertutup dari para jago-jago golongan putih yang di pelopori oleh Chit-Pai Chit-Cu.  Tujuannya adalah untuk menghimpun kekuatan untuk mengatasi kemelut dunia persilatan saat ini.

Kuil Siauw-Lim-Si benar-benar mengadakan persiapan penjagaan yang ketat sekali.  Semua kekuatan di kerahkan dengan membantuk tiga lapis barisan 18 Lo-Han di tiap sudut di delapan penjuru sehingga sangat sulit bagi orang-orang yang tidak di undang untuk menyusup tanpa di ketahui.  Apalagi selain tokoh-tokoh Chit-Pai Chit Cu, ada juga 14 Duta Langit Bumi dari Thian Te Tok Pay yang tidak menampakkan diri.

Satu hari menjelang di adakannya pertemuan, sudah ada hampir 50-an tokoh golongan putih yang telah hadir di tempat tersebut.  Mereka rata-rata merupakan tokoh-tokoh penting yang pilih tanding.  Diantaranya ada para ketua dari Sembilan partai besar  Dua Istana dan perkumpulan-perkumpulan kecil.
***

Tidak ada gangguan apa-apa sepanjang siang hari.  Namun menjelang malam hari, suasana puncak gunung Siong-San nampak sepi dan hening.  Sementara Thai-Su Lojin dan Pek-Sim-Sian  sementara terlibat pembicaraan yang serius dengan para tokoh-tokoh persilatan mengenai hal-hal yang akan di lakukan pada pertemuan besok, tiba-tiba di tengah ruangan itu  muncul bayangan keemasan yang entah datang dari mana.

“Omitohud…!”  Suatu suara yang agung dan perlahan menggema di telinga masing-masing orang yang ada dalam ruangan tersebut.  Meskipun hanya perlahan namun sanggup menggetarkan hati tiap orang yang ada.  Saat semua memperhatikan dengan jelas, tampaklah Bu-Beng Kim-Hud telah berdiri di tengah ruangan tersebut.  Sebelum Kim-Goan Taysu mengatakan sesuatu, sudah di dahului orang…

“Bersiaplah para sicu (orang-orang gagah) sekalian kita kedatangan tamu.  Barisan lo han lapis pertama dan kedua sudah dilumpuhkan. Kim-Goan Ciangbunjin, harap undang Sam-Hud menjaga bagian belakang kuil, musuh terlalu banyak.  Thai-Su Sicu, harap bagi dua seluruh ho-han yang ada untuk membantu barisan lo han untuk menghadang para pasukan Topeng Emas dan Perak di Jalan Utama dan Pek-Sim Sicu harap pimpin kawan-kawan yang lain untuk menyambut orang-orang Giam-Bong-Kok di pintu Timur…”  sesaat kemudian tubuh manusia sakti itu sudah duduk bersila di tengah ruangan tersebut.  Namun masih terngiang suaranya yang menyusul: “jangan khawatirkan pintu timur, itu sudah di tangani Ciu-Sian Sin-Ci dan 2 Duta Langit Thian-Te Tok-Pay.  Pinceng sendiri bersama nona Seng akan menjaga di tempat ini…”

Waktu yang hanya sekejap itu membiaskan ketegangan yang serius di wajah masing-masing yang ada dalam ruangan tersebut.  Namun mereka adalah tokoh-tokoh penting di jamannya.  Mengingat para tokoh puncak dunia persilatan seperti Bu-Beng Kim-Hud yang turun tangan langsung menandakan bahwa apa yang mereka akan hadapi bukan perkara sepele.  Sekilas saja mereka langsung mengerti tugas mereka dan berkelebat keluar ruangan.
***

Thai-Su Login  dan kawan-kawan berkelebat cepat  menuju ke jalan masuk utama.  Dari jauh mereka mendengar bentakan-bentakan menggelegar di selingi suara tawa-tawa yang bernuansa sihir yang di keluarkan dengan tenaga yang kuat sabung menyabung .   Tampak barisan Lo-Han yang bergerak dengan teratur di bawah tekanan dari tigapuluh Sembilan barisan gabungan Para Duta Topeng Emas dan Topeng Perak yang memang sangat kuat.  Meskipun tekanan tersebut sangat kuat namun barisan Lo-Han yang terlatih ini masih sanggup bertahan meski sangat jarang membalas.

Thai-Su Lojin maklum  akan kondisi kritis ini.  Namun para pendekar yang menyertainya walaupun rata-rata memiliki ilmu kepandaian yang tidak di bawah para Duta Topeng Emas, namun mereka tidak memiliki barisan kerja sama yang terlatih seperti lawan.  Takutnya mereka hanya akan terjebak oleh barisan lawan dan terkurung denga barisan Lo-Han di dalam. 

Memikirkan hal ini cepat dia berseru  pada kawan-kawannya: “ Jangan menyerang berpencar. Sembilan belas orang saling memegang bahu dengan tangan kiri membentuk lingkaran besar di bagian luar yang bertugas menahan serangan-serangan lawan  sedangkan delapan orang lingkaran kecil  yang memiliki jurus-jurus penyerang paling ampuh di barisan dalam utk mencari celah menyerang musuh.  Kita akan mendobrak kepungan dari bagian barat, kemudian setelah beberapa gebrakan kita akan mundur dan memutar untuk membobol bagian utara.”

Mendangar akan instruksi ini beberapa pendekar yang telah siap untuk terjun ke gelanggang mengurungkan niat mereka dan segera membentuk barisan tersebut dan mulai menyerbu di arah barat.  Barisan Duta Topeng Emas dan Topeng Perak terkejut melihat bantuan lawan ini.  Walaupun bantuan yang datang ini bukanlah barisan terlatih seperti meraka, namun karena semua adalah orang-orang pilih tanding dari 5 partai besar dan beberapa perkumpulan maka mereka akhirnya dapat menemukan bentuk pertahanan dan penyerangan serta dapat bekerja sama menggoyahkan barisan lawan yang sedang mendesak para Lo-han dari Siauw-Lim-Si tersebut.  Sedikit banyak ini memberi sedikit kelonggaran pada para Lo-Han tersebut untuk kembali menata pertahanan mereka.

Pertarungan kembali di gelar dengan lebih seru.  Masing-masing pimpinan barisan berusaha dengan secepatnya untuk menemukan menemukan kelemahan lawan dan memperbaiki barisan mereka.  Sehingga tak terasa pertarungan telah berjalan dua jam lebih saling serang dan bertahan dengan ketatnya. 

Tak lama kemudian terdengar siutan nyaring dari luar barisan.  Entah dari mana datangnya dalam gelanggang tersebut telah bertambah dua orang yang memiliki sepak terjang yang mengerikan.  Yang pertama seorang pemuda tampan berpakaian mewah layaknya seorang pangeran.  Di tangannya tampak sepasang Siang-Pit bergagang Tulang.  Dia adalah Sia Tek Hun, yaitu Sam-Hu Hoat dari Mo-Kiong-Bun.  Dan yang seorang lagi  Seorang pemuda berpakaian Hitam yang mengandalkan tangan beracun yang bukan lain adalah Su-Hu Hoat, Gan Kongcu.

Kedua orang ini muncul bagaikan iblis saja dari arah belakang dan berkelebat menyambar-nyambar bagaikan malaikat El-Maut.  Thai-Su Lojin dan beberapa ciangbunjin terkejut setengah melihat lawan tangguh ini yang kemampuannya tidak di bawah mereka sehingga untuk sesaat barisan para pendekar hamper kebobolan dengan matinya empat orang di bagian belakang.

Setelah memberi kode pada Kim-Goan Taysu, kedua orang ini mengeluarkan bentakan menggelegar dan melesat keluar dari barisan sambil melancarkan pukulan andalan masing-masing untuk menyambut  jurus Cui-Beng Kut-Pit-ciang dari Sia Tek Hun, dan Ngo-Kwi-Tok Sin-Khi (Hawa Sakti Lima Racun Iblis) dari Gan Kong-cu.

“Dhuaaaarrrrr….Dhuaaaaarrrr…….Treaaaaaannnng…….Traaaaaaaaaanng”  empat bayangan terpisah.  Thai-Su Lojin dan Kim-Goan Taysu terlempar kembali ke dalam barisan.  Dada mereka sesak akibat hawa racun ganas yang semakin cepat menjalar.  Segera keduanya duduk bersila menahan bekerjanya racun yang menyusup melalui lengan mereka.

Sementara Sia Tek Hun dan Gan Kong-cu juga tergentak mundur lima langkah dengan dada sesak, namun cepat mereka menelan obat-obat pulung yang mereka bawa untuk menyembuhkan luka dalam mereka.

“Hahahaaa…Hwesio hidung kerbau busuk, walaupun kau dapat menahan pukulanku, namun kau takkan lolos dari racun Ngo-Kwi-Tok Sin-Khi milikku.   Relakanlah hatimu bertemu dengan Dewa Kematian di alam baka sana…”

Thai-Su Lojin dan Kim-Goan Taysu tidak menjawab.  Butiran keringat sebesat jagung mengalir deras dari dahi mereka.  Keempat Ciangbunjin yang ada di dalam barisan itu masing-masing segera bersila di belakang kedua orang tersebut untuk membantu mengusir racun. 

Namun belum sempat mereka berbuat apa-apa tiba-tiba entah dari mana di dalam barisan tersebut telah bertambah tiga bayangan.  Salah satu di antaranya seorang pengemis setengah baya yang langsung mengangsurkan dua Pil Kim-Kak-Tan pada Thai-Su Lojin dan Kim-Goan Taysu yang langsung meminumnya sehingga tak lama kemudian racun ganas yang menyerang mereka hilang sama sekali.
Wajah Sam Hu-Hoat dan Su Hu-Hoat tampak mengkerut melihat tiga pendatang baru ini.  Dari gerakan ketiganya jelas bahwa mereka termasuk lawan yang tangguh apalagi dari tubuh ketiganya dia mencium hawa yang aneh yang dia tahu merupakan tandingan dari ilmu beracunnya, yaitu Hawa Thian-Te Tok=Khi. Pengemis setengah baya yang bukan lain adalah Hiat-Ih-Sin-Kay (Pengemis Sakti Berjubah Darah) Lam Ciong itu tersenyum pada para ciangbunjin:

“Silahkan teruskan menggempur barisan lawan.  Dua orang ini bagian kami…” Baru selesai perkataannya tiba-tiba tubuh pengemis itu sudah melesat cepat menyerang dengan pukulan Hiat-Ih Sin-Ciang (Telapak sakti Jubah Darah kearah Gan Kongcu. 

Sebenarnya dengan ilmu ini sekalipun sebenarnya masih sulit untuk menandingi sama kuat dengan ilmu racun milik Gan Kong-cu, namun beberapa waktu yang lalu, Hong-Sin telah mewariskan Thian-Tee Tok-Khi pada keempat Duta langitnya sehingga saat mereka melebur ilmu itu dengan ilmu-ilmu mereka maka mereka tak usah takut lagi dengan segala ilmu-ilmu racun manapun.

Sementara itu dua pria berjubah hitam di belakang pengemis sakti itu yang ternyata adalah dua orang di antara Tee-Kiam Hu-Hoatnya lembah Sam Sian Kok dengan dua pedang yang berbeda sudah melasat menyerang Sam Hu-Hoat Sia Tek Hun dengan barisan ilmu “Sepuluh Pedang Sakti” yang dahsyat.

Secara terpisah, ilmu para duta sakti ini setingkat lebih rendah dari Hiat-Ih-Sin-Kay, namun jika mereka bermain pasangan, maka mereka akan jauh lebih kuat.  Hiat-Ih-Sin-Kay tahu akan hal ini makanya dia memilih Gan Kong-cu yang kepandaiannya setingkat lebih rendah dari Sam Hu-Hoat serta menyerahkan Sam Hu-Hoat untuk di hadapi oleh Tee-Kiam Hu-Hoat.  Sementara Thai-Su Lojin dan kawan-kawan kembali ke barisan mereka untuk menggempur barisan para Duta Topeng Emas & Perak tersebut.  Pertempuran kembali berlanjut namun kemenangan sudah tampak bagi para pendekar.
***
Di tempat lain Para ho-han yang di pimpin oleh Pek-Sim-Sian di temani oleh empat orang ciangbunjin partai besar dan tiga orang Chit-Pay Chit Cu lainnya serta sepuluh ketua-ketua kecil lainnya harus menghadapi lawan yang tak kalah hebatnya, yaitu manusia-manusia ganas yang berilmu mujizat dari Giam-Bong-Kok.  Pasukan lawan ini walau hanya sebelas orang saja, lebih sedikit dari para ho-han namun mereka adalah para iblis-iblis pilihan yang merupakan “Pasukan Mayat Beracun” andalan Giam-Bong-Kok dan yang tak kalah hebatnya mereka di pimpin langsung oleh kedua murid pilihan lembah itu yang sakti, seperti Bong Kong-cu, murid terkasih dari Lo-Kwi-Ong, dan Galamo Sing yang merupakan murid terkasih dari Lo-Hoat-Ong.

Guru kedua orang ini adalah momok-momok yang menakutkan yang setingkat di atas Bu-Lim Su-Sian pada masa lampau.  Tidak heran bila kedua orang ini memiliki ilmu yang bukan oleh-olah hebatnya. Sebagai murid tertua, Bong-Kong-cu menguasai ilmu “Mayat Beracun Tak Mati” yang sudah mencapai tingkat ke Sembilan.  Kekuatannya sudah boleh di sejajarkan setingkat di atas Chit-Pai Chit-Cu.  Sedangkan sute nomor tiganya ini jugas telah menguasai ilmu “Jerat Sihir Iblis Berkabung” warisan Lo-Hoat-Ong dan penguasaannya sudah boleh di sejajarkan dengan chit-Pai Chit-Cu sendiri.

Barisan Lohan di pintu Timur ini walaupun masih dapat bertahan namun kondisinya bagaikan pelita yang mulai redup.  Apalagi sambil bertarung mereka juga di jejali dengan berbagai racun-racun mematikan sehingga mereka harus bekerja keras untuk melawan pengaruh racun-racun tersebut.

Pek-Sim-Sian memimpin kawan-kawannya untuk menyerbu pasukan Mayat Beracun tersebut namun mereka di cegat langsung oleh Bong Kong-cu dan Galamo Sing yang tertawa-tawa.  Suasana malam yang dingin di penuhi dengan aura beracun dan sihir tingkat tinggi membuat suasana jadi mengerikan.  Namun Chit-Pai Chit-Cu serta para ciangbunjin dari keempat partai besar yang membantu bukanlah orang-orang kemarin sore yang gampang di atasi.

Segera mereka mengerahkan ilmu-ilmu sakti dan ilmu-ilmu batin mereka sampai pada tataran yang paling tinggi untuk bertempur dengan hebat.
***

Goat Hui-Hwa tiba di sebelah utara kaki gunung Siong San ketika hari masih siang.  Dia sengaja memilih tempat ini karena ingin menjauhi keramaian.  Walaupun di sebelah barat ini tidak ada jalan masuk hanya tebing-tebing curam yang berbahaya, namun tidak masalah baginya.  Sejenak dia memilih untuk beristirahat di atas sebatang pohon yang lebat sambil bermeditasi menunggu malam tiba.  Menjelang malam, saat sedang khusuk dalam meditasinya, tiba-tiba dia merasakan ada desakan dua desiran halus yang berbeda dari arah tenggara dan barat daya.  Cepat dia menindas hawa keberadaannya agar tidak terdeteksi lima bayangan yang beberapa saat kemudian lewat dengan cepat di bawah tempat persembunyiannya. 

“Hmmm… Rasul Hukum Kerudung Putih…apa yang mereka lakukan di sini?”. Sahut gadis itu ketika mengenal satu di antara lima orang tersebut.  Dia tidak tahu siapa yang empat lagi, namun yang pasti dia melihat satu di antara mereka seorang kakek tua berwajah mengerikan dan sarat dengan hawa racun serta satu lagi seorang kakek pucat berjubah putih yang sarat dengan hawa sihir.

Lima bayangan itu tanpa henti terus melesat kearah tebing –tebing terjal dan melesat ke atas.  Dari gerakan  mereka Hui-Hwa terkejut sekali.  Sepertinya tingkat mereka tidak selisih jauh dengannya.  Dengan hati-hati di kerahkannya ilmu “Melayang Bagaikan Kapas” dan di lain saat tubuhnya melesat menguntit kedua penyusup tersebut.

Tubuh kelima bayangan hitam putih ini melesat bagaikan kilat sehingga sebentar saja sudah tiba di puncak di belakang gunung Siong San.  Tanpa menghentikan lari mereka, kedua penyusup ini terus melesat ke daerah terlarang dari Kuil Siauw-Lim-Si tersebut.  Namun langkah mereka tiba-tiba saja terhenti di tengah jalan.  Di hadapan mereka tampak tiga orang hwesio tua yang sedang duduk bersila dengan mengambang dua jengkal dari atas tanah.

“Hahaha…tiga hidung kerbau Sam-Sin-Hud?...bagus mari kita bermain-main sebentar…”  Terdengar suara tawa yang berat dari kakek tua berwajah mengerikan tersebut.  Sekilas dia menoleh pada rekan-rekannya yang lain: “aku akan menghadapi tiga hidung kerbau ini, kalian berempat pergilah…”

Keempat bayangan hitam lain termasuk Si Rasul Hukum Kerudung Putih segera melesat ke kanan dan kiri meninggalkan tempat tersebut.

“Omitohud…kalian tetap di tempat!”  Tiba-tiba terdengar suara Hwesio yang di samping kiri.  Tangannya mengibas dengan perlahan kearah keempat orang tersebut.  Walau hanya perlahan, namun dua di antara keempat orang tersebut mengeluarkan suara tertahan.  Tubuh mereka yang berada di udara terpental balik ke belakang dan jatuh terduduk.  Meski demikian Hwesio tersebut terkejut karena pukulannya tidak banyak berpengaruh pada bayangan gadis berjubah dan berkerudung  putih yang mampu menangkisnya bahkan menggunakan tenaga dorongan akibat tangkisan itu untuk kembali melenting ke atas dan melesat masuk lebih dalam kearah kuil.  Sedangkan yang satu lagi yang ternyata seorang kakek muka pucat bagaikan mayat yang juga berjubah putih hanya mengelak sedikit dan terus melesat masuk dengan santainya.

Hwesio itu kembali hendak bergerak melancarkan pukulan ketika tiba-tiba terdengar bisikan perlahan di telinganya: “Sute, biarkan dia pergi…sudah ada yang akan menanganinya”.