Dalam goa di balik air terjun itu dua wajah yang hampir sama
saling memandang tak berkedip. Sesaat
kemudian kedua orang yang masih sama-sama muda, yang satu gagah dan yang satu
cantik itu berseru hampr berbarengan:
“Sin-Te…!” Sahut
gadis cantik itu dengan suara bergetar sambil memandang pemuda tampan di
depannya yang bukasn lain adalah Hong-Sin.
“Giok-cici…!” Hong Sin-pun terharu kemudian maju merangkul
cicinya itu. Keduanya terdiam sampai
lama. Semua yang terjadi di masa lalu
saat kehancuran tempat tinggal mereka dan kematian seluruh anggota keluarga
mereka, bahkan sampai akhirnya mereka berdua terpisah kembali terbayang dengan
jelas.
Keadaan membisu itu berlangsung hingga beberapa saat. Tanpa mereka sadari, bayangan gadis cantik
yang lain yang berdiri di dekat mereka
sudah lenyap dari tempat itu.
“Sin-te, baik-baikkah kau selama ini? Apakah kau sudah
menemukan jejak penghianat yang telah menghancurkan keluarga kita?...” Akhirnya terdengar suara lembut gadis
berjubah putih yang tangan kirinya memegang sebuah topeng kemala.
“Giok-cici, aku baik-baik saja, namun maafkan adikmu yang
begitu bebal hingga saat ini belum berhasil menemukan pengkhianat
tersebut…” Kata Hong Sin sambil
menundukkan wajahnya.
“Tidak apa-apa Sin-te, bukan salahmu. Cicimu-pun sampai saat ini masih meraba-raba. Pengkhianat itu sangat licin dan licik. Namun cici sudah menemukan sedikit titik
terang, hanya saja masih sangat sulit untuk memastikannya…”
“Apa maksud cici?” Tanya Hong Sin dengan kening berkerut.
“Cici tak dapat memberi penjelasan panjang lebar saat
ini. Tapi yang cici ingat satu dari para
pengkhianat itu membokong ibu kita dari belakang dengan “Hawa pukulan
penghancur jantung”…”
“Hmmm…Hawa Racun Penghancur Jantung”. Cici, bukankah ilmu pukulan ini adalah ilmu
aliran Tok-Sia-Pay yang telah musnah limapuluh tahun lalu?”
“Benar adikku, dahulu satu-satunya orang yang masih mewarisi
ilmu ini adalah paman Siao Kan.” Sahut
gadis itu dengan suara perlahan.
“Paman Siao Kan?...”
Hong Sin terkejut mendengar perkataan cicinya.
Dia tahu paman Siao Kan adalah salah satu penjaga Utara Lembah Tiga
Dewa. Memang sebelum menjadi pembantu
ayahnya, paman Siao Kan adalah seorang
tokoh sesat yang berjuluk Tok-Ciang-Mo.
Namun setelah di taklukkan ayahnya, beliau menjadi orang yang sangat di
percayai ayahnya dahulu. “Apa maksud cici?...apa cici mempunyai kecurigaan
terhadap paman Siao Kan?”
“Cicimu tidak mencurigainya, Sin-te. Sampai akhir hayat paman Siao Kan, beliau
masih berjuang di sisi ayah walaupun mereka akhirnya terbunuh karena kehabisan
tenaga akibat Racun Pelemah Syaraf yang keji.
Hanya saja yang cici temukan dari penyelidikan cici selama ini cici tahu
di Mo-Kiong-Bun ini ada dua orang yang juga menguasai ilmu keji itu dengan sangat
sempurna...dan mereka adalah Toa-Huhoat dan Majikan Topeng Emas sendiri”
“…???” Hong sin menatap kedua bola mata cicinya untuk
sesaat. “Aku mengerti
Gadis itu tersenyum manis kemudian menarik adiknya dalam
pelukannya: “Sin-Te, Ing-Moi sudah menceritakan semuanya padaku. Dengan adanya kamu cici yakin tabir gelap ini
akan terkuak. Akh…Lembah Tiga Dewa
memiliki bintang Cemerlang sepertimu sungguh suatu berkah yang sangat membanggakan. Semoga ayah-ibu di alam sana bangga
melihatmu…”
****
Tiga Bulan berlalu dengan cepat…
Gunung Siong San Nampak penuh kesibukan beberapa hari
belakangan ini. Beberapa hari di depan
nanti adalah pertemuan tertutup dari para jago-jago golongan putih yang di
pelopori oleh Chit-Pai Chit-Cu.
Tujuannya adalah untuk menghimpun kekuatan untuk mengatasi kemelut dunia
persilatan saat ini.
Kuil Siauw-Lim-Si benar-benar mengadakan persiapan penjagaan
yang ketat sekali. Semua kekuatan di
kerahkan dengan membantuk tiga lapis barisan 18 Lo-Han di tiap sudut di delapan
penjuru sehingga sangat sulit bagi orang-orang yang tidak di undang untuk
menyusup tanpa di ketahui. Apalagi
selain tokoh-tokoh Chit-Pai Chit Cu, ada juga 14 Duta Langit Bumi dari Thian Te
Tok Pay yang tidak menampakkan diri.
Satu hari menjelang di adakannya pertemuan, sudah ada hampir
50-an tokoh golongan putih yang telah hadir di tempat tersebut. Mereka rata-rata merupakan tokoh-tokoh
penting yang pilih tanding. Diantaranya
ada para ketua dari Sembilan partai besar
Dua Istana dan perkumpulan-perkumpulan kecil.
***
Tidak ada gangguan apa-apa sepanjang siang hari. Namun menjelang malam hari, suasana puncak
gunung Siong-San nampak sepi dan hening.
Sementara Thai-Su Lojin dan Pek-Sim-Sian sementara terlibat pembicaraan yang serius
dengan para tokoh-tokoh persilatan mengenai hal-hal yang akan di lakukan pada
pertemuan besok, tiba-tiba di tengah ruangan itu muncul bayangan keemasan yang entah datang
dari mana.
“Omitohud…!” Suatu
suara yang agung dan perlahan menggema di telinga masing-masing orang yang ada
dalam ruangan tersebut. Meskipun hanya
perlahan namun sanggup menggetarkan hati tiap orang yang ada. Saat semua memperhatikan dengan jelas,
tampaklah Bu-Beng Kim-Hud telah berdiri di tengah ruangan tersebut. Sebelum Kim-Goan Taysu mengatakan sesuatu,
sudah di dahului orang…
“Bersiaplah para sicu (orang-orang gagah) sekalian kita
kedatangan tamu. Barisan lo han lapis
pertama dan kedua sudah dilumpuhkan. Kim-Goan Ciangbunjin, harap undang Sam-Hud
menjaga bagian belakang kuil, musuh terlalu banyak. Thai-Su Sicu, harap bagi dua seluruh ho-han
yang ada untuk membantu barisan lo han untuk menghadang para pasukan Topeng
Emas dan Perak di Jalan Utama dan Pek-Sim Sicu harap pimpin kawan-kawan yang
lain untuk menyambut orang-orang Giam-Bong-Kok di pintu Timur…” sesaat kemudian tubuh manusia sakti itu sudah
duduk bersila di tengah ruangan tersebut.
Namun masih terngiang suaranya yang menyusul: “jangan khawatirkan pintu
timur, itu sudah di tangani Ciu-Sian Sin-Ci dan 2 Duta Langit Thian-Te Tok-Pay.
Pinceng sendiri bersama nona Seng akan
menjaga di tempat ini…”
Waktu yang hanya sekejap itu membiaskan ketegangan yang
serius di wajah masing-masing yang ada dalam ruangan tersebut. Namun mereka adalah tokoh-tokoh penting di
jamannya. Mengingat para tokoh puncak
dunia persilatan seperti Bu-Beng Kim-Hud yang turun tangan langsung menandakan
bahwa apa yang mereka akan hadapi bukan perkara sepele. Sekilas saja mereka langsung mengerti tugas
mereka dan berkelebat keluar ruangan.
***
Thai-Su Login dan
kawan-kawan berkelebat cepat menuju ke
jalan masuk utama. Dari jauh mereka
mendengar bentakan-bentakan menggelegar di selingi suara tawa-tawa yang
bernuansa sihir yang di keluarkan dengan tenaga yang kuat sabung menyabung
. Tampak barisan Lo-Han yang bergerak
dengan teratur di bawah tekanan dari tigapuluh Sembilan barisan gabungan Para
Duta Topeng Emas dan Topeng Perak yang memang sangat kuat. Meskipun tekanan tersebut sangat kuat namun
barisan Lo-Han yang terlatih ini masih sanggup bertahan meski sangat jarang
membalas.
Thai-Su Lojin maklum
akan kondisi kritis ini. Namun
para pendekar yang menyertainya walaupun rata-rata memiliki ilmu kepandaian
yang tidak di bawah para Duta Topeng Emas, namun mereka tidak memiliki barisan
kerja sama yang terlatih seperti lawan.
Takutnya mereka hanya akan terjebak oleh barisan lawan dan terkurung
denga barisan Lo-Han di dalam.
Memikirkan hal ini cepat dia berseru pada kawan-kawannya: “ Jangan menyerang
berpencar. Sembilan belas orang saling memegang bahu dengan tangan kiri
membentuk lingkaran besar di bagian luar yang bertugas menahan
serangan-serangan lawan sedangkan
delapan orang lingkaran kecil yang memiliki
jurus-jurus penyerang paling ampuh di barisan dalam utk mencari celah menyerang
musuh. Kita akan mendobrak kepungan dari
bagian barat, kemudian setelah beberapa gebrakan kita akan mundur dan memutar
untuk membobol bagian utara.”
Mendangar akan instruksi ini beberapa pendekar yang telah
siap untuk terjun ke gelanggang mengurungkan niat mereka dan segera membentuk
barisan tersebut dan mulai menyerbu di arah barat. Barisan Duta Topeng Emas dan Topeng Perak
terkejut melihat bantuan lawan ini. Walaupun
bantuan yang datang ini bukanlah barisan terlatih seperti meraka, namun karena
semua adalah orang-orang pilih tanding dari 5 partai besar dan beberapa
perkumpulan maka mereka akhirnya dapat menemukan bentuk pertahanan dan
penyerangan serta dapat bekerja sama menggoyahkan barisan lawan yang sedang
mendesak para Lo-han dari Siauw-Lim-Si tersebut. Sedikit banyak ini memberi sedikit
kelonggaran pada para Lo-Han tersebut untuk kembali menata pertahanan mereka.
Pertarungan kembali di gelar dengan lebih seru. Masing-masing pimpinan barisan berusaha
dengan secepatnya untuk menemukan menemukan kelemahan lawan dan memperbaiki
barisan mereka. Sehingga tak terasa
pertarungan telah berjalan dua jam lebih saling serang dan bertahan dengan
ketatnya.
Tak lama kemudian terdengar siutan nyaring dari luar
barisan. Entah dari mana datangnya dalam
gelanggang tersebut telah bertambah dua orang yang memiliki sepak terjang yang
mengerikan. Yang pertama seorang pemuda
tampan berpakaian mewah layaknya seorang pangeran. Di tangannya tampak sepasang Siang-Pit
bergagang Tulang. Dia adalah Sia Tek
Hun, yaitu Sam-Hu Hoat dari Mo-Kiong-Bun.
Dan yang seorang lagi Seorang
pemuda berpakaian Hitam yang mengandalkan tangan beracun yang bukan lain adalah
Su-Hu Hoat, Gan Kongcu.
Kedua orang ini muncul bagaikan iblis saja dari arah
belakang dan berkelebat menyambar-nyambar bagaikan malaikat El-Maut. Thai-Su Lojin dan beberapa ciangbunjin
terkejut setengah melihat lawan tangguh ini yang kemampuannya tidak di bawah
mereka sehingga untuk sesaat barisan para pendekar hamper kebobolan dengan
matinya empat orang di bagian belakang.
Setelah memberi kode pada Kim-Goan Taysu, kedua orang ini
mengeluarkan bentakan menggelegar dan melesat keluar dari barisan sambil
melancarkan pukulan andalan masing-masing untuk menyambut jurus Cui-Beng Kut-Pit-ciang dari Sia Tek Hun,
dan Ngo-Kwi-Tok Sin-Khi (Hawa Sakti Lima Racun Iblis) dari Gan Kong-cu.
“Dhuaaaarrrrr….Dhuaaaaarrrr…….Treaaaaaannnng…….Traaaaaaaaaanng” empat bayangan terpisah. Thai-Su Lojin dan Kim-Goan Taysu terlempar
kembali ke dalam barisan. Dada mereka
sesak akibat hawa racun ganas yang semakin cepat menjalar. Segera keduanya duduk bersila menahan
bekerjanya racun yang menyusup melalui lengan mereka.
Sementara Sia Tek Hun dan Gan Kong-cu juga tergentak mundur
lima langkah dengan dada sesak, namun cepat mereka menelan obat-obat pulung
yang mereka bawa untuk menyembuhkan luka dalam mereka.
“Hahahaaa…Hwesio hidung kerbau busuk, walaupun kau dapat menahan
pukulanku, namun kau takkan lolos dari racun Ngo-Kwi-Tok Sin-Khi milikku. Relakanlah hatimu bertemu dengan Dewa
Kematian di alam baka sana…”
Thai-Su Lojin dan Kim-Goan Taysu tidak menjawab. Butiran keringat sebesat jagung mengalir
deras dari dahi mereka. Keempat
Ciangbunjin yang ada di dalam barisan itu masing-masing segera bersila di
belakang kedua orang tersebut untuk membantu mengusir racun.
Namun belum sempat mereka berbuat apa-apa tiba-tiba entah
dari mana di dalam barisan tersebut telah bertambah tiga bayangan. Salah satu di antaranya seorang pengemis
setengah baya yang langsung mengangsurkan dua Pil Kim-Kak-Tan pada Thai-Su
Lojin dan Kim-Goan Taysu yang langsung meminumnya sehingga tak lama kemudian
racun ganas yang menyerang mereka hilang sama sekali.
Wajah Sam Hu-Hoat dan Su Hu-Hoat tampak mengkerut melihat
tiga pendatang baru ini. Dari gerakan
ketiganya jelas bahwa mereka termasuk lawan yang tangguh apalagi dari tubuh
ketiganya dia mencium hawa yang aneh yang dia tahu merupakan tandingan dari
ilmu beracunnya, yaitu Hawa Thian-Te Tok=Khi. Pengemis setengah baya yang bukan
lain adalah Hiat-Ih-Sin-Kay (Pengemis Sakti Berjubah Darah) Lam Ciong itu
tersenyum pada para ciangbunjin:
“Silahkan teruskan menggempur barisan lawan. Dua orang ini bagian kami…” Baru selesai perkataannya
tiba-tiba tubuh pengemis itu sudah melesat cepat menyerang dengan pukulan Hiat-Ih
Sin-Ciang (Telapak sakti Jubah Darah kearah Gan Kongcu.
Sebenarnya dengan ilmu ini sekalipun sebenarnya masih sulit
untuk menandingi sama kuat dengan ilmu racun milik Gan Kong-cu, namun beberapa
waktu yang lalu, Hong-Sin telah mewariskan Thian-Tee Tok-Khi pada keempat Duta
langitnya sehingga saat mereka melebur ilmu itu dengan ilmu-ilmu mereka maka
mereka tak usah takut lagi dengan segala ilmu-ilmu racun manapun.
Sementara itu dua pria berjubah hitam di belakang pengemis
sakti itu yang ternyata adalah dua orang di antara Tee-Kiam Hu-Hoatnya lembah
Sam Sian Kok dengan dua pedang yang berbeda sudah melasat menyerang Sam Hu-Hoat
Sia Tek Hun dengan barisan ilmu “Sepuluh Pedang Sakti” yang dahsyat.
Secara terpisah, ilmu para duta sakti ini setingkat lebih
rendah dari Hiat-Ih-Sin-Kay, namun jika mereka bermain pasangan, maka mereka
akan jauh lebih kuat. Hiat-Ih-Sin-Kay
tahu akan hal ini makanya dia memilih Gan Kong-cu yang kepandaiannya setingkat
lebih rendah dari Sam Hu-Hoat serta menyerahkan Sam Hu-Hoat untuk di hadapi
oleh Tee-Kiam Hu-Hoat. Sementara Thai-Su
Lojin dan kawan-kawan kembali ke barisan mereka untuk menggempur barisan para
Duta Topeng Emas & Perak tersebut.
Pertempuran kembali berlanjut namun kemenangan sudah tampak bagi para
pendekar.
***
Di tempat lain Para ho-han yang di pimpin oleh Pek-Sim-Sian
di temani oleh empat orang ciangbunjin partai besar dan tiga orang Chit-Pay
Chit Cu lainnya serta sepuluh ketua-ketua kecil lainnya harus menghadapi lawan
yang tak kalah hebatnya, yaitu manusia-manusia ganas yang berilmu mujizat dari
Giam-Bong-Kok. Pasukan lawan ini walau
hanya sebelas orang saja, lebih sedikit dari para ho-han namun mereka adalah
para iblis-iblis pilihan yang merupakan “Pasukan Mayat Beracun” andalan
Giam-Bong-Kok dan yang tak kalah hebatnya mereka di pimpin langsung oleh kedua
murid pilihan lembah itu yang sakti, seperti Bong Kong-cu, murid terkasih dari
Lo-Kwi-Ong, dan Galamo Sing yang merupakan murid terkasih dari Lo-Hoat-Ong.
Guru kedua orang ini adalah momok-momok yang menakutkan yang
setingkat di atas Bu-Lim Su-Sian pada masa lampau. Tidak heran bila kedua orang ini memiliki
ilmu yang bukan oleh-olah hebatnya. Sebagai murid tertua, Bong-Kong-cu
menguasai ilmu “Mayat Beracun Tak Mati” yang sudah mencapai tingkat ke
Sembilan. Kekuatannya sudah boleh di
sejajarkan setingkat di atas Chit-Pai Chit-Cu.
Sedangkan sute nomor tiganya ini jugas telah menguasai ilmu “Jerat Sihir
Iblis Berkabung” warisan Lo-Hoat-Ong dan penguasaannya sudah boleh di
sejajarkan dengan chit-Pai Chit-Cu sendiri.
Barisan Lohan di pintu Timur ini walaupun masih dapat
bertahan namun kondisinya bagaikan pelita yang mulai redup. Apalagi sambil bertarung mereka juga di
jejali dengan berbagai racun-racun mematikan sehingga mereka harus bekerja
keras untuk melawan pengaruh racun-racun tersebut.
Pek-Sim-Sian memimpin kawan-kawannya untuk menyerbu pasukan
Mayat Beracun tersebut namun mereka di cegat langsung oleh Bong Kong-cu dan
Galamo Sing yang tertawa-tawa. Suasana
malam yang dingin di penuhi dengan aura beracun dan sihir tingkat tinggi
membuat suasana jadi mengerikan. Namun
Chit-Pai Chit-Cu serta para ciangbunjin dari keempat partai besar yang membantu
bukanlah orang-orang kemarin sore yang gampang di atasi.
Segera mereka mengerahkan ilmu-ilmu sakti dan ilmu-ilmu
batin mereka sampai pada tataran yang paling tinggi untuk bertempur dengan
hebat.
***
Goat Hui-Hwa tiba di sebelah utara kaki gunung Siong San ketika
hari masih siang. Dia sengaja memilih
tempat ini karena ingin menjauhi keramaian.
Walaupun di sebelah barat ini tidak ada jalan masuk hanya tebing-tebing
curam yang berbahaya, namun tidak masalah baginya. Sejenak dia memilih untuk beristirahat di
atas sebatang pohon yang lebat sambil bermeditasi menunggu malam tiba. Menjelang malam, saat sedang khusuk dalam
meditasinya, tiba-tiba dia merasakan ada desakan dua desiran halus yang berbeda
dari arah tenggara dan barat daya. Cepat
dia menindas hawa keberadaannya agar tidak terdeteksi lima bayangan yang
beberapa saat kemudian lewat dengan cepat di bawah tempat
persembunyiannya.
“Hmmm… Rasul Hukum Kerudung Putih…apa yang mereka lakukan di
sini?”. Sahut gadis itu ketika mengenal satu di antara lima orang tersebut. Dia tidak tahu siapa yang empat lagi, namun
yang pasti dia melihat satu di antara mereka seorang kakek tua berwajah
mengerikan dan sarat dengan hawa racun serta satu lagi seorang kakek pucat
berjubah putih yang sarat dengan hawa sihir.
Lima bayangan itu tanpa henti terus melesat kearah tebing
–tebing terjal dan melesat ke atas. Dari
gerakan mereka Hui-Hwa terkejut
sekali. Sepertinya tingkat mereka tidak selisih
jauh dengannya. Dengan hati-hati di
kerahkannya ilmu “Melayang Bagaikan Kapas” dan di lain saat tubuhnya melesat
menguntit kedua penyusup tersebut.
Tubuh kelima bayangan hitam putih ini melesat bagaikan kilat
sehingga sebentar saja sudah tiba di puncak di belakang gunung Siong San. Tanpa menghentikan lari mereka, kedua
penyusup ini terus melesat ke daerah terlarang dari Kuil Siauw-Lim-Si
tersebut. Namun langkah mereka tiba-tiba
saja terhenti di tengah jalan. Di
hadapan mereka tampak tiga orang hwesio tua yang sedang duduk bersila dengan
mengambang dua jengkal dari atas tanah.
“Hahaha…tiga hidung kerbau Sam-Sin-Hud?...bagus mari kita
bermain-main sebentar…” Terdengar suara
tawa yang berat dari kakek tua berwajah mengerikan tersebut. Sekilas dia menoleh pada rekan-rekannya yang
lain: “aku akan menghadapi tiga hidung kerbau ini, kalian berempat pergilah…”
Keempat bayangan hitam lain termasuk Si Rasul Hukum Kerudung
Putih segera melesat ke kanan dan kiri meninggalkan tempat tersebut.
“Omitohud…kalian tetap di tempat!” Tiba-tiba terdengar suara Hwesio yang di
samping kiri. Tangannya mengibas dengan
perlahan kearah keempat orang tersebut.
Walau hanya perlahan, namun dua di antara keempat orang tersebut
mengeluarkan suara tertahan. Tubuh
mereka yang berada di udara terpental balik ke belakang dan jatuh
terduduk. Meski demikian Hwesio tersebut
terkejut karena pukulannya tidak banyak berpengaruh pada bayangan gadis
berjubah dan berkerudung putih yang
mampu menangkisnya bahkan menggunakan tenaga dorongan akibat tangkisan itu
untuk kembali melenting ke atas dan melesat masuk lebih dalam kearah kuil. Sedangkan yang satu lagi yang ternyata
seorang kakek muka pucat bagaikan mayat yang juga berjubah putih hanya mengelak
sedikit dan terus melesat masuk dengan santainya.
Hwesio itu kembali hendak bergerak melancarkan pukulan
ketika tiba-tiba terdengar bisikan perlahan di telinganya: “Sute, biarkan dia
pergi…sudah ada yang akan menanganinya”.