Laman

Jumat, 12 April 2013

Jurus Tai-kaucu ke tiga VS Jurus pertama Seribu Iblis Pemusnah

Ternyata lorong guha tersebut cukup panjang dan melebar ke dalam. Di kejauhan, telinganya menangkap suara orang berbicara. Cepat tubuhnya melesat ke arah suara tersebut dan beberapa saat kemudian dia telah ada dalam guha yang sangat lebar tersebut. Di tengah-tengah guha tersebut, gadis cantik yang tadi dia lihat di tawan tampak di ikat di sebuah tiang berbentuk Pat-kwa yang di jaga oleh sembilan orang.
Tubuhnya diam tak bergerak, mengawasi sekelilingnya. Sekejap saja dia sadar tidak ada jalan lain baginya untuk menyelamatkan gadis tersebut selain menempur para datuk sesat ini.
“Heemmm, orang muda, siapa kau berani lancang berurusan dengan kami?” Bentak Hek-Tok-Jiauw-Ong
Sekejap Han Sian melirik ke arah gadis yang di ikat itu. “Aku tidak punya urusan dengan kalian, aku hanya memenuhi permintaan seorang sahabat untuk menyelamatkannya” Tangannya di kepalkan dengan jari telunjuk terbuka menunjuk ke arah Jie Hong. Tanpa di ketahui orang-orang sebuah tenaga bagai titik kecil yang kuat meluncur ke arah jalan darah di dada kiri Jie Hong dan membebaskan totokan gadis itu. Hanya gadis itu yang merasakannya tapi diapun tahu situasi, maka terus pura-pura lemas.
“Hahahahaha....kau mimpi anak muda, karena kau tak akan selamat mulai detik ini...” Tiba-tiba Hek-Tok-Jiauw-Ong sudah melesat ke depan melancarkan pukulan sakti Hek-tok jiauw-kang. Dia tak berani ayal. Karena kalau Tai-kauwcu mereka memerintahkan mereka untuk waspada itu artinya anak muda ini berisi.
Tapi dia kecele. Hanya dengan mengegoskan tubuhnya sedikit ke samping Han Sian telah menghindari serangan tersebut dan dalam sekejap tubuhnya di selimuti pengerahan tenaga Hui-Im-Hong-Sin-Kang. Tenaga sakti Hong Api ini membuat tubuhnya bagai di kelilingi jilatan-jilatan api sehingga tempat itu jadi terang.
Pertarungan berlanjut dengan seru. Nampaknya kali ini tidak mudah bagi Han Sian untuk menghadapi mereka. Karena ke sembilan orang ini adalah tokoh-tokoh sakti yang sudah puluhan tahun malang-melintang di dunia kang-ouw. Mungkin dengan kepandaiannya, dia dapat mengatasi mereka satu lawan satu. Tapi dengan di keroyok begini, meskipun dia tidak nampak terdesak, tapi dia juga tidak bisa berbuat banyak pada kepungan mereka.
Dia tahu akan sia-sia saja kalau dia terus melanjutkan pertempuran itu. Kalaupun dia mengerahkan semua ilmunya satu per satu, pada akhirnya toh dia hanya akan kelelahan saja dan ini bisa berbahaya baginya. Sementara itu sambil melontarkan Sui-ciam-kiam-cu (jalur Pedang Jarum Air) dan Hong-Lui-Kiam-cu (jalur Pedang Angin Petir) dari ilmu Bu-tek Chit-kiam-ciang untuk membuka kepungan musuh, ujung matanya melirik ke arah Jie Hong. Dia melihat gadis itu sudah mulai bergerak perlahan.
Saat itu, ke sembilan orang itu sudah menyerangnya dengan jurus-jurus puncak dari ilmu mereka yang dahsyat. Pukulan-pukulan beracun berselewiran di mana-mana, sangat mengerikan. Bahkan Jie Hong yang menonton dari sampingpun terpaksa membatalkan niatnya untuk terjun ke dala pertempuran. Dia terpaksa segera bermeditasi untuk mengusir semua pengaruh racun di sekitarnya.
Dengan bibir tersenyum menyeringai, tubuh Han Sian tiba-tiba berputaran seperti gasing dan di sekitar tubuhnya muncul asap hitam tebal yang dalam sekejap membentuk bola-bola tenaga hitam sebesar kelapa yang terbang mengelilinginya dengan suara mencicit nyaring dan menyambut semua serangan lawan. Inilah jurus pertama dari “Ilmu Seribu Iblis Pemusnah” yang dahsyat. Akibatnya sungguh hebat, kesembilan orang itu terpental dengan kuat ke belakang dan jatuh terduduk. Mereka terluka, meskipun tidak parah karena ilmu mereka sendiri yang membalik.
“HEH! SERIBU IBLIS PEMUSNAH???” “Anak muda dari mana kau mencuri ilmu itu?...” Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan serangkum tenaga panas-dingin yang dahsyat meluruk deras ke arah Han Sian dengan sangat cepat hampir tak dapat di lihat oleh mata. Tenaga ini bagai api dan es yang jauh lebih kuat dari semua pukulan yang di lancarkan oleh sembilan lawan sebelumnya. Dengan telak menghantam tubuh Han Sian yang baru saja menarik pulang setengah dari kekuatan yang di lepasnya.
“DHAAAR...” “BLAAAAMMM....” Tubuh Han Sian terlempar menabrak dinding batu dan melesak sedalam setengah meter.
“Jit-goat-mo-ong?” Han Sian terkejut melihat kakek ini. Tadi saat dia mulai menarik kembali tenaganya, dia merasakan sesuatu yang tidak beres. Segera dia mengerahkan Kui-sian i–sin-kang sampai tahap kekosongan, namun waktu yang dia miliki tidak cukup. Baru saja setengah dia kerahkan tenaganya, tubuhnya sudah terpukul telak.
Han Sian mengerahkan tenaga Hui-Im-Hong-Sin-Kang, tubuhnya melesat keluar dan berdiri tegak di depan Jit-goat Mo-ong. Bajunya hancur dari sela-sela bibirnya mengalir darah kental. Dia terluka dalam yang parah.
“Hehehe...anak muda, apa kau masih sanggup menghadapiku dengan tubuh seperti itu?”
Mata Han Sian berkilat: “Hemm...kau mau mencoba?...paling tidak kaupun tak bisa berbuat banyak padaku”
Alis Jit-goat Mo-ong berkerut. Dia bukan orang bodoh, dia tahu kehebatan Ilmu Seribu Iblis Pemusnah, karena ilmu itu adalah milik tokoh sakti yang masih terhitung kakek gurunya karena gurunya iblis Api-Es adalah sute dari Sang Iblis Pemusnah itu. Cuma dia tidak terlalu yakin apa pemuda di depannya ini sudah menguasai sampai tingkat ke tiga belas atau belum.
“Baiklah, nanti kita lanjutkan kemudian...” Dia mengangkat tangannya dan dalam sekejap semua orang di situ telah menghilang di balik batu-batu. Kecuali Jit-goat Mo-ong yang masih tinggal.
“Anak muda, aku masih ada urusan kita bertemu lagi nanti...tinggallah kalian di situ sampai mati...” Tiba-tiba tangan kirinya di pukulkan ke arah Jie Hong sedang tangan kanannya memukul hancur dinding batu di sebelahnya.
Selarik sinar ke hitaman menerjang ke arah Jie Hong. Segra nona ini mengangkat tangannya menangkis. Tapi sesaat sebelum pukulannya beradu dengan larikan sinar itu, Han Sian sudah berkelebat menarik pinggangnya.
“Dhaaarrrrr...” Dinding di belakang Jie Hong berlubang besar. Gadis itu terbelalak. Sementara itu guha itu tiba-tiba bergertar keras saat mulut guha tertutup oleh tembok besi setebal sepuluh inci. Rupanya dinding sebelah kanan yang di pukul hancur oleh Jit-goat Mo-ong ini adalah alat penggerak dari dinding baja tersebut.
Setelah goncangan itu berhenti, tinggal mereka berdua di dalamnya. Han Sian terdiam tak bergerak dengan tatapan kosong. Melihat ini Jie Hong khawatir dan menyentuhnya. Saat itulah tiba-tiba tubuh Han Sian meluruk jatuh ke tanah dalam keadaan pingsan. Ternyata lukanya sangat parah.
Jie Hong bingung, khawatir tidak tahu apa yang bisa di lakukan. Dia sudah coba menyalurkan tenaga, tapi selalu terpental balik. Setelah lebih setengah hari dia mencoba, akhirnya dia pasrah dengan kepala bersandar di atas dada Han Sian, menangis sesegukan...Dia sedih, karena tahu bahwa mereka terkurung di tempat itu. Dia sudah memeriksa tempat itu tapi tidak ada jalan keluar.
Berapa saat kemudian dia menangis, sampai tertidur. Keadaan guha itu dingin dan senyap. Sepeminuman teh kemudian, Jie Hong tersadar. Tapi dia merasa sesiuatu yang aneh tapi hangat mengalir di sekitar tubuhnya. Dia merasakan sebuah tangan memegang kepalanya yang sementara bersandar di dada telanjang tak berbaju. Mukanya merah dan segera akan bergerak, tapi tiba-tiba...
“Jangan bergerak nona, kita sedang dalam tahap pemulihan, pergerakanmu akan mengacaukan arah gerakan ‘sang naga’....” Suatu suara berbisik di telinganya, akhirnya dia menurut dan diam tak bergerak. Dirasakannya tenaga yang aneh namun amat kuat berganti-ganti menerobos tubuhnya dan lenyap berulang-ulang yang membuatnya serasa nyaman. Tidak menunggu lama akhirnya proses itu selesai saat pemuda itu menarik tenaganya.
“Nona maaf, aku menggunakan tubuhmu sebagai perantara kesembuhanku serta memperkuat tenagaku...” Han Sian menatap Jie Hong dengan penuh selidik.
“Lupakan, kita senasib...kau sudah membantuku lepas dari aib, aku sungguh berhutang budi padamu...”
“Nona, aku Han Sian, bolehkah ku tahu siapakah namamu...?”
“Jie Hong...”
“Nama yang indah, seindah orangnya...” Kata Han Sian memuji, tiba-tiba ruangan itu jadi terang oleh kayu yang di bakar oleh Han Sian dengan ilmu Hui-Im-Hong-Sin-Kangnya.
Pipi Jie Hong menjadi merah mendengar pujian ini, sejenak wajahnya tertunduk malu. Han Sian terpesona, tangannya terulur memegang tangan Jie Hong.
“Bolehkah aku memanggilmu Hong-moi?...” Gadis itu mengangkat mukanya memandang wajah tampan di depannya itu.
“Boleh...boleh Sian-Ko” Entah bagaimana caranya dan entah siapa yang memulai terlebih dahulu, tapi tiba-tiba kedua insan itu sudah berpelukan mesra. Han Sian mencium bibir hangat gadis itu dengan penuh perasaan. Dan sejauh ini, Jie Hongpun hanya diam saja dengan pasrah sampai akhirnya mereka bergulingan di lantai guha itu dengan tubuh telanjang tanpa pakaian sama sekali.
Jie Hong menggeluh lirih saat tangan Han Sian meremas-remas kedua payudaranya, sedangkan lidahnya mengulum puting bukit yang menjulang indah dan mengeras itu.
Pada dasarnya Jie Hong memang seorang gadis yang sangat cantik, tidak kalah dari In Lan maulun Hong Lian. Tubuhnya sintal dengan buah dada yang padat dan kencang. Sementara pinggulnya bulat dan padat. Pahanya yang panjang dengan kulit putih mulus, sungguh membuat Han Sian yang sudah cukup lama tidak bermesraan, bergerak bagaikan harimau yang sedang menikmati mangsanya.
Dia menikmati seluruh keindahan tubuh itu dengan mantap dan bergairah. Dengan segenap pengalaman yang di milikinya, dia membuat Jie Hong mengkeret sampai bibir manis itu mengerang-erang lirih dengan keras...Apalagi ketika Han Sian mulai menindih gadis itu dan memasukkan miliknya yang besar. Perlahan, namun pasti...Jie Hong menggelinjing menikmati permainan Han Sian yang membuat dia merasakan kenikmatan yang belum pernah di alaminya sebelumnya dengan amat sangat, cukup lama, sampai akhirnya:
“Aaaaaaaaaakkkhhhh.....” Kakinya terangkat ke atas dan mengejang kuat. Tangannya menggaruk lantai dengan kepala terangkat ke belakang...
”Ooooohhhh...” berulang kali dia menggeluh nikmat ketika Han Sian terus membiarkan miliknya tinggal di dalam dan memutar-mutar pinggangnya. Sampai lama, Jie Hong menggigit bawah bibirnya sambil memejamkan mata dan mengejang ...akhirnya tenaga keduanya mengendur sambil terus berpelukan dengan berpeluh.
Han Sian terus mengulang-kembali permainan itu sampai empat kali. Ternyata walaupun baru pertama kali, jie Hong pasrah saja meskipun hampir tidak sanggup menahan kenikmatan yang berulang-ulang kali di rasakannya itu.
Demikianlah beberapa waktu lewat. Han Sian akhirnya tersadar, dan mulai menyelidiki tempat itu. Tempat itu memang telah tertutup dengan rapat. Tapi secara kebetulan mereka menemukan jalan air yang masuk ke tempat itu. Mereka mulai menggalinya sehingga itu tembus sampai ke sebuah sungai yang mengalir di bawah bukit tersebut. Hari itu tepat satu hari sebelum Pertemuan besar tersebut.
Dengan Ilmu meringankan tubuhnya Han Sian membawa Jie Hong dengan cepat untuk bertemu dengan para tokoh-tokoh aliran putih lain yang juga membagi dua kelompok yang menuju ke arah Siauw-lim-pai dan Bu-tong-pai untuk melindungi kedua perguruan tersebut. Para pengacau Jit-goat-kauw sangat terkejut akan adanya bala bantuan yang mereka tidak harapkan ini di sela-sela kemenangan yang hampir mereka raih, sehingga rencana mereka menghancurkan kedua partai besar itu gagal total. Namun meski demikian tetap ada banyak sekali makan korban.
Demikianlah saat terjadinya pertempuran di pertemuan antara para pendekar dengan Tee-mo Kiam-ong, saat yang sama juga para pendekar sedang menghadapi penyerbuan para pengikut Jit-goat-kauw sehingga tidak ada yang menghadiri pembantaian maut ti Puncak awan Putih tersebut. Kekuatan hitam terpukul mundur, 12 raja Iblis hanya tersisa lima orang. Sedangkan empat partai sesantinggal beberapa pentolannya yang melarikan diri. Sedangkan Jit-goat Mo-ong sendiri bertarung satu hari-satu malam dengan Han Sian sehingga terluka parah danmelarikan diri.
Peristiwa ini adalah peristiwa yang paling tragis yang terjadi di dunia persilatan. Siauw-lim-pai dan Bu-tong-pai hampir berantakan. Setelah peristiwa tersebut dunia kang-ouw dan bu-lim menjadi sepi. Tidak ada pergerakan apapun yang muncul sampai setahun kemudian.
Dengan demikian, berakhirlah bagian pertama dari Pendekar Asmara Tangan Dingin ini. Bagaimanakah keadaan Han Sian yang menghilang selama satu tahun?, dan bagaimana keadaan asmara segi empatnya dengan Cu In Lan, Hong Lian dan Jie Hong? Bacalah cerita Pendekar Asmara Tangan Dingin Episode ke dua berjudul “PEWARIS PARA DEWA” Di mana anda akan bertemu dengan banyak tokoh-tokoh muda yang maha sakti pewaris-pewaris enam keluarga besar dunia persilatan.

Misi Penghancuran Rahasia; Dua jurus pertamaTai-Kauwcu

Sesungguhnya, di manakah para Su-Sian, Kangouw-Hiap-Wi berada dan para tokoh lainnya berada? Dan mengapa para pentolan Jit-Goat-kauw tidak ada satupun yang muncul? Untuk mengetahui hal ini mari kita mundur pada empat hari sebelum pertemuan besar tersebut.
___________
Setelah menyelesaikan pengobatan pada Cu In Lan, Han Sian meninggalkannya bersama dua orang di antara empat Dewa yang telah bersedia mengangkat In Lan menjadi murid mereka. Namun sebelum dia meninggalkan Tebing Langit, Koai-Hud Eng-Cu berpesan kepadanya agar mewakili mereka berdua untuk menghadiri Eng-Hiong Tai-Wang-gwe karena peliknya keadan dunia persilatan.
Karena waktu pertemuan tinggal tujuh hari lagi, maka Han Sian mengerahkan ilmunya sampai tingkat tertinggi menuju ke Punvak Awan Putih di Wu-Yi-San. Perjalanan yang memakan waktu hampir satu minggu itu hanya dia tempuh dalam waktu dua hari satu malam dan siang itu dia beristirahat sambil bermeditasi di bawah sebuah pohon di tepi aliran sungai yang mengalir di kaki puncak Awan Putih.
Begitu dalamnya dia bermeditasi sekian lama, dia masuk pada pengerahan dari tenaga saktinya. Pertarungannya dengan Tee Sun Lai dan para tokoh-tokoh dari empat dewa maupun para tokoh-tokoh kaum sesat yang bertemu dengannya telah membuka lebih banyak wawasan baginya untuk mematangkan tingkat pemahaman ilmu-ilmunya, terutama Kui-Sian I-Sin-Kang yang tanpa tanding, Bu-Tek Chit-Kiam-Ciang yang mengiriskan, Hui-im Hong-Sin-Kang yang sukar di bendung dan Seribu Bayangan Iblis Pemusnah yang mengerikan.
Han sian memang jeniusnya ilmu silat. Orang lain mungkin akan memakan waktu puluhan tahun untuk memahami dan melatih ilmu-ilmu silat yang dahsyat itu dengan baik, tapi itu pengecualian bagi Han Sian. Semua ilmu itu di telannya bulat-bulat dan terus menemukan pematangannya dalam setiap pertempuran yang dia hadapi.
Sementara dia bermeditasi, firasat dan telinganya menangkap gerakan halus yang tidak wajar mendekat ke arahnya dari jarak puluhan li. Segera dia mengembangkan Thian-In Hui-Cunya dan melesat bagai tiupan angin kepuncak sebuah pohon yang lebat dan diam tanpa bergerak sambil menahan nafas..
Tak lama kemudian tampak duabelas bayangan orang berjubah dan berkerudung hitam berkelebat dan berhenti tepat di bawah tempat persembunyiannya. Keduabelas orang ini tidak menyadari kehadirannya namun setelah mendengar suara mereka bisa di pastikan mereka bukanlah orang baik-baik karena dari tubuh mereka Han Sian merasakan hawa pembunuh yang kuat.
“Hemmm....Hek-Tok-Jiauw-Ong, tahukah kau mengapa Kauw-cu-yaa memanggil kita ke sini?” Tanya seorang yang berpakaian kerudung yang pertama.
“Aku tidak tahu, yang jelas beliau mengatakan ada perubahan rencana penyerangan” jawab Hek-Tok-Jiauw-Ong.
Mereka semua terdiam sambil berdiri seperti patung. Tak lama kemudian dari arah kiri terdengar bunyi berkesiutan dan tiba-tiba seorang pemuda tampan pesolek berpakaian perlente yang memegang sebuah kipas sutra dari baja murni.
“Hormat Kaucu-yaa, kami siap menerima perintah” Serempak ke lima orang itu menjura dengan hormat.
“Hemm, waktu kita tidak banyak, Tai-Kauwcu memerintahkan untuk segera menarik mundur semua pasukan ke pos masing-masing. Saat pertemuan besar di adakan, perintahkan ke empat partai untuk menggabungkan kekuatan menjadi dua bagian. Satu akan ada di bawah komandoku sedang yang satu lagi akan di pimpin langsung oleh Tai-Kauwcu, sasaran kita adalah Siauw-lim-pai dan Bu-tong-pai, tempat itu harus di ratakan dalam semalam. Tai-Kauwcu melihat bahwa ini lebih berguna untuk di lakukan daripada mati-martian menggempur pertemuan itu”
“Ide yang sangat cemerlang Kauwcu-yaa, dengan terpukulnya dua kekuatan paling besar di Bu-lim Kang-ouw ini maka akan lebih mudah untuk menaklukkan yang lainnya....hahahaha” Baju hitam ke dua menyahut.
“Tapi Kauwcu-yaa, bagaimana kalau para ho-han itu curiga kalau tiba-tiba mereka merasakan kita tidak ada gerakan?”
“Hahaha, semala ini kita hanya menakut-nakuti mereka saja, namun itupun tidak perlu terlalu banyak, biar 7 siluman langit yang tinggal dan terus mengadakan pengacauan agar mereka tidak curiga” Jawab pemuda itu singkat dengan senyuman dingin.
Beberapa saat kemudian, setelah mengatur beberapa hal, pertemuan kecil di bubarkan. Namun sebelum mereka berpisah, pemuda yang di sebut Kauwcu-yaa itu berkata:
“Sebelum pergi, kalian selesaikan dulu satu pekerjaan kecil yang ringan untukku...”
---lovelydear---
Malam semakin larut, di dalam hutan sekitar duapuluh li dari tempat pertemuan para datuk kaum sesat tersebut, di sebuah kelenteng yang sudah tidak terpakai lagi, tampak lima orang sedang duduk melewatkan malam sambil bersemedi.
Mereka adalah lima orang dari Kangouw-Hiap-wi. Nampak di antara mereka Cee Jie Hong si Gin-Hong-It-wi yang nampak sangat cantik bagai bidadari turun dari khayangan dan Chit-Seng Im-kiam (Pedang Dingin Tujuh Bintang) Bee Tiong, bersama tiga rekan mereka yang lainnya.
Sejak beberapa saat yang lalu, firasat ke lima orang ini terganggu, terlebih Jie Hong. Di antara mereka berlima, tak di ragukan bahwa kepandaiannyalah yang paling tinggi. Dan memang mereka tidak perlu menunggu lama dalam kegelisahan karena saat mereka membuka mata merasakan gerakan mencurigakan di sekeliling mereka. Ternyata di hadapan mereka tampak berkelebat Dua belas bayangan orang berkerudung hitam.
“Siaga! Tampaknya kepandaian mereka tidak berada di sebelah bawah kita semua” Sahut Jie Hong lirih ke arah empat rekannya sambil matanya menatap mereka penuh selidik
“Kalau boleh kami tahu siapakah cu-wi locianpwe sekalian? Dan apa yang bisa kami bantu?” Sontak Bee Tiong menyahut dengan suara keras berwibawa namun penuh ketenangan.
“Hahahaha...Orang muda, kau berbakat dan masa depanmu masih cerah sebaiknya bijaksanalah dalam mempertahankan nyawamu, kami hanya mau membawa gadis cantik ini untuk Kauwcu-yaa kami, jangan khawatir, setelah beberapa hari diapasti akan di kembalikan” se orang di antara manusia ke dua belas orang itu menyahut dengan suara dingin.
Bee Tiong jadi naik darah mendengar akan hal ini, namun sebelum dia melakukan sesuatu, Jie Hong yang telah marah melesat dengan dengan sebat ke arah orang berkerudung tersebut.
“Manusia tak tahu malu, biar nonamu mengajarmu yang tak tau adat...” “Wuuuttt...Plak, plakk, Desssss” pertemuan kedua tenaga yang kuat beradu membuat keduanya terdorong mundur satu langkah
“Ehhh...Eh, kau hebat...tampaknya hanya kau yang akan dapat memuaskan Kauwcu-yaa, mari Hek-wan Sin-mo kita tidak punya banyak waktu...hahahahahaha” Orang itu berseru sambil tertawa-tawa...
Bee Tiong dan ke tiga rekannya yang lain segera bergerak membantu, tapi mereka di hadang oleh empat orang berkerudung lain sehingga di tempat yang sunyi itu terjadi pertarungan sengit yang ramai namun mengancam ke lima anak muda tersebut oleh karena mereka sekalipun belum mengenal lawan mereka.
Dengan kepandaiannya yang merupakan hasil gemblengan se orang sakti di antara empat Dewa dan juga mendapat gemblengan tambahan dari beberapa orang sakti saat guru mereka membawa dia dan kakaknya berkelana di daerah pegunungan Himalaya, kalau hanya berhadapan satu lawan satu mungkin Jie Hong masih bisa menghadapi lawannya dan memperolah kemenanganyang tapi menghadapi ke dua orang datuk sesat di depannya yang sangat sakti idia tidak dapat berbuat terlalu banyak, karena itu hanya dalam duapuluh jurus dia telah kena di bius oleh Hek-wan Sin-mo. Sementara ke tiga rekannyapun agak kewalahan, mereka hanya sanggup bertahan limapuluh jurus lebih baru kemudian terpukul jatuh dengan luka parah.
“Bunuh mereka, jangan biarkan satupun lolos” Sahut orang berkerudung yang lain yang memanggul tubuh Jie Hong yang pingsan. Sesaat kemudian orang itu lelesat pergi ke arah barat hutan itu di ikuti ke tujuh orang lainnya.
Sementara itu sambil tertawa-tawa ke empat orang berkerudung hitam yang tinggal sudah mendekati ke empat pemuda yang telah terluka parah tersebut namun masih berdiri dengan gagah tanpa takut.
“Hahahahahaha....ketahuilah anak muda, yang berhadapan dengan kalian ini 12 Raja Iblis, dan karena kalian sudah berani menentang kami maka kami takkan mengampuni...” Berkata demikian tampak tangan orang itu berubah menjadi merah sebatas siku, dan di ikuti ke tiga rekannya mereka mengangkat tangan siap untuk memukul.
Tampak tidak ada harapan bagi mereka yang terkurung di tengah-tengah. Mereka hanya bisa pasrah saja tanpa tenaga menanti maut. Tapi ternyata maut belum berpihak pada mereka. Sebelum ke empat datuk sesat itu melancarkan pukulan terakhir mereka, keempat orang muda ini mendengarkan suatu suara lirih di telinga mereka: “...jangan takut, sambil bergandeng tangan kerahkan hawa murni kalian dan buka seluruh jalan darah. Jika kalian merasakan suatu tenaga yang berputaran kuat, jangan melawan kalau tidak tenaga bantuanku tidak akan menolong bahkan hanya tubuh kalian akan hancur lebur...lakukan dengan cepat”
Keempat orang muda ini terkejut dan saling pandang, mereka jadi tenang karena merasa ada orang pandai yang membantu mereka. Sesaat sebelum pukulan keempat raja Iblis itu mendarat di tubuh mereka, mereka merasakan punggung mereka hangat oleh suatu arus tenaga yang dahsyat. Saat itulah terdengar seruan dari lawan mereka...
“Bersiaplah untuk bertemu Giam-lo-ong...”
“’PLAAAK....PLAAAKK...DESSS....DEEEESSS” ‘Aiiikhh... Hoeek...hoeeekkk” Terdengar suara ledakan beradunya empat kekuatan dahsyat ketika keempat pukulan para datuk sesat itu mendarat di tubuh keempat pemuda itu. Akibatnya, sungguh aneh...keempat datuk sesat itu terlempar dua tombak ke belakang sambil memuntahkan darah segar.
Mata mereka terbelalak lebar karena tidak menyangka bahwa mereka akan menerima pil pahit seperti ini. Pandangan mereka di arahkan ke belakang keempat pemuda yang mereka akan bunuh itu, tampak berdiri seorang pemuda berpakaian putih dengan rambut riap-riapan. Yang membuat mereka takut adalah tatapan mata pemuda itu yang mengeluarkan hawa api yang penuh kemarahan.
“Huh, Kalian mau mengantar orang ke neraka, silahkan rasakan tangan iblisku...” Belum habis suaranya, tubuh Han Sian lenyap seperti kabut ke arah mereka. Meskipun dalam keadaan terluka namun mereka bukan anak kemarin sore. Mereka berusaha melawan dengan menangkis, tapi tiba-tiba Han Sian lenyap dari hadapan mereka. Di lain saat mereka segera berteriak kesakitan empat larih sinar tajam seperti pedang yang berwarna-warni menembus jantung mereka dari arah punggung. Mereka mati dalam keadaan menggenaskan.
Suasana hening, keempat pemuda yang melihat hal ini tidak dapat berkata apa-apa. Hanya memandang dengan ngeri saja melihat kematian empat datuk sesat ini tapi juga berterima kasih karena telah di selamatkan. Sebelum mereka mengucapkan terima kasih, Han Sian sudah menyahut:
“Tak perlu kalian memandangku begitu, aku memang tidak senang melihat para Iblis itu mengganas. Kalian sembuhkan diri kemudian segera berpencar untuk memperingatkan para tokoh Siauw-lim-pai dan Bu-tong-pai agar berjaga terhadap serbuan kelompok Jit-goat-kauw pada hari Eng-hiong Tai-wang-gwe nanti. Aku akan bergabung dengan kalian setelah menyelamatkan gadis teman kalian itu.” Selesai berkata demikian tangannya melemparkan satu botol kecil kearah Bee Tiong kemudian tubuhnya lenyap bagai asap mengejar kearah orang-orang yang menawan Jie Hong.
Bee Tiong membuka tutup botol tersebut dan menuangkan isinya, ternyata ada empat buah pil yang mengeluarkan bau harum. Segera mereka meminumnya dan mengatuh jalan pernafasan, sepeminuman kopi kemudian mereka tersadar dengan tubuh yang lebih baik. Luka mereka sudah lebih ringan dan tidak mengganggu lagi. Mereka segera bergerak menemui kelima anggota kangouw-hiap-wi lain dan segera menuju ke Siauw-lim-pai dan Bu-tong-pai.
Sementara itu Han Sian melesat cepat ke arah perginya delapan pentolan kaum sesat tadi. Tapi dia tidak sejauh-jauhnya dia mencari tidak juga dia temukan jejak ke delapan orang tersebut. Dia penasaran. Terus tubuhnya melesat ke atah selatan pada jajaran perbukitan yang menjulang di depannya. Tapi sampai pagi tidak juga dia dapat menemukan orang-orang yang di carinya.
Menjelang pagi dia tiba di pinggir sebuah telaga yang tidak terlalu luas, namun memanjang sampai berpuluh kilo meter. Sangking kesalnya karena kehiangan buruannya, dia duduk melangkah mendekati pinggir telaga tersebut. Di lihatnya ada seorang kakek yang sudah tua sekali sedang memancing dengan tenang.
Sekilas dia rambut kakek itu yang petih keperakan semua, dia memperkirakan umur kakek tersebut mungkin sudah lebih dari 100 tahun. Tapi kewaspadaannya segera meningkat ketika di lihatnya tangan dan kakek tersebut yang padat terlebih sinar matanya yang tajam tanda bertenaga dalam tinggi. Segera dia membuka suara bertanya:
“Maaf kakek tua, apakah engkau melihat delapan orang lewat di tempat ini sambil membawa seorang gadis?”
“Aku baru saja datang di tempat ini. Ada apakah?”
“Akhh, tidak apa-apa, aku hanya sedang mencari salah seorang sahabatku yang di tawan oleh para iblis...”
“Hemm, kau berani sekali anak muda, tapi mereka itu sangat sakti, apa kau yakin dapat menyelamatkan temanmu itu?”
“Huh, segala macam 12 Raja Iblis saja siapa takut, baru saja beberapa waktu lalu ku antar empat orang dari antara mereka menemui Giam-lo-ong...Eh, permisi, aku harus pergi” setelah menjura sejenak, Han Sian membalikkan tubuh dan melangkah pergi. Namun baru saja dia berjalan lima langkah, tiba-tiba tubuhnyamelesat kesamping tiga langkah.
“Wuuuuuuutttt.....Daaaarrrrrr” Tempat di mana kakinya berada tadi telah berlubang selebar satu meter hanya dengan ujung mata pancing. Tubuhnya segera berbalik menghadap ke arah kakek tua tersebut dengan pandangan waspada.
“Hahahahaha...rupanya kau cukup berisa, pantas kau sesumbar telah mengirim empat orang dari 12 Raja iblis tersebut...tapi maukah kau main-main denganku barang dua-tiga jurus?” tantang kakek tersebut.
“Maaf, aku tidak mengenal engkau, bagaimana aku dapat melawanmu?”
“Kau akan segera tahu bila bisa menahan tiga kali seranganku...”
“Baik...silahkan mulai” Han Sian tahu kakek di depannya ini memiliki tenaga yang kuat, terbukti hanya dengan mata pancing dapat membuat lubang selebar satu meter. Segera dia mengerahkan Kiu-sian I-sin-kang untuk berjaga-jaga, ementara kedua tangannya telah di aliri Tenaga Inti Petir Murni.
“Jurus pertama...” Seru kakek itu. Tubuhnya maju perlahan dan tangankanannya menepuk ke bahu kiri Han Sian. Sangat sederhana, seperti dua kawan lama yang saling menyapa sambil menepuk bahu saja. Tapi Han Sian merasakan suatu arus kekuatan yang mendorong kuat menggempur kuda-kudanya agar melangkah mundur.
Tak mau kalah, segera tangan kirinya di angkat perlahan menepuk punggung tangan kakek itu. Namun meskipun perlahat namun tibanya cepat sekali. Ini membuat kakek itu juga terkejut karena tenaganya tiba-tiba terputus di tengah-tengah. Segera dia menarik tangannya. Dalam waktu singkat telah terjadi adu kekuatan dan kakek ini terkejut karena dia tidak dapat mengambil kemenangan dalam hal tenaga karena nampaknya tenaga pemuda itu tidak berada di sebelah bawahnya.
“Bagus...bagus, kau memang berbakat...lihat jurus ke dua...Heaaahh” Tubuh kakek itu melenting ke atas dan tiba-tiba delapan belas bola api dan es seperti hujan menghantam ke arah Han Sian dan segera mengurung ruang geraknya.
Han Sian tidak gugup melihat serangan ini. Dalam sekejap cahaya keemasan dari tenaga Hui-im Hong-sin-kang melapisi tubuhnya dan membungkus Pukulan Petir Murninya dalam gerakan yang sederhana menyambut bola-bola api-es tersebut sehingga semuanya meledak di udara tanpa satupun yang menyentuh tanah.
“Aiiikhhhh.....” Kakek itu terkejut karena semua serangannya dapat di tangkis. “Anak muda, aku simpan jurus ke tiga untuk di lain pertemuan...kau carilah buruanmu ke arah barat, mungkin mereka belum jauh...sampai jumpa..” Tubuhnya melesat cepat meninggalkan tempat itu. Han Sian tidak mencegah, lagipula dia memang tidak mempunya permusuhan dengan kakek tua itu.
Segera kakinya bergerak melangkah ke arah barat sesuai petunjuk kakek itu. Tapi baru saja dia melangkah, tiba-tiba tangannya memukul jidatnya seperti teringat sesuatu. Segera dia berbalik dan tubuhnya melesat ke arah perginya sang kakek tua.
Dengan penuh semangat dia mengempos tenaganya melesat di atas pepohonan sehingga dalam sekejap sudah melewati puluhan li. Sampai dia tiba di sebuah lembah berbatu-batu yang sunyi. Setelah sekian lama tetap saja dia tidak menemukan sosok orang tua tadi tapi ujung matanya tiba-tiba menangkap sebuah gerakan seseorang yang berlompatan dengan lincahnya dari atas batu-batuan memasuki sebuah guha sambil memanggul sesosok tubuh. Setelah mengawasi tempat itu sejenak, tubuhnya melayang ke arah guha dan masuk bagai asap tanpa di ketahui siapapun.

Darah di Eng-Hiong Tai-Wang-gwe

Dengan cepat ke sepuluh orang muda ini bergerak secara rahasia sambil mengenakan kerudung Putih, melaksanakan tugas mereka untuk mengamarkan para pendekar agar bersiap menghadapi para kaum sesat yang mencoba menyusup dalam pertemuan besar di Puncak Awan Putih di Wu-Yi-san nanti. Di samping itu berulang-ulang ke sepuluh orang ini mengadakan bentrokan-bentrokan kecil dengan ke empat perguruan sesat di bawah pimpinan Jit-Goat-Kauw tersebut. Sehingga dalam waktu singkat ke sepuluh orang ini di kenal dengan nama “Kangouw-hiap-wi” (Para Pengawal Kangouw).
Hari menjelang pagi memasuki waktu pertemuan besar antara para pendekar. Puncak Awan Putih yang dingin terselimuti kabut yang menutupi hampir seluruh bagian puncak tersebut sehingga tidak nampak dari bawah gunung.
Namun suasana ini tidak dapat menutupi gerakan orang-orang yang bergerak naik ke atas bukit tersebut. Baik secara berkelompok ataupun sendiri-sendiri. Bukan hanya dari ke tigapuluh enam partai partai besar/kecil yang hadir, tapi juga enam keturunan keluarga besar yang hanya mengirimkan satu atau dua orang utusan mereka yaitu, keluarga Suma dari Pulau Es, keluarga Lu dari Pulau Daun Putih, keluarga Keluarga Yang dari Kuburan Kuno, keluarga Kiang dari Lembah Pualam Hijau, keluarga Khu dari puncak Sian-Thian-san dan keluarga Thio dari Pulau Phonix, dari partai-partai kecil lainnya dan 5 perkumpulan pengemis yang tersebar dari Kwitang-Pakhia.
Suasana ramai saat itu namun juga tidak lepas dari sikap waspada yang tinggi dari tiap-tiap orang yang hadir. Jumlah keseluruhan yang hadir kurang lebih tiga ratus orang. Tampak juga di antaranya hadir juga para tokoh-tokoh tua, para ciangbunjin dan murid-murid pilihan mereka.
Menjelang tengah hari, saat para pendekar telah berkumpul, Bhok-Siang-Hwesio, suheng dari ciangbunjin Siauw-Lim-Pai maju ke muka menghadap para pendekar. Suaranya lembut tapi bergema sampai ke seluruh penjuru, tanda tenaganya kuat sekali.
“Selamat bertemu Cu-wi sekalian...karena hari sudah menjelang siang, sekaranglah saatnya bagi kita untuk merundingkan segala sesuatu. Silahkan bagi siapa yang mau mengemukakan ide-idenya untuk di bahas dalam pertemuan ini...”
Semua orang mengangguk-angguk dan saling pandang, sesaat kemudian dari barisan sebelah kanan bertindak maju seorang pria berjubah kuning dengan pedang panjang di pinggang. Beberapa orang mengenalnya sebagai Wan Siu si Hong-in-Sin-ong (Pedang Sakti Awan Angin), yaitu salah satu dari Pat-Kiam-ong (Delapan Raja Pedang) yang terkenal.
“Maafkan saya berani lancang...bila melihat perkembangan dunia persilatan saat ini cukup mengejutkan dengan adanya pergerakan dari para pentolan-pentolan kaum Hek-to, saya hanya ingin mengusulkan agar para Eng-hiong boleh sepakat untuk memilih Beng-cu yang dapat mempersatukan semua gerakan kita menghadapi para pengganas tersebut...”
“Omitohud, Benar sekali ucapan Wan-sicu, memang dalam keadaan yang bergejolak ini perlu adanya penanganan secara bersama di bawah satu pemimpin, bagaimana pendapat para enghiong sekalian?...” Terdengar lagi suara Bhok-Siang-Hwesio yang di sambut dengan anggukan dan bisikan diskusi oleh semua yang hadir.
Tiba-tiba terdengar suara yang lain: “Kami semua setuju dengan usul tersebut, tapi bagaimana caranya kita menentukan calon Beng-cu yang akan di pilih itu?” Seorang pria setengah tua berpakaian hitam menyahut dengan suara yang keras sehingga mengalahkan semua suara yang ada, sehingga semua mata kini kembali di arahkan pada Bhok-Siang-Hwesio.
Mulailah terdengar berbagai tanggapan dari sana-sini, ada yang mengusulkan adu kepandaian tapi ada juga yang mengusulkan untuk menunjuk orang yang paling di hormati dari kalangan tua saja. Tapi setelah di sepakati, akhirnya usul yang pertama untuk di pilih melalui adu Ilmulah yang di plih.
Melihat ini, segera Bhok-Siang-Hwesio menatap tajam ke semua yang hadir dengan penuh wibawa dan mengangkat tangan menenangkan semua orang yang mulai ramai dengan usul-usulnya.
“Baiklah cu-wi sekalian sudah mengusulkan. Sekarang masing-masing pihak boleh mengajukan satu calon yang nanti akan di uji. Namun mengingat keadaan kita yang sangat rawan saat ini dengan adanya berbagai isu penyusupan dari aliran sesat, maka pinceng menganjurkan agar setelah usulan para calon di tentukan, maka biarlah kita menyerahkan kebijakan pengujian ini kepada para ciangbunjin yang ada yang kita tidak ragukan kepandaian mereka, bagaimana?”
“Akuuuurrrrr....” “Setujuuu....” terdengar suara balasan dari sana-sini.
Walaupun memakan waktu yang tidak terlalu lama, namun pemilihan Beng-cu itupun tetap berlangsung dengan meriah dan cepat. Keadaan sejauh ini cukup menggembirakan bagi para ciangbunjin yang ada, namun mereka juga tetap was-was karena keadaan itu terlalu tenang.
Sementara itu Bhok-Siang-Hwesio hanya berdiam saja selama pemilihan itu berlangsung, tapi matanya terus menjelajah ke sekeliling dengan tatapan penuh selidik, hatinya bertanya-tanya: “Dimana para Su-Sian, dan para tokoh-tokoh penting sakti lainnya, juga kangouw-Hiap-Wi?”
Setelah sekian lama akhirnya muncul dua orang unggulan. Yang pertama Bu-tek Sin-liong-kiam Wu Kong Liang dan yang kedua adalah Bhok-Siang-Hwesio sendiri. Melihat ini segera Bhok-Siang-Hwesio bergerak maju untuk memberi sanggahan.
“Para Eng-hiong sekalian, bukannya pinceng menolak kesepakatan kami berdua untuk memilih kami dari kalangan Tua ini sebagai Beng-cu, tapi hendaknya harus di ingat bahwa tugas sebagai Beng-cu nanti sangat membutuhkan orang-orang yang lebih ulet dan bersemangat muda, jadi mohon di pertimbangkan lagi agar dapat memilih orang-orang yang lebih muda saja...”
“Benar ucapan losuhu Bhok-Siang-Hwesio, adalah lebih baik jika dari kalangan yang lebih mudah saja yang di pilih...” Sambung Wu Kong Liang.
“SETUJUUU......” Terdengar suara yang keras menyahut. Ternyata datangnya dari seorang pria berpakaian putih dari rombongan sebelah timur yang baru saja tiba. “maafkan atas keterlambatan kami, tapi karena belum terlalu terlambat maka kami dari Kim-Liong-pai mengusulkan Ketua kami sebagai Beng-cu...dia sangat sakti dan Ilmu pedangnya tak tertandingi di antara para pendekar muda....?”
Rombongan itu terdiri dari sebuah tandu megah berbentuk naga yang di kawal oleh seratus orang berpakaian putih dengan pedang bergagang keemasan.
Semua orang mulai berbisik-bisik melihat hal ini. Bhok-Siang-Hwesio segera menyahut:
“Ahh, kami telah mendengar bahwa Kim-Liong-Pai telah memiliki Ketua baru yang masih muda, Konghi-konghi...tapi bolehkah kami mengetahui nama beliau dan apa julukannya?”
Seorang pria setengah baya dan berkumis tebal maju ke depan sambil berkata: “Ketua kami yang mulia bernama Tee Sun Lai, dia......”
“DIA ADALAH MANUSIA IBLIS BERJULUK TEE-MO KIAM-ONG...” Sahut suatu suara keras yang entah dari mana datangnya tapi hasilnya ternyata sangat berpengaruh.
“Iiiiiiihhhhh...” “Awas....hati-hati....” Timbul berbagai suara kekhawatiran dari sana-sini
“Omitohud, benarkah dia Tee-Mo Kiam-Ong?” sambung Bhok-Siang-Hwesio dengan suara agak terkejut. Sementara tokoh-tokoh yang lain memandang penuh selidik dengan tangan masing-masing terulur memegang senjata mereka dengan sikap khawatir.
Wu-Tayhiap yang lebih dahulu menguasai perasaan hatinya segera bertanya: “Maaf, pertemuan ini adalah pertemuan para Eng-hiong untuk menghadapi para kaum Hek-to, di pihak manakah kalian berada? Sejauh yang kami ketahui Kim-Liong-Pai di bawah pimpinan It-Gan Kim-Liong (Naga Emas Bermata Satu) sangat menjunjung tinggi kegagahan, tapi mengapa Kim-Liong-pai justru mengijinkan penggantinya seorang dari jalan Hek-to?”
Wajah pria berpakaian putih itu pucat, mulutnya terbuka seperti hendak mengatakan sesuatu...tapi saat itu juga terdengar suara terkekeh, perlahan, namun suaranya bergetar mengidikkan bulu roma semua yang hadir.
“Hehehe, Wu-Tayhiap memang orang yang berpengetahuan luas, tidak usah kita perbincangkan mengenai hal yang sia-sia, yang jelas akulah ketua Kim-Liong-pai yang baru, apa ada yang menolak bila aku di calonkan sebagai Beng-cu? Lagi pula kalau aku jadi Beng-cu, kalian tidak akan rugi karena akupun sangat menentang orang-orang Jit-Goat-Kauw busuk yang sok jago itu”
Bhok-Siang-Hwesio adalah orang yang arif, tapi dia tahu belaka apa artinya jika orang seperti Tee-mo Kiam-Ong ini jadi Beng-cu, itupun setali tiga uang dengan Jit-Goat-Kauw. Segera dia menyahut:
“Maaf, tapi pemilihan Beng-cu ini haruslah di setujui oleh semua Eng-hiong yang hadir...”
“Hahaha, aku tahu losuhu, tapi semua orang sudah memilih kalian berdua, itu artinya jika aku mengalahkan kalian berdua, maka semua akan setuju, bukankah begitu?” Belum habis suaranya, tiba-tiba tirai tandu tersibak dan melesatlah bayangan keemasan kea arah Bhok-Siang-Hwesio dan Wu-Tayhiap dengan kecepatan yang mengagumkan.
“Hemm...” Bhok-Siang-Hwesio dan Wu-Tayhiap segera bersiap untuk menyambut karena mereka merasakan hawa yang sangat kuat menerjang mereka, tapi sekedipan mata kemudian bayangan itu telah berdiri tiga langkah di depan mereka berdua sambil tersenyum.
“Marilah Jiwi-locianpwe, kita bermain-main sebentar, jangan sungkan...” Berkata demikian sekelebat bayangan pedang yang entah dari mana datangnya berubah menjadi dua jalur panjang yang mengeluarkan suara berdesing tajam mengarah pada Bhok-Siang-Hwesio dan Wu-Tayhiap.
“Hehh...” Bhok-Siang-Hwesio dan Wu-Tayhiap terkejut sekali ketika merasakah kekuatan serangan lawan tidak berada di sebelah bawah kekuatan mereka. Segera tubuh Bhok-Siang-Hwesio melesat satu langkah ke samping sedangkan Wu-Tayhiap melesat satu tombak ke atas dan turun perlahan-lahan.
“Ini jurus kedua” Sambut Tee Sun Lai, di lain saat tubuhnya bergerak sebat melontarkan serangan ke-dua yang lebih dahsyat lagi itulah jurus maut “seribu biang iblis membelah sang budha”. Pedangnya mengeluarkan cahaya tajam rapat yang mengurung kedua lawannya dari segala penjuru sehingga mustahil ada jalan keluar. Hebatnya lagi setiap bayangan pedang itu memiliki kekuatan yang sama dahsyat.
Namun Bhok-Siang-Hwesio dan Wu-Tayhiap bukanlah anak kemarin sore yang baru belajar ilmu silat. Meskipun mereka terkejut karena mereka hampir kalah tenaga dari lawan yang masih muda namun dengan cepat Wu-Tayhiap memainkan ilmu Thai-San-kiam hoatnya yang sudah sempurna pada jurus ke tigabelas yang menciptakan tembok rapat yang susah di tembus, sementara Bhok-Siang-Hwesio mengerahkan ilmu Tiat-po-san yang sudah mencapai tingkat ke sepuluh dan tangannya mengerahkan tenaga Kiu-yang Kim-Kong-ci membalas menyerang lawan.
Demikianlah terjadi pertempuran dahsyat dua lawan satu di tengah-tengah lapangan luas itu. Hal ini sangat mengkhawatirkan para pendekar. Di antaranya para utusan dari ke enam perkampungan itu yang dapat melihat bahwa Bhok-Siang-Hwesio dan Wu-Tayhiap masih agak kesulitan menandingi pemuda yang ternyata sangat sakti itu.
Tigapuluh jurus berlalu, pertarungan sudah memasuki tahap puncak bagi ke dua tokoh sdari golongan putih ini. Bhok-siang-hwesio telah mengerahkan tingkat ke sepuluh dari ilmu Tat-mo-kun-hoat yang di kerahkan dengan tenaga kiu-yang Kim-kong-ci. Tubuhnya bergerak lambat, namun cepat menahan gempuran-gempuran hawa pedang yang dahsyat. Begitu juga Wu-Tayhiap yang telah mengerahkan puncak tertinggi dari Thai-san-kiam-sut serta Thai-yang-kangnya.
Memasuki jurus ketigapuluh satu, tiba-tiba Tee Sun Lai memekik seperti Harimau marah. Tubuhnya berkelebat seperti terbagi menjadi empat bagian. Tangan kirinya mengerahkan jurus ke dua dari ilmu Hiat-kut-jiauw Sam-kang yang bernama “Seribu cengkraman darah melepaskan tulang” sedangkan pedangnya bergerak deangan jurus ke empatpuluh dua dari Tee-mo-kiam-sut yang bernama “Ribuan pedang iblis bumi pemantek dewa”. Jurus ini sifatnya menyusup pada tenaga lawan dan menghancurkan pusat tenaga. Kalau lawan lebih rendah tenaganya akan berakibat lenyapnya kepandaian lawan.
Dengan sepenuh tenaga dan karena tidak melihat pilihan lain dalam menghadapi jurus lawan, Bhok-Siang-Hwesio segra melesat kebelakan Wu-Tayhiap mengempos semangat sambil menempelkan telapak tangannya di punggung Wu-Tayhiap untuk untuk menahan gempuran lawan.
“PLAAAKKK...” “CEPP...CEEPPP......KRAAKK...”
“UHUUUKKK......HOEEEKKKKK” darah segar di muntahkan oleh Bhok-Siang-Hwesio dan Wu-Tayhiap yang terlempar ke belakang satu tombak lebih. Bhok-siang-hwesio segera duduk bersila mengobati luka dalamnya yang amat parah akibat tindihan tenaga lawan yang dahsyat. Sedangkan Wu-Tayhiap bergerak bangkit perlahan dengan tiga tempat di tubuh yang tertembus pedang. Namun syukur bahwa gabungan tenaga mereka ternyata dapat meredam efek yang menghancurkan dari jurus “Ribuan pedang iblis bumi pemantek dewa” itu.
Di sebelah sana, nampak Tee Sun lai yang masih tertawa terkekeh tapi mukanya merah dan kakinya melesak satu jengkal ke dalam tanah. Agaknya dia juga terluka bagian dalam tapi masih lebih ringan. Dengan pongahnya dia memandang ke semua orang yang memandang kepadanya dengan tatapan ngeri.
“Apakah masih ada dari antara kalian yang mempertanyakan hakku menjadi Beng-cu?...”
Semua terdiam, tidak ada yang menyahut. Tapi beberapa saat kemudian dari tengah-tengah kumpulan para Eng-Hiong tersebut bergerak maju para utusan dari ke-enam keluarga dan juga delapan orang dengan pedang yang beraneka bentuk di tangan. Mereka adalah Pat-Kiam-ong (Delapan Raja Pedang), salah satu di antaranya, yaitu Wan Siu si Hong-in-Sin-ong (Pedang Sakti Awan Angin) melangkah ke muka dan berseru:
“Kau memang hebat, tapi kau masih harus melewati kami terlebih dahulu...beranikah kau?...”
“Hemmm, apa ini yang para pendekar yang di sebut Pat-Kiam-ong? Ku dengar kalian sudah lama mengasingkan diri, mengapa sekarang muncul lagi?”
“Perkara dunia persilatan adalah jiwa kami, sehingga kamipun tidak akan berdiam saja jika ada kekacauan yang di sebabkan orang-orang jahat kejam sepertimu yang mengacau...”
“Hahahahahahaha...kalian terlalu sombong untuk mengatakanku kejam sementara kalian juga banyak kali membunuh orang...”
Ke delapan orang ini terhenyak. Bagaimanapun juga mereka tidak dapat membantah lebih jauh.
“Baiklah, kalau kalian dapat menembus dua kelaompok barisan 52 Iblis Bumi dan keluar dengan selamat, maka aku akan mundur dan tidak berharap untuk menjadi Beng-cu lagi. Tapi harus ku ingatkan, aku sendiripun membutuhkan empat puluh sembilan jurus untuk dapat membongkar satu barisan ini....hahahaha...” Berkata demikian, tubuhnya berbalik dan melesat masuk ke dalam tenda. Sementara ke seratus empat anak buah Kim-Liong-pai bergerak teratur membentuk dua barisan Iblis Bumi di kanan–kiri,
Demikianlah terjadi pertempuran besar-besaran yang memakan korban jiwa yang banyak dari pihak para pendekar. Banyak yang melarikan diri satu-satu yang pada akhirnya merekalah yang menceritakan bagaimana pembantaian itu berlangsung.
Semua utusan dari enam keluarga tewas. Pat-Kiam-Ong yang luka-luka dan di lemparkan ke lembah di Puncak Awan Putih tersebut sehingga tidak di ketahui keadaan mereka lebih lanjut.
Sementara itu Bhok-Siang-Hwesio dan Wu-Tayhiap yang luka-luka hanya di biarkan di antara mayat-mayat yang berserakan.
Malam itu di lalui dengan suasana hening yang mencekam oleh kedua tokoh ini sambil terus bertanya-tanya dalamhati mereka: “ Dimana para Su-Sian yang telah mereka hubungi? Dimana para Kangouw-Hiap-Wi, dan para tokoh-tokoh dunia persilatan sakti lainnya yang telah mereka hubungi sebelumnya???...Dan dimana orang-orang dari Jit-Goat-kauw yang katanya akan mengacau???...

Kim-Houw-It-Wi & Gin-Hong-It-Wi

Waktu terus berjalan dengan sangat cepatnya. Pergerakan para tokoh-tokoh golongan hitam yang di kendalikan oleh Jit-Goat-Kauw ternyata semakin merajalela. Yang paling berbahaya adalah karena empat partai sesat yang selama ini berdiri terpisah, sudah menyatakan takluk serta bergabung dengan Jit-Goat-Kauw ini. Ke-empat partai sesat itu adalah Im-Yang-Kauw, Hek-Liong-Pai, Beng-Pai dan Tai-Bong-Pai.
Dalam pergerakan selanjutnya Jit-Goat-Kauw membagi empat semua kekuatannya dan bergabung dengan ke-empat partai sesat ini dengan bergerak di belakang mereka untuk melebarkan pengaruhnya ke arah tanah sentral dari empat penjuru.
Bukan hanya itu saja, pergerakan inipun sudah mulai memasuki bagian dalam kerajaan Tang. Kaisar Kuan Zong yang memerintah pada waktu itu sudah mulai mencium adanya pergerakan rahasia yang bertujuan menghancurkan dunia persilatan dan juga menguasai kerajaan. Bahkan beliau juga sudah mencium adanya pejabat-pejabat yang menjadi antek atau kaki tangan dari para pemberontak dunia hitam tersebut, hanya saja sejauh ini belum ada bukti atau tanda-tanda yang nyata dari kaum pemberontak tersebut yang membuat dia harus memerintahkan pembasmian.
Para pengikut-pengikut dari Jit-Goat-Kauw ini sangat pandai menyusup dan menyewa para pembesar-pembesar yang korup untuk membantu mereka dari dalam secara diam-diam.
Namun saat itu suasana istana yang tadinya tenang, tiba-tiba saja istana gempar. Gudang perpustakaan dan pusaka kerajaan telah di bobol orang. Yang aneh adalah bahwa tidak ada tanda-tanda bahwa tempat itu telah di masuki oleh pencuri. Semua penjaga melaporkan dalam keadaan siaga dan tidak melihat adanya orang yang mencurigakan. Namun kenyataan bahwa ada barang pusaka istana yang kecurian adalah fakta yang jelas dan tidak bisa di tutupi.
Suatu hari, di saat menjelang sore. Dalam ruang pribadi Sang Kaisar, nampak tiga orang yang sedang menghadap padanya. Dua di antaranya memakai kerudung yang menutupi wajah mereka. Namun tetap tidak menutupi kalau mereka itu adalah pria dan wanita.
“Hemm, aku tidak tahu dan tidak mengenal kalian berdua, tapi akupun percaya pada paman Lui yang sudah merekomendasikan kalian...” berhenti sejenak, sang Kaisar mengalihkan tatapannya kepada pria yang berdiri di sampingnya sambil tersenyum. Dia adalah Pejabat Lui Tao Ki, yang menjadi penjaga perpustakaan dan gudang pusaka kerajaan.
“Tapi sebelum kalian menerima tugas ini, aku harus merasa yakin dulu dengan kepandaian kalian, aku buka orang yang buta ilmu silat jadi terserah bagaimana caranya kalian melakukannya, asalkan hatiku puas, maka aku akan percaya...kalian berdua pasti mengetahui caranya?.” Kembali dia melanjutkan.
Sang pria kemudian menganggukkan kepala dan setelah menjura kepada sang Kaisar, dia kemudian mengerahkan tenaganya. Di lain saat kakinya tiba-tiba melesak masuk ke dalam lantai sedalam dua inchi. Sunggu suatu demonstrasi tenaga yang amat hebat. Bagi orang yang tidak tahu pasti tidak akan berkesan tapi bagi Sang Kaisar yang sebenarnya juga tidak lazim dengan ilmu silat rasanya cukup mengerti untuk memngakui bahwa pria berkerudung ini bukan hanya ahli silat biasa saja. Sementara hal yang sama juga di lakukan oleh sang wanita berkerudung. Hanya bedanya, kalau yang pria melesak masuk, adalah yang wanita justru membuat lantai tempatnya berpijak itu timbul seperti bentuk telapak kakinya setebal satu setengah inchi.
Melihat hal ini, sang Kaisar hanya tersenyum puas saja. Dia tahu, seratus pengawal Kim-I-Winya pun belum tentu dapat menahan ke dua orang di hadapannya ini untuk waktu yang lama. Akhirnya Kaisar Kuan Zong memutuskan mengirimkan dua orang agen rahasia yang sakti ini untuk menyelidiki serta mengungkap bukti-bukti akan kasus pencurian dan pemberontakan tersebut. Tidak ada yang mengetahui ataupun mengenali siapa ke dua orang ini. Yang pasti keduanya hanya di ketahui identitasnya sebagai “Kim-Houw-It-Wi” (Pengawal Tunggal Harimau Emas) dan “Gin-Hong-It-Wi" (Pengawal Tunggal Hong Perak). Mereka di lengkapi dengan stempel khusus yang membuat mereka memiliki kewenangan untuk menggerakkan seluruh pasukan kerajaan kapan saja dan di mana saja mereka berada.
---lovelydear---
Selama beratus-ratus tahun Bu-Tong-Pai telah menjadi salah satu partai yang terkemuka. Karena kedisiplinan yang tinggi partai ini dapat mensejajarkan dirinya dengan Siauw-Lim-Pay dan lain-lainnya yang banyak menelorkan pendekar-pendekar tangguh yang berwatak gagah dan sukar di cari tandingannya.
Di tempat yang paling rahasia di Bu-Tong-Pai yang terletak hutan larangan di belakang pesanggrahan itu, tampak dua orang kakek yang usianya sudah tua saling berhadapan.
“Hahaha...Kian-In Cinjin, menyerahlah, kau tetap takkan dapat mengalahkanku. Usiamu sudah terlalu tua...? Seru seorang kakek muka hitam setengah baya berjubah Kuning-Putih.
Di hadapannya tampak seorang kakek pula yang terlihat lebih tua, berusia sekitarenam puluh sembilan tahun, sedang berjongkok dengan kaki satu. Dari sela-sela bibirnya terlihat darah kental mengalir. Dia terluka dalam yang parah.
“Huhh Hek-bin Jit-cu ...Ilmu Jit-Goat-Tok-Ciangmu memang hebat, pinto siap menjemput kematian seperti kesepakatan kita, asalkan kau tidak mengganggu seujung rambutpun anak murid Bu-tong-pay...silahkan sicu...” Sahut kakek ini perlahan sambil memuntahkan darah segar lebih banyak lagi.
“Heehh, baiklah, aku setuju, kepalamupun sudah merupakan hadiah yang terbesar bagi ulang tahun Tai-Kauwcu kami...bersiaplah...haiitttt” Berkata demikian, tanpa banyak bicara Hek-bin Jit-cu menarik kedua tangannya ke belakang dan di putar-putarkan sambil di pukulkan ke depan.
Tapi sayang, sepertinya waktu belum mengizinkan kematian dari Kian-In Cin-jin.
“Jangannnn...” “DHEESSSS” Tiba-tiba terdengar suara nyaring, dan seorang pemuda sudah menghadang di hadapan Kian-In CinJin sambil menangkis pukulan tersebut. Pemuda itu terdorong dua langkah, sedangkan Hek-bin Jit-cu itu terdorong tiga langkah ke belakang.
“Manusia lancang, siapa kau, berani menghalangiku???” Bentak Hek-bin Jit-cu itu. Namun diam-diam dia terkejut juga akan kekuatan lawan barunya ini yang mampu membuat dia terdorong tiga langkah. Dia taksir usianya belum sekitar duapuluh tahun.
“Huh, kau yang lancang, berani mengacau di sini dan melukai ciangbunjin-suheng...” Terdengar suara lain yang halus, suara wanita, dari samping. Di lain saat berkelebat satu bayangan yang amat cepatnya mengirim empat kali pukulan berantai yang amat dahsyat.
“Thai-kek-ciang?...” “Heahhh...” Hek-bin Jit-cu kembali terkejut, namun tanpa ayal, segera mengerahkan seluruh kekuatnnya menangkis.
“PLAAK...PLAAAK...” “Haiiit...” Terjadi benturan sebanyak empat kali, dia terdesak mundur satu langkah, tapi yang lebih luar biasanya, belum sempat dia mengatur posisinya, tubuh bayangan di hadapannya sudah meliuk dengan kecepatan luar biasa, seolah tak bertulang, melejit ke atas dan melontarkan satu pukulan yang amat dahsyat ke arah ubun-ubunnya.
Segera Hek-bin Jit-cu memutar kedua tangannya di atas kepala untuki menyambut serangan tersebut. Tapi kembali dia terkejut, karena tiba-tiba dia kehilangan lawannya. Belum hilang kekagetannya, terdengar suara halus seorang wanita di sebelah depan:
“Akhh..toako, nyatanya orang sombong ini terlalu lemah...” Sahut gadis itu setengah kecewa.
“Benar sekali, Hong-moi...Akhh, inikah antek-antek Jit-Goat-Kauw yang ke blinger dan bermimpi menguasai dunia persilatan?” Pemuda itupun menimpali. Namun tidak lama, karena sesaat kemudian mereka berdua sudah menjatuhkan diri berlutut di hadapan Kian-In Cinjin sambil bersoja.
“Ciangbunjin-Suheng, terimalah hormat kami!”
“Hemmn, apakah kalian murid Susiok-Couw di In-Kok-San?”
“Benar, ciangbunjin-suheng, kami kakak-beradik benar adalah murid suhu Thian-In Cinjin. Menurut suhu, bahwa biarpun beliau sudah mengasingkan diri di In-Kok-San, tapi beliau tidak pernah tidak memperhatikan Bu-Tong-Pai. Suhu memerintahkan kami untuk melapor agar dapat memberi bantuan seperlunya bila Bu-Tong-Pai membutuhkan. Kebetulan Suhu berpesan pada kami untuk menengok makam mendiang sucow, sehingga kami bisa sampai di sini...”
Berkata demikian, sang pemuda segera berdiri dan menghadap ke arah Hek-bin Jit-cu.
“Bagaimana, orang tua, apa kau masih mau melanjutkan niatmu?”
“Tampaknya aku tidak punya pilihan lain selain menghadapi kalian, baiklah mari kita coba lagi...kalaupun aku kembali, Tai-kauwcu kami tidak menerima orang pulang dengan tangan kosong...Silahkan kalian berdua maju bersama, supaya aku segera mengirim nyawa kalian pada Giam-lo-ong..” Suaranya angkuh. Dia adalah orang ke tiga dari Jit-goat-kauw. Namun diapun tahu sampai di mana kebiasaan kauw-cu perguruannya.
“Hihihi...Kakek tua, melawan aku saja kau belum tentu menang, sesumbar mau melawan kami berdua...” Si gadis mengejek.
Wajah Hek-bin Jit-cu merah. Namun dia juga cerdik. Dari bentrokan tadi, dia tahu bahwa si pemudi sama mungkin lebih ringan untuk di lawan, maka dia menyerang dulu sambil memilih lawan yang wanita. Dan kebetulan sekali, ejekan gadis itu membuat dia punya alasan kuat untuk menyerangnya.
“Heii, orang tua... aku lawanmu” Baru saja Hek-bin Jit-cu menerjang, kembali berkelebat bayangan orang dan di lain saat sang pemuda tadi sudah menyambut serangannya.
Mau-tak mau akhirnya tanpa banyak cakap, Hek-bin Jit-cu melanjutkan serangannya. Sehingga terjadilah pertarungan yang cukup ramai di lihat. Namun setelah lewat duapuluhjurus, nampak mulai kepayahan, karena ternyata ilmu pemuda tersebut tetap satu langkah di atasnya. Pada jurus ke duapuluh enam, jatuh terduduk dengan dada terhantam pukulan Thai-kek-ciang.
“Bagaimana Kakek muka hitam, apakah kau masih mau melanjutkan niatmu?...” tantang pemuda itu sambil tertawa. Hek-bin Jit-cu berdiri perlahan setelah memuntahkan darah segar. Matanya mendelik marah, namun tanpa banyak cakap dia membalikkan tubuhnya dan berjalan tertatih-tatih dan menghilang di balik pohon.
“Hemmm...bagus, bagus...ternyata suheng memang telah melatih kalian dengan baik sekali, di kemudian hari, tidak nanti Bu-tong-pai bakalan resah untuk mencari penerusnya...” Terdengar suara Kian-In cinjin perlahan. Walaupun masih menahan sakit namun setelah bersila beberapa saat, luka dalamnya sudah agak mendingan.
“Siapakah nama kalian?”
Si pria menjura dan sambil tersenyum menjawab: "Ciangbunjin-suheng boleh memanggil siautee Cee Tie Kian dan ini adik tee-cu bernama Cee Jie Hong. Kami mohon petunjuk ciangbunjin?!”
“Bagus, tinggallah kalian di sini beberapa waktu lamanya.”
“Baik Ciangbunjin-suheng, tapi bisakah kami tinggal tidak terlalu lama? Jie Hong bertanya dengan suara merdu dan perlahan.
“Eh, apakah ada urusan lain yang perlu kalian kerjakan sehingga begitu terburu-buru?”
Kedua kakak beradik itu saling berpandangan sejenak, dan setelah saling menggangguk, Tie Kian menyehut: “Sebenarnya, selain mendapat tugas dari Suhu, kamipun memikul tanggung jawab untuk kerajaan...karena sesungguhnya kami berdua adalah juga utasan rahasia Hong-siang”
“Aaakhhh...jadi kaliankah kepala para pasukan penyelidik rahasia kerajaan yang terkenal sebagai Kim-Houw-It-Wi” dan “Gin-Hong-It-Wi" itu...” Sahut Kian In cinjin setengah terkejut.
Dia bukan tak percaya. Bagaimanapun juga ada sedikit rasa bangga di hatinya jika ada anak murid Bu-tong-pai yang berhasil mencapai tingkat seperti ke dua orang muda di hadapannya ini.
“Baiklah, paling tidak kalian dapat mewakili aku untuk pertemuan rahasia lima perguruan besar tiga hari lagi.”
---lovelydear---
Waktu berjalan dengan cepat, satu bulan sebelum peristiwa “Eng-Hiong Tai-Wang-gwe” (Pertemuan besar para orang gagah) tiba, dunia persilatan mengalami kegemparan dengan adanya peristiwa tragis yang menyedihkan, yaitu kematian para tokoh-tokoh persilatan dari golongan putih pada saat yang bersamaan tepat pada tanggal limabelas.
Kengerian yang terjadi bukan hanya terhadap para korban tokoh-tokoh dari partai-partai kecil tapi juga para tokoh-tokoh besar Siauw-Lim-Pai, Bu-Tong-Pai, Kun-Lun-Pai, Hoa-San-Pai dan Thai-San-Pai. Semuanya tewas dengan keadaan yang mengerikan, yaitu dengan kepala terpisah dari tubuh mereka.
Melihat akan situasi ini maka pada suatu hari, bertempat di Thai-san-pay, berkumpullah para utusan-utusan khusus dari ke-lima perguruan besar yang ada. Pertemuan ini di laksanakan secara rahasia dengan maksud yang rahasia yang hanya para ketua perguruan yang mengetahuinya.
Sebelumnya, para ketua perguruan ini menerima surat rahasia dari Wu Kong Liang, ciangbunjin Thai-san-pai yang berjuluk Bu-tek Sin-liong-kiam. Satu minggu kemudian para ciangbunjin ini mengutus para wakil mereka di temani para murid pilihan terpandai dari pintu perguruan mereka menempuh perjalanan rahasia ke Thai-san-pai.
Setelah para utusan berkumpul, hanya di hadiri sekitar tujuh belas orang saja. Wu Kong Liang, di dampingi sepasang murid pilihannya, berdiri sambil menyalami semua tamu tersebut.
“Cu-wi sekalian, atas nama jiwa kependekaran yang saya tahu sangat di junjung tinggi oleh kita semua, perkenankan saya mengajukan alasan mengapa kami mengundang para perguruan besar yang ada untuk berkumpul...” berhenti sejenak, dia menatap semua yang hadir satu-per satu, kemudian melanjutkan:
“Seperti yang kita ketahui bersama, masa depan dunia kang-ouw akhir-akhir ini mulai tidak tenang, bahkan memasuki saat-saat yang amat gawat. Terbunuhnya para tokoh-tokoh perguruan yang pilih tanding ini telah mengisyaratkan pada kita semua bahwa ada kekuatan tersembunyi yang sedang mencoba mengacau. Dan ini perlu penanggulangan yang lebih lanjut...bagaimana menurut pendapat cu-wi sekalian?”
“Benar sekali, Wu-Tayhiap...Kita memang tidak bisa biarkan saja hal ini. Pembunuhan terhadap para tokoh-tokoh perguruan besar ini sama dengan menabuh genderang perang. Dan mereka telah secara terang-terangan menyatakan perang. Namun demikian kitapun harus tetap waspada dan jangan terjebak dengan siasat mereka...” Seorang kakek berjubah putih berjuluk Thian-cu cinjin mewakili Bu-Tong-pai menyembut dengan suara halus namun bersemangat.
Wu-Tayhiap memandang semua tamu yang hadir. Semua hanya mengangguk menyatakan persetujuan mereka.
“Baiklah, dengan demikian maka kita sepakat untuk menanggulangi bersama-sama semua masalah ini. Nah, hal yang ke dua yang ingin kami sampaikan ialah bahwa melalui pertemuan ini perlu di bentuk suatu tim khusus yang akan menjadi pelopor untuk memperingati para enghiong di seluruh penjuru agar waspada melawan serbuan para kaum hitam yang di pimpin oleh Ji-Goat-Kauw itu...”
Tiba-tiba salah seorang hwesio dari Siauw-lim-pai yang duduk di sebelah kiri mengangkat tangannya dan bicara: “Omitohud...Wu-sicu benar sekali, dalam hal ini kita memang harus mulai membentuk kekuatan gabungan yang akan membendung serbuan para kaum sesat tersebut...?
“Benar sekali...ini ide yang sangat baik karena kalau kita harus menunggu hari itu, takutnya kita tidak punya waktu bersiap-siap lagi. Karena menurut penyelidikan kami, kekuatan mereka sekarang terpusat di empat penjuru dan kemungkinan besar mereka siap untuk mengadakan penyerangan tepat pada hari pertemuan besar nanti” Seorang Tosu dari Kun-lun-pai menimpali.
“Ya, bahkan ada beberapa kelompok yang mengacau di sekitar gunung Hoa-san-pai kami...”
“Baiklah, kalau begitu, baiknya di atur begini saja, kita masing-masing akan mengutus murid pilihan masing-masing perguruan untuk di serahi tugas ini...bagaimana menurut cu-wi sekalian?” Dengan suara mantap Wu-Tayhiap menyimpulkan diskusi itu yang di sambut dengan anggukan kepala oleh setiap orang yang hadir.
Setelah berdiskusi sekian lama, maka masing-masing pihak itu mengajukan dua orang jagonya. Dan tentu saja di pihak Bu-tong-pai, di wakili oleh kakak beradik Cee Tie Kian dan Cee jie Hong. Setelah terpilih, maka kembali Wu-Tayhiap angkat suara mewakili semua yang hadir.
“Baiklah, kalian semua yang telah di ajukan sebagai wakil dari masing-masing perguruan. Kalian tahu bahwa kalian memiliki tugas yang amat penting sekali yang menyangkut tegak atau runtuhnya golongan putih dari dunia kang-ouw di masa yang akan datang, namun kamipun tidak akan menyerahi tugas ini kepada kalian jika kami belum yakin akan kemampuan kalian. Itulah sebabnya, sebelum kami melepas kalian untuk tugas yang suci ini, maka kalian akan bertanding untuk melihat kemampuan kalian masing-masing...nah kami harap kalian tidak keberatan.”
Pertandingan itu berlangsung cukup seru, karena orang-orang muda itu ternyata adalah orang-orang muda pilihan yang telah di latih khusus dengan ilmu-ilmu pilihan di masing-masing pintu perguruannya. Namun dari antara sepuluh orang muda itu, ada empat orang yang agak menonjol yaitu Giok-im Hwesio dari Siauw-lim-pai yang berjuluk Bu-Eng Tiat-Ciang (Tangan Besi Tanpa Bayangan), kakak beradik Cee Tie Kian dan Cee jie Hong dari Bu-tong-pai dan Chit-Seng Im-kiam (Pedang Dingin Tujuh Bintang) dari Thai-san-pai. Satu minggu kemudian, setelah mendapatkan wejangan-wejangan dari para tokoh-tokoh perguruannya masing-masing, maka ke sepuluh orang ini lalu turun gunung untuk memulaikan tugas mereka Sementara itu, sambil menjalankan tugas rahasia mengamarkan dunia persilatan Cee Tie Kian dan Cee jie Hong tetap melakukan juga misi mereka ke mencari informasi untuk kerajaan.

Kui-Sian I-sin-kang VS Tee-mo-kiam-sut

Gadis itu tersentak dan membalikkan wajahnya sambil menatap orang yang bersuara memanggil namanya. Matanya yang indah terbaliak kaget hampir-hampir tak percaya. Ya, wajah ini adalah wajah yang dirindukannya siang dan malam. Wajah yang tak pernah hilang dari ingatannya, yang memacu semangatnya untuk berlatih siang malam tanpa henti.
“Si..sian ko-ko, kau...kaukah itu?” tanyanya dengan suara tergagap.
Dengan tersenyum Han Sian mengangguk. Akh, ternyata gadis ini tidak melupakannya. “Benar Lan-moi...ini aku, Han Sian...Bagaimanakah kabarmu akhir-akhir ini?” perlahan dia melangkah maju mendekati gadis itu.
In Lan juga melangkah maju perlahan, tapi tiba-tiba keningnya di kernyitkan. Dia seperti teringat sesuatu dan itu membuat wajahnya berubah pucat ketakutan..
“Sian-koko, mau apakah kau kemari, tempat ini sangat berbahaya...?” serunya perlahan sambil kepalanya melengok kekanan-kekiri dengan waspada.
Han Sian melihat kekhawatiran sang gadis, maka dia tersenyum dan berkata meyakinkan: “Lan-moi...kau sudah mengetahui siapa aku...mengapakah kau masih khawatir, jika ada bahaya, maka aku akan melindungimu...”
Gadis itu melengak, akh..benar...mengapa dia hampir lupa. Pemuda di depannya ini memiliki ilmu yang amat tinggi. Mengingat hal ini hatinya jadi sedikit tenang.
“Lan-moi, aku sedang menyelidiki tentang seorang ‘manusia iblis’ yang mengganggu ketenangan, tak sangka bertemu denganmu di tempat ini, baik-baikkah kau?...” Han Sian bertanya sambil memandang gadis itu dengan penuh selidik.
“Sian-koko, aku...aku sebenarnya malu meminta pertolonganmu, tapi bawalah aku pergi dari sini sekarang juga..nanti aku akan menjelaskannya padamu jika kita sudah jauh dari tempat ini...bolehkah?” Suara gadis itu setengah memohon.
Mendengar permohonan gadis itu, Han Sian jadi curiga dengan keadaan di sekelilingnya. Apalagi ketika dia merasakan suasana di sekelilingnya berubah kelam dengan cepat. Tempat itu seakan-akan di kelilingi hawa magis yang amat kuat dan menyesakkan pergerakkannya.
Dilihatnya Cu In Lan masih terus menatapnya dengan tatapan penuh permohonan. Tampaknya dia tidak terpengaruh oleh perubahan situasi itu. Tak ayal lagi, segera dia kerahkan tenaga murninya yang di lambari dengan Pat -Sian-Sin-Hoat-sut untuk menandingi ilmu hitam yang menyerangnya. Segera keadaan kembali normal seperti sedia kala. Dia membalikkan tubuhnya mengarah ke arah samping kiri telaga.
“Sobat, keluarlah...kau tak perlu bersembunyi..”
“Hahahahahahaha...selamat bertemu lagi sobat lama” Terdengar suara yang menggelegar di telinganya. Suara itu tak asing dan sesaat setelah sesosok tubuh hadir di hadapannya. Segera dia mengenalinya dan itu membuatnya terkejut...
“Tee Sun Lai?...” Han Sian terkejut karena pemuda di depannya ini adalah pemuda yang paling di carinya. Teringatlah ia akan malam kejadian yang merenggut nyawa Hui Si. Segera matanya memancarkan cahaya berkilat dan tangan mengepal.
“Ya, sobat lama...kita bertemu lagi, tapi kali ini aku tidak akan kecundang seperti dulu lagi...” Tee Sun Lai yang melihat keadaan Han Sian, segera bersiap dalam keadaan siaga penuh. Dia tahu lawan di depannya ini memiliki ilmu yang amat tinggi. Tapi dia juga tidak ragu dengan ilmu Tee-mo-kiam –sut yang sudah di latih selama hampir dua tahun ini. Bahkan banyak ilmu-ilmu lain lagi yang dia pelajari dari para tokoh-tokoh iblis yang dia lebur menjadi satu yang dia namakan Hiat-kut-jiauw Sam-ciang-Kang (Tiga pukulan Cakar Tulang Darah).
Hawa pembunuh kental menyebar dengan cepat di seliling tempat itu.
“Lan-moi, bisakah kau meninggalkan tempat ini...” Suara Han Sian lembut, tapi matanya tak berkedip menatap lawan di depannya.
“Hahaha...dia tidak akan pergi dari sini sebelum dia menjadi istriku. “Racun Perawan Iblis” yang mengunci tenaganya tidak akan dapat di pulihkan tanpa obat dariku... sebaiknya kau urungkan niatmu...”
Mata Han Sian mencorong tajam. Kata-kata Tee Sun Lai di depannya ini telah menjawab semua tanda tanya di pikirannya sejak tadi. Sekejab dia merasa kasihan pada gadis itu, dan matanya melirik sekejab ke arah Cu In Lan.
Namun walau hanya sekejab saja, nampaknya kesempatan ini tidak di sia-siakan oleh Tee Sun Lai. Tubuh dan pedangnya berkelebat amat cepatnya dengan salah satu jurus yang paling berbahaya dari Tee-mo-kiam-sut, yaitu jurus “seribu biang iblis membelah sang budha” di ikuti tangan kirinya bergerak ke arah kepala dan leher dengan salah satu jurus Hiat-kut-jiauw Sam-kang yang dahsyat dan keji.
“Aakhh...awas...” Cu In Lan yang melihat itu tiba-tiba memekik memperingatkan...
Sebenarnya tanpa di peringatkanpun Han Sian yang sudah menduga sejak tadi akan serangan musuh juga sudah bersiap diri. Saat tubuhnya merasakan ancaman tenaga yang mengalir tajam dari serangan musuh, tubuhnya sudah mengerahkan Kui-sian I-sin-kang sampai tahap petir. Tubuhnya seperti terpecah dan nampak seperti kilatan cahaya petir, yang bukannya menghindar serangan lawan tapi justru mengarah dan memapaki semua serangan musuh dengan keras dan dahsyat.
“DHUAAAAARRR...!!!” “BLANGGG...!!!” Terdengar suara benturan berulang-ulang yang memekakkan telinga hanya dalam waktu sepersekian detik saja.
“Aiiiihhhh......” Terdengar suara memekik lirih dan suara tubuh jatuh ke tanah.
Ternyata, beradunya kekuatan yang maha dahsyat antara keduanya, walaupun tidak secara langsung di tujukan ke arah In Lan, namun karena tidak di sokong oleh tenaga dalam, maka itu mempengaruhi kesadaran gadis itu yang langsung pingsan.
“Lan-moi...” “Sleepp...” Tubuh Han Sian melasat cepat keluar dari pertarungan ke arah In Lan dan memayangnya dengan tangan kiri.
Sementara itu, di saat yang sama, bayangan Tee Sun Lai terus mengejarnya dengan gencar sambil mengerahkan dua jurus serangan yang ganas sekaligus yang mengarah ke kepala dan sekitar pinggang. Serangan ini mendatangkan suara mendesing nyaring di sertai hawa pedang yang amat tajam. Suatu serangan yang amat dahsyat, yang hakekatnya sangat mustahil di tangkis lawan.
Walau tangan kirinya memanggul tubuh In Lan, namun Han Sian tidak kalah sebat. Tangannya kanannya memutar setengah lingkaran dari atas ke bawah di samping tubuhnya lalu di pukulkan ke arah datangnya serangan lawan namun bukan menyambut kedua serangan lawan, tapi justru melontarkan lima larik sinar tajam yang mematikan dari kelima jari tangannya yang menyerang lima jalan darah Tee Sun Lai, inilah salah satu jurus yang amat dahsyat dari Bu-tek Chit-kiam-ciang yang bernama Ngo-heng Thian-kiam-cu (Jalur Pedang Langit Lima Unsur) yang keluar dari kelima jari tangannya, tampak walaupun dia bergerak belakangan namun tenaga pukulan kelima jarinya terasa lebih dahulu oleh lawan.
“Iiiikhh...” Tee Sun Lai terkejut setengah mati dan cepat menarik pulang serangannya sambil meloncat mundur ke belakang. Tampak nafasnya sedikit terengah. Memang benar serangannya sangat susah di tangkis lawan, namun andai sesaat saja dia tidak menarik pulang pedangnya, maka diapun akan termakan oleh lima larik sinar pedang yang tak kalah kuatnya dari tenaga pedangnya sendiri. Sementara di lain sisi dia belum dapat menggunakan tangan kirinya yang sudah sejak bentrokan sebelumnya terasa kaku dan susah di gerakkan.
Han Sian berdiri sambil memapah Cu In Lan. Matanya menatap tajam ke arah Tee Sun Lai. “Masihkah kau mau melanjutkan pertarungan ini?” Berkata demkian, dia segera mengerahkan lagi tenaganya. Kali ini dia tidak mau ambil resiko, maka segera di kerahkannya Hui-Im-Hong-Sin-Kang ke seluruh tubuh. Dalam sekejab tubuhnya memancarkan sinar keemasan yang di lapisi hawa panas dan dingin yang dahsyat, siap menunggu gempuran musuh selanjutnya.
Tee Sun Lai mengawasi dengan tatapan licik. Dari bentrokan yang telah terjadi, dia dapati ternyata bahwa dia tidak unggulan dari musuh bebuyutannya itu. Biar bagaimanapun dia bukan orang bodoh yang tidak dapat melihat dan membaca keadaan. Dari tadi dia telah mengerahkan 90% tenaganya, tapi itupun ternyata tidak banyak mempengaruhi lawannya ini. Apalagi keadaaan tangan kirinya yang terluka pada benturan pertama tadi masih belum pulih.
Setelah menimbang sesaat, segera dia berkata dengan angkuh, “Huh, pergilah sebelum aku berubah pikiran, tapi kalau kau berkeras memaksa membawanya, kau akan menanggung resiko kehilangan nyawanya...”
Han Sian terdiam sejenak. Dia juga mengerti bahwa orang seperti Tee Sun Lai ini tidak hanya menggertak saja, dan dia sangat khawatir dengan keadaan Cu In Lan, tapi kalaupun dia memaksa, tetap tidak akan mudah baginya untuk merebut obat penawarnya. Akhirnya dia menarik nafas panjang dan mengenjotkan tubuhnya melesat pergi dari tempat tersebut sambil membawa Cu In Lan tanpa berkata apa-apa.
Han Sian melesat menggunakan seluruh ilmu meringankan tubuhnya. Tubuhnya tidak terlihat lagi, hanya nampak seperti angin yang berhembus tanpa terlihat orangnya. Tujuannya hanya satu, Puncak tebing langit yang jaraknya kurang lebih lima hari perjalanan jauhnya dengan kuda pilihan. Tapi bagi Han Sian, jarak tersebut hanya membutuhkan waktu dua hari saja.
Dia sudah mencoba untuk menyembuhkan gadis itu dengan pengerahan tenaga dalamnyanya, tapi dia dapati bahwa usahanya itu, kalaupun harus di lanjutkan, akan memakan habis hampir seluruh tenaga sin-kangnya. Dan itu terlalu beresiko baginya bila musuh-musuhnya mendekat. Jadi satu-satunya tempat teraman ialah kembali ke Tebing Langit.
Setelah berlari selama dua hari tanpa berhenti, Han Sian tiba kembali di kaki Tebing Langit yang tertutup awan dari bawah. Hatinya terharu, saat mengingat ketika pertama kalinya dia meninggalkan tempat itu dua tahun yang lalu. Teringat dia pada paman Hounya yang bongkok yang selama ini membesarkannya.
Tanpa ragu kakinya di enjotkan dengan ilmu Thian-in Hui-cu dan tak lama kemudia tubuhnya hinggap di puncak Tebing langit tersebut.
Akan tetapi hatinya tercekat, dan kewaspadaannya meningkat. Suara orang yang tertawa-tawa lirih mengganggu pendengarannya. Sekejap dia melesat ke balik sebuah batu besar, dan menyandarkan tubuh Cu In Lan yang masih tertidur itu di sana. Setelah itu dia keluar dan mengadakan penyelidikan.
Di bagian sebelah barat tebing itu nampak tiga orang yang sedang duduk berhadapan, yang satu menjadi penonton sedang yang dua lagi sedang bertarung sambil duduk bersila. Dia mengenali salah satunya yang menonton, yaitu paman Hou bungkuknya. Tapi yang seorang lagi seorang hwesio gundul yang pendek dan aneh yang baru sekarang di lihatnya. Sedangkan yang seorang lagi, setelah di amati, dia melengak kaget karena itu ternyata adalah Yok-sian Sian-jin, sahabat dari kongkongnya yang telah meninggal. Dia tahu bahwa baik kongkongnya maupun Yok-sian Sian-jin serta Ui-Liong Sian-Jin adalah dua orang dari Empat Dewa yang sangat sakti, tapi siapa adanya hwesio itu?
Pikirannya segera tersadar ketika mendengar benturan dua tenaga dahsyat yang memekakkan telinga. Tampak kilatan cahaya kuning dan biru berpendaran saling bentrok dan menimbulkan bunyi yang dahsyat. Namun setelah sekian lama, cahaya yang berselewiran itupun berhenti dan menyatu. Rupanya kedua orang itu sedang beradu tenaga.
Ini sangat berbahaya sekali. Siapapun tahu, bahwa kurang kuat sedikit saja bisa berakibat fatal. Mengingat hal ini, Han Sian segera teringat pada In Lan, Segera tubuhnya melesat dan turun di tengah-tengah ke dua orang yang sedang beradu tenaga tersebut.
Cahaya keemasan berpendar di sekitar tubuhnya. Dengan kepala di bawah, tubuhnya berputaran seperti gazing, kemudian kedua tangannya mendorong perlahan dengan kedua tangan yang di lambari tenaga panas dan dingin memisahkan kedua tenaga raksasa yang beradu itu.
“Heeehh...”, “Omitohuuudd...” Kedua orang kakek itu memekik nyaring. Masing-masing terdorong satu langkah ke belakang dan segera mereka mengatur tenaga mereka menetralisir tenaga yang membalik. Mereka sungguh terkejut, karena ada orang yang berani memisahkan mereka. Namun merekapun sadar, pendatang baru ini sangat sakti.
“Heiii!, Sian-kongcu...kaukah itu???” Terdengar suara nyaring dari kakek yang sejak tadi berdiri sebagai penonton.
“Benar paman Hou, ini aku, bagaimanakah kabarmu dua tahun terakhir ini?”
“Hahahaha...baik-baik, hai Yok-Sian, kau ingat kepada siapa kau wariskan darah It-kak-liong serta pil penambah tenagamu?” Sahut Kakeh Hou bungkuk pada Yok-Sian Sian-jin yang hanya berdiri bengong.
“Apaa?...jadi ini...ini anak ajaib yang kau katakan itu?” tanya Yok-sian setengah tak percaya, tapi matanya tak hentinya memandangi Han Sian tanpa berkedip.
“Huh, anak ajaib apa?...Eh, anak muda, coba sambut serangan pinceng...” Hwesio gundul aneh yang tadinya hanya berdiam diri itu, menyahut dengan suara mendongkol karena sejak tadi dia hanya berdiri bengong tanpa penjelasan dari kedua rekannya yang nampaknya sudah mengenal pendatang baru ini.
Belum habis suaranya, kedua tangannya sudah menyerang dengan delapan belas pukulan dalam waktu yang hampir bersamaan. Hebatnya lagi, tenaga yang di keluarkan dari delapan belas pukulan yang hampir bersamaan itu sifatnya berbeda-beda, ada yang keras, lembut, menyerap, mendorong, panas, dingin , keras, dll. Walau demikian kesemuanya tidak menuju ke tempat-tempat yang mematikan, karena dia memang tidak bermaksud mencelakai orang.
“Eh, Losuhu, maafkan teecu yang kurang ajar dan belum mengenal losuhu...” Dengan nada menyesal Han Sian berseru, namun tubuhnya tak ayal sudah bergerak bagai kapas menyelinap di antara pukulan-pukulan tersebut, bukannya menangkis tapi melontarkan delapan belas pukulan yang berhawa tajam dari ilmu Bu-Tek Chit-kiam-ciang.
“Uuups...hebat...hebat” hwesio itu berseru memuji sambil melompat mundur dengan cepat. Nyatanya dia juga terkejut, karena ke delapan belas pukulannya tidak di tangkis, malah dia di serang dengan delapan belas pukulan yang tak kalah dahsyatnya. Kalau saja dia berkeras melanjutkan, pasti dia juga akan terluka.
“Hahaha, sungguh tak di sangka Koai-Hud-Eng-Cu (Budha Aneh Tanpa Bayangan) yang malang-melintang tanpa tanding di antara empat dewa, toh harus terjungkal dalam satu jurus di tangan seorang anak kemarin sore yang tidak punya nama” Yok-Sian tertawa terpingkal-pingkal sambil mengejek hwesio botak tersebut.
“Heeh, pemakan rumput, kaupun tak ungkulan menangkis ke delapan belas pukulanku...apa kau kira pinceng tak bisa menangkan anak bau kencur ini?” Saking dongkolnya sang hwesio balas menyahut dengan gemas.
“Akhh, jiwi-locianpwe, harap maafkan, siautee, bukan maksud siautee untuk unjuk kebolehan, sesungguhnya hanya jiwi yang bisa membantu siautee, nah karena siautee takut jiwi terluka....”
“Hahh...karena kau takut kami terluka maka kau datang memisahkan kami, begitu???, jadi kau anggap kami baru belajar silat dan tidak bisa menjaga diri, haa?” Potong Koai-Hud sambil memandang Han Sian dengan tatapan mencoleng agak di sipitkan.
“Hei...Koai-Hud, tak bisakah kau diam dulu...Sian-ji, ada apakah?” Yok-Sian memotong pembicaraan Koai-Hud.
“Terima kasih jiwi-suhu, mmm...siautee mempunyai seorang sahabat yang keracunan dengan “Racun Perawan Iblis”, mohon uluran tangan jiwi untuk menyembuhkannya...”
“Heiii...mana dia? Sudah berapa lama?...”Sahud Yok-Sian dengan wajah khawatir.
“Dia...dia di sana...” Dengan gugup, Han Sian menuntun ketiga orang itu menuju tempat di mana Cu In Lan berada.
Yok-Sian segera bekerja dengan cepat. Mendudukkan tubuh Cu In Lan yang belum sadar kemudian menotok sana-sini.
“Pindahkan Dia ke dalam rumah, Heii Gundul cepat kau bantu dengan tenaga Yang-mu, bobol semua jalan darahnya agar lebih lancar. Han-ji, kau ikut aku sebentar...”
Koai-Hud sebenarnya mau berkomentar, tapi dia tahu, kalau sobatnya dalam keadaan serius seperti itu, berarti keadaan pasien itu sangat berbahaya. Maka tanpa banyak cakap, dia lalu bersila di belakang gadis itu sambil menyalurkan tenaganya.
Sementara itu, Han Sian segera mengikuti Yok-Sian ke luar.
“Han-ji, ini menyangkut berhasil atau tidaknya pengobatan terhadap gadis itu, karena itu jawablah dengan jujur, apamukah dia?...” Nampak Yok-Sian bertanya dengan wajah serius, setelah berhadap-hadapan dengan Han Sian.
“Eh, Dia...dia...akhh, apa maksud locianpwe bertanya hal ini?” Suara Han Sian gugup dengan wajah merah. Namun ini saja sudah cukup bagi Yok-Sian.
“Ketahuilah, racun “Perawan Iblis” adalah racun ajaib yang mematikan yang hanya bisa berpengaruh pada wanita saja, Orang yang terkena racun ini, akan terkunci jalur tenaganya dan hanya akan tunduk tanpa perlawanan pada orang yang meracuninya...tidak ada penawar...!” Yok-Sian berpangku tangan dan bersikap seperti orang yang mengingat-ingat sesuatu...
“Tapi locianpwe, apakah sama sekali tidak ada obat penawarnya...?” Tanya Han Sian Penasaran.
Yok-Sian maju satu langkah mendekati Han-Sian, kemudian berkata perlahan beberapa kata:
“Sebentar lagi dia akan sadar, dan saat itu pengaruh racunnya akan bekerja. Kesadarannya dan tenaganya akan berfungsi normal kembali bila dia menyatu dengan orang yang pertama kali menyentuh dan menggaulinya...atau kalau ada dewa yang bisa membersihkan darahnya dari pencemaran racun tersebut, namun rasanya tidak mungkin, saat ini sudah tidak ada orang yang memiliki ilmu dewa seperti itu...” Yok-Sian menguman terakhir dengan menggelang kepalanya perlahan.
“Eh Yok-Locianpwe, bagaimanakah caranya, mungkin aku dapat mencobanya dengan Hui-im Hong-Sin-Kang?”
“Hah???...maksudmu, kau memiliki ilmu mujizat langka yang kabarnya telah lenyap dari dunia kang-ouw selama 500 tahun lalu itu?” Tanya Yok-Sian setengah tak percaya, dan lebih terkejutnya lagi saat Han Sian mengganggukkan kepalanya.
Maka di mulailah proses pembersihan racun dari tubuh In Lan ini. Untuk tahap pertama di lakukan oleh Yok-Sian dan Koai-Hud yang secara bergantian menyalurkan tenaga mereka melalui tangan dan kepala In Lan yang di rendam dalam tong air obat.
Setelah itu memasuki tahap ke dua hanya Han-Sian sendiri yang melakukannya, karena dengan ini dia harus memangku In Lan yang membelakanginya dalam keadaan telanjang bulat di atas kedua kakinya yang juga bersila dalam keadaan yang sama. Sementara itu kedua tangannya dari belakang menempel pada pusar dan dahi gadis itu. Saat dia mengerahkan tenaganya kedua tubuh mereka di lingkupi perputaran hawa Hui-im Hong-sin-kang yang dahsyat.

Thian-Liong Cap-sha-yang-kiam-sut

Gadis itu tersentak dari lamunannya. Sejenak dia menatap Han Sian dengan tajam. Sesaat kemudian dia tersenyum dan berdiri.
“Benarkah yang di katakan Iblis itu tentang mu? Bahwa...bahwa kau adalah...adalah...” Suaranya agak ragu. “...Pendekar itu?...”
Han Sian menatap gadis itu sejenak kemudian membalas: “Akhh...itu hanyalah suatu nama pemberian orang...Ee...eehh?!”
Han Sian terkejut dan tidak melanjutkan kata-katanya karena gadis itu tiba-tiba saja menjatuhkan diri di hadapannya dengan wajah yang terlihat sedih.
“Eh.. nona ada apakah?”
“Aku Sim Hong Lian, murid ke tiga dari suhu It-Gan Kim-Liong (Naga Emas Bermata Satu) yang menjadi ketua Kim-liong-Pay.” Dia terdiam sejenak sambil menarik nafas panjang kemudian melanjutkan dengan perlahan.”...Kim-Liong-Pay kami hidup damai dan selalu tertutup dari dunia luar. Tapi satu bulan terakhir ini telah muncul seorang Iblis yang sangat sakti yang mengambil alih Kim-Liong-Pay. Bahkan suhupun tak kuat menandinginya dan di kalahkan hanya dalam lima jurus saja. Orang yang baru mati ini adalah salah satu dari tangan kanannya yang sangat sakti...”
Han Sian tertarik “Siapakah Iblis yang kau maksudkan itu?...”
“Di Kami tidak tahu namanya, dia datang bersama dengan seorang wanita cantik
Saat itu mulai menjelang sore, Han Sian menawarkan untuk mengantarkan Hong Lian menemui Ui-I Liong-Jin yang kemudian di sambut baik oleh sang gadis.
“Berapa jauhkah waktu yang di butuhkan untuk tiba di tempat Ui-Liong susiokku itu?
“Kalau kita berangkat sekarang dengan kuda, akan tiba menjelang pagi...” Sahut Han Sian menjelaskan dengan tenang.
“Ahk...adakah cara yang lebih cepat?...”
“Mungkin bisa kurang dari tiga jam...tapi...?” Han Sian agak ragu mukanya memerah karena jengah.
“Kalau begitu, kita tempuh saja cara itu, dan sekali lagi aku mengucapkan terima kasih atas kebaikanmu... ” Hong Lian berdiri sambil tersenyum senang. Kembali hendak di lanjutkan perkataannya tapi matanya kemudian di kernyitkan saat melihat pemuda itu diam saja dengan muka merah.
“Eh, kau mengapakah?...”
“Ahh, tidak ...hanya...hanya saja kalau mau mempercepat waktu, artinya aku harus menggendongmu?” Han Sian risih, namun tetap di tatapnya gadis cantik di depannya ini dengan tatapan ragu-ragu sambil menunggu reaksi si gadis. Sesaat kemudian gadis itu menunduk malu, tapi suaranya keluar perlahan, hampir tidak terdengar.
“Hemm...kalau memang hanya itu, terserah, aku...aku menurut saja, tapi bagaimana dengan suhengku? Apa kau juga melihatnya?” Hong Lian menjawab terbata-bata sambil mengalihkan topik pembicaraannya pada hal yang lain. Namun sesungguhnya hatinyapun bergetar tidak karuan.
“Ya, aku melihatnya, dia memang terluka namun masih dapat bertahan...biar ku tengok dia sebentar, kau tunggulah...” Belum habis gema suaranya, tiba-tiba orangnya sudah lenyap dalam sekejap. Hong Lian terkejut dan melongok ke kanan-kiri untuk mencari bayangan pemuda itu.
Tak lama kemudian, dalam dua kali tarikan nafas saja, tubuh yang tadinya lenyap sudah muncul seperti asap saja di depannya.
“Sudah ku cari dalam radius 200 kaki tapi tidak ada. Ku pikir dia akan baik-baik saja karena ada orang pandai yang menolongnya. Aku hanya menemukan kelima mayat pengeroyoknya mati dengan tubuh terkena pukulan bertenaga dalam tinggi.” Han Sian memberitahukan hasil penelitiannya dalam dua kali tarikan nafas tersebut.
Hong Lian hanya menatapnya dengan tatapan setengah tak percaya, tapi juga setengah kagum. “Baiklah, semoga dia tidak apa-apa, kalau begitu marilah kita pergi menemui susiokku dulu”. Meski mulutnya berkata demikian namun toh hatinya gundah juga memikirkan keadaan suhengnya itu. Namun segera di kuatkan hatinya.
“Baiklah, kalau itu kemauanmu nona, marilah...” Berkata demikian, tangan Han Sian terulur merangkul pinggang gadis itu dan di lain saat tubuhnya berkelebat cepat bagaikan hembusan angin dengan ilmu Thian-In Hui-cunya atau Terbang Menunggang Awan Langit.
***
Liong-kok-san, adalah sebuah tempat yang indah dengan pemandangan alamnya. Tidak ada lain yang membuat tempat ini unik selain bentuknya yang memanjang seperti naga yang sedang tidur. Puncaknya yang tinggi selalu di tutupi oleh kabut, meskipun di siang hari sehingga menjadikan tempat tersebut menjadi istimewa.
Seorang kakek tua berambut putih panjang di biarkan riap-riapan nampak sedang duduk bersila di atas sebuah batu. Wajahnya masih tampak gagah walaupun usianya sudah mendekati 80-an. Sinar matanya mencorong tajam menandakan tenaga dalamnya sudah amat tinggi.
Di tangan kakek itu memegang sebuah pedang pendek tipis yang gagangnya terbuat dari emas berbentuk kepala naga. Kakek ini bukan lain adalah Ui-I Liong-Jin, penghuni puncak naga ini. Selama bertahun-tahun memang hanya ada satu atau dua orang yang mengetahui tempat persembunyian manusia sakti ini. Bahkan sutenya sendiri It-Gan Kim-Liong, tidak tahu kalau selama ini, sudah 5 tahun, dia menetap di Liong-kok-san tersebut. Itu lah yang menyebabkan sampai sebegitu jauh mencari, tetap Sim Hong Lian dan suhengnya tidak dapat menemukan kakek tersebut.
Kakek itu menggerak-gerakkan tangannya dengan gerakan lambat saja, tapi anehnya ujung pedangnya terlihat berkelebat amat cepatnya tanpa suara, tanpa meninggalkan bayangan dan menusuk, membabat ke segala arah. Kadang-kadang tenaganya seperti mengurung dan membetot lawan dari segala penjuru, tapi kadang juga berubah dari ujung pedang keluar tenaga yang mendesak untuk memecah tenaga lawan ke segala penjuru. Inilah ilmu pedang ciptaannya yang di beri nama Thian-Liong Cap-sha-yang-kiam-sut (Ilmu Pedang Tiga belas Titisan Naga Langit) yang dahsyat.
Ilmu ini adalah hasil keyakinannya selama bertahun-tahun merantau di sekitar pegunungan Himalaya dan Thai-san.
Saat kakek ini mulai memasuki puncak pengerahan ilmunya, tiba-tiba terdengar suara perlahan berbisik kuat di telinganya.
“Ah, Ui-locianpwe, belum pernah ku lihat ilmu ini...biarlah ku mencobanya...” Kakek itu terkejut karena belum habis gema suara hilang dari telingannya, bagaikan asap saja, di depannya telah muncul seorang pemuda tampan yang masih muda yang mulai membalas menyerangnya dengan sentilan-sentilan sepuluh tenaga jari pedang yang halus, tajam dan amat kuatnya.
Dia kenal siapa pemuda tersebut mereka bertemu karena sedah beberapa kali pemuda itu datang berkunjung. Dia tau pemuda ini memiliki Ilmu sakti tapi mereka memang belum pernah bergebrak satu-dua jurus sebelumnya. Kini menyaksikan pemuda itu dapat seenaknya menerobos ke dalam lingkaran hawa pedangnya yang dahsyat tanpa terluka, bahkan dari serangan yang di lancarkannya dia tahu tenaga pemuda itu tidak berada di bawahnya, kakek tersebut jadi bersemangat. Dia segera memutar pedangnya tanpa ragu lagi.
“Hahaha...Sian-sicu, tiada nyana kau punya ilmu sehebat ini? Mari-mari layani lohu bermain-main sebentar...”
“Akhh...segala jurus tusuk jarum begini mana boleh di banggakan, mohon kemurahan Ui-locianpwe untuk tidak menurunkan tangan keras...” han Sian membalas kalem sambil tangannya memainkan Bu-Tek Chit-Kiam-ciang. Hawa pedang dari ke sepuluh jarinya bergantian menyerang tak kalah hebatnya mendesak permainan pedang lawan, sementara pengerahan tenaganya menciptakan medan tenaga yang membungkus mereka berdua sehingga tidak ada hawa pedang yang nyasar.
Hebat sekali akibat yang di hasilkan oleh pertarungan ke dua tokoh kosen ini. Sekilas nampak mereka seperti sedang bertarung dalam sebuah balon kasat mata. Hawa pukulan mereka yang tajam membentuk lingkaran yang hanya memantul di sekeliling mereka tanpa menyebar ke luar arena. Keadaan ini sangat berbahaya karena keduanya tidak hanya harus menjaga ancaman serangan dari depan, tapi juga pantulan tenaga dalam yang di pantulkan oleh dinding kasat mata di sekeliling mereka.
Lewat limapuluh jurus, keadaan yang tadinya sama kuat, mulai berubah. Ui-I Liong-Jin mulai berkeringat. Perlahan tapi pasti, mulai terlihat siapa yang lebih unggul. Han Sian sendiri tidak terlalu kesulitan. Sejauh ini dia baru mengerahkan 70 persen tenaganya dan memainkan Bu-Tek Chit-Kiam-ciang sampai empat jurus berturut-turut, yaitu jurus-jurus: Ang-In-Kiam-Cu (Jalur Pedang Awan Merah), Hoa-jian-Kiam-Cu (Jalur Pedang Seribu Bunga), Sui-ciam-kiam-cu (jalur Pedang Jarum Air) dan Hong-Lui-Kiam-cu (jalur Pedang Angin Petir) namun akhirnya kakek di depannya ini hampir tidak kuat menahannya. Segera dia mengendurkan serangan dan menarik perlahan medan tenaga yang menahan hawa pedang mereka sehingga tidak menyebar. Kemudian sambil membentak keras, dia melompat mundur sambil menjura.
“Ui-locianpwe, maafkan kekurang ajaran siauetee...”
Kakek itu mengatur peredaran darahnya sehingga tenang kembali. Hatinya terkejut bukan main. Tadinya dia sangat membanggakan kehebatan ilmunya karena selama ini belum pernah menemukan tandingannya. Bahkan dengan pengalamannya selama ini, membuat dia bisa berandeng bersama dalam kelompok enam Su-Sian-Cu (Empat Dewa) yang sangat sakti, dan meski lima iblis dan empat partai sesatpun tidak akan dapat berbuat banyak terhadapnya. Tapi anak muda di depannya ini membuka lebar-lebar matanya. Ternyata di atas langit-masih ada langit.
Han Sian tahu kegundahan hati orang, segera dia coba menghibur.
“Ui-locianpwe, sesungguhnya semua ilmu-ilmu dahsyat yang siauwte pelajari ini semua adalah peninggalan dari para manusia dewa yang telah hilang 500 tahun yang lalu...” han Sian lalu menyebutkan tiga nama tokoh yang membuat Ui-Liong Sian-Jin terkejut setengah mati. Karena nama-nama seperti “Dewa Tidur, Dewi Seribu Pedang dan Dewa Penyangga langit” adalah tokoh-tokoh legenda yang ada bagaikan dongeng sejak dia kecil.
“Wah...wah...wah...pantas saja kalau begitu. Sesungguhnya kau sangat beruntung Sian-sicu karena semuda ini sudah mewarisi ilmu-ilmu yang dahsyat seperti itu. Wah bakal rame dunia persilatan nanti kalau ada orang-orang muda seperti engkau”
Setelah berkata demikian, kakek itu mengalihkan pandangannya dengan penuh selidik ke arah gadis yang sejak tadi berdiri tak jauh dari mereka berdua.
“Ahh, Ui-Locianpwe, nona itu adalah murid keponakanmu, dia murid dari mendiang locianpwe It-Gan Kim-Liong...”
“Mendiang...??? Kakek itu terkejut. Tak kuasa Hong Lian menahan air matanya dan sesaat kemudian dia sudah menjatuhkan diri di hadapan susioknya itu sambil sesegukan sedih.
Perlahan Ui-I Liong-Jin mengangkat bahu gadis itu. “Ceritakanlah semua yang kau ketahui.”
Hong Lian menenangkan dirinya dan kembali secara singkat dan jelas, dia menceritakan semua yang terjadi kepada susioknya itu. Tentang pengambil alihan “manusia iblis” yang sangat sakti, dan semua kisah perjalanannya sampai dia bertemu dengan Han Sian yang menyelamatkannya.
“Hemmn...tahukah kau siapa “Iblis” tersebut?”
“Tidak tahu“ Gadis itu menggelang kepala. Kami hanya tahu bahwa dia mahir menggunakan pedang..
Setelah mendengar semua cerita itu, sang kakek terdiam. Agak lama akhirnya dia menarik nafas panjang.
“Sebenarnya sudah sepuluh tahun ini meninggalkan segala urusan-urusan dunia seperti ini...” matanya menerawang jauh ke depan.
Han Sian melihat kegundahan hati si orang tua. Dia lalu berkata perlahan dengan ilmu mengirimkan suara jarak jauh.
“Ui-locianpwe, jika kau dapat melatih dan mewariskan ilmumu pada nona ini, masakan dia mudah di permainkan lagi....”
Kakek itu mengangguk-angguk kemudian menatap Hong Lian. “Aku sudah berjanji untuk tidak turun gunung. Soal masalah Kim-Liong-Pay, rasanya bila Sian-sicu sudah menyanggupi, pasti tidak akan ada halangan lagi. Bagaimana Sian-sicu? Apakah ide ini kurang bijaksana?”
Han Sian hanya tersenyum. Kakek itu kembali melanjutkan dengan suara tegas. “Sedangkan kau, kau hanya boleh tinggal selama satu tahun di tempat ini untuk mewarisi ilmu-ilmuku, apa kau sanggup?”
Tanpa terasa berlinang air mata si gadis. “Terserah susiok saja, Hong Lian hnya menurut saja.”
Demikianlah sejak saat itu Hong Lian tinggal di Liong-kok-sian mulai mempelajari ilmu-ilmu kakek gurunya dengan tekun. Ui-I Liong-jin juga tidak tanggung-tanggung menurunkan ilmunya, bahkan juga membantu dengan penyaluran tenaga dalam ke tubuh gadis itu.
Sementara Han Sian hanya satu minggu saja tinggal di Liong-kok-san. Selama itu hubungannya dengan Hong-Lian makin akrab dan manis. Dia juga membantu gadis itu dengan membuka semua peredaran darahnya dengan penyaluran tenaga Inti Petir murni seperti yang dia lakukan pada Cu In Lan dulu. Dan ini sangat berguna bagi Hong-Lian kelak.
Setelah genap satu minggu, akhirnya dengan berat hati, Hong-Lian melepas kepergian Han Sian.
“Sian-Koko...hati-hatilah...” Nampak matanya setengah mengambang dengan air mata. Sesungguhnya hatinya sudah terpaut pada pemuda ini. Cuma tetap masih sukar baginya untuk mengungkapkan secara berterang karena selama ini Han Sian juga tidak pernah mengatakan perasaan hatinya. Hanya saja sikap pemuda itu padanya sangat baik dan juga mesra.
Han Sian juga bukanlah orang bodoh. Dia tahu gadis ini sangat perhatian padanya. Entah kenapa, diapun merasakan bahwa perasaan yang dia miliki kepada gadis ini sama hangatnya seperti yang dia miliki pada Cu In Lan, gadis yang dia tidak tahu di mana sekarang.
Di bawah cahaya rembulan malam itu, dia melihat wajah gadis itu sangat cantik sekali dengan kulit putih mulus dan tubuh langsing dan padat menggairahkan. Perlahan, namun pasti, tangannya terulur pada pinggang sang gadis dan di lain saat tubuh mereka saling mendekap erat dengan bibir berciuman mesra. Sementara bibir mereka saling memagut hangat, tangan Han Sian meremastubuh gadis itu di bagian pinggul, pinggang sampai ke buah dada yang padat kencang itu. Reaksi Hong Lian juga tak kalau serunya. Di samping merangkul dengan pasrah, dari mulutnya tak henti mengeluarkan erengan manja.
Namun situasi seperti itu tidak berlangsung lama. Han Sian segera menyadari keadaannya. Sontak dia melepaskan rangkulannya dan melompat mundur. Dia melihat keadaan gadis itu dengan pakaian yang nyaris terbuka. Hatinya menyesal sekali.
“Ehh, kau...kau kenapakah Sian-koko?...”
“ Akhhh...Lian-moi, maafkan aku...aku tak bermaksud untuk tidak menghormatimu...”
Gadis itu memandang dengan mata penuh selidik.
“Aihhh, Sian-koko, engkau tidak sedang mempermainkanku bukan...?”
“Tidak-tidak, sungguh, aku sangat menyesal melakukan ini padamu...karena aku menghormatimu dan...dan...juga menyukaimu” Han Sian tergagap menjawabnya.
Tatapan gadis itu menjadi lembut kembali. Perlahan dia merapikan bajunya sambil berguman kepada diri sendiri.
“Ahh, aneh...seorang Pendekar Asmara yang alim...”
“Hemnn...kau benar Lian-moi, aku memang Pendekar Asmara yang alim pada gadis manis sepertimu...” selesai berkata demikian tubuhnya kembali mendekat dengan cepat dan di lain saat sudah mengecup bibir gadis itu sambil kemudian berkelebat pergi. “Sampai jumpa lagi Lian-Moi...”
Hong Lian masih berdiri kaku, seperti tidak sadar. Perlahan kemudian dia sadar dari lamunannya tatkala terdengar suara susioknya memanggil.
---
Han Sian berkelebat cepat. Dia telah mendapat informasi yang jelas dari Hong Lian tentang Kim-Liong-Pay dan sekarang dia sedang menuju ke tempat itu. Setelah menempuh perjalanan selama dua hari, akhirnya dia mendekati sebuah telaga yang menjadi markas partai tersebut.
Keadaan telaga itu sangat unik. Di tengah-tengahnya di kelilingi hutan yang sangat lebat sehingga tidak mudah untuk menyelidiki tempat itu. Airnya yang berwarna kuning pekat membuat telaga itu di sebut “Telaga Naga Kuning”. Tidak ada jalan lain untuk ke tempat itu selain menggunakan perahu. Dan tentu saja semua yang menggunakan perahu akan sangat mudah terdeteksi oleh para penjaga di seberang telaga tersebut.
Han Sian menunggu cuaca mulai menjelang malam sehingga tidak mudah terdeteksi. Dia tahu bahwa tempat seperti ini pasti banyak penjaganya. Segera ia mengerahkan Thian-in Hui-cunya. Tubuhnya melesat ke udara dengan kecepatan yang sulit di ikuti mata biasa. Setelah di udara, tangannya di pukulkan ke udara sehingga membentuk awan tebal sebesar tubuh orang dewasa. Saat kakinya hinggap di awan dan menutuk, kembali tubuhnya melesat cepat dan mendarat manis di atas sebuah pohon tinggi di seberang telaga itu.
Ada banya penjaga yang menjaga, tapi satupun tak ada yang melihat kedatangannya. Bahkan menyadarinyapun tidak. Tempat itu sangat luas. Han Sian berkelebat sangat cepat sehingga para penjaga hanya mengira itu burung walet yang sedang terbang.
Setelah sekian lama, akhirnya tibalah Han Sian di bagian belakang dari markas Kim-Liong-Pay tersebut. Tempat itu agaknya hanya di jaga oleh satu dua orang saja dan mirip sebuah taman yang indah.yang di hiasi dengan lampion-lampion berbentuk naga.
Dari atas sebuah pohon, mata Han Sian yang tajam melihat bayangan seorang wanita yang bertubuh indah sedang duduk sendiri di pinggi sebuah kolam ikan. Wajahnya belum terlalu jelas karena gadis tersebut sedang menunduk. Namun ketika dia memperhatikan terus, dia sangat terkejut, Di pinggang gadis itu mengenakan ikat pinggang putih yang di ujungnya di gantungi sebuah stempel kecil yang berukiran “Sian”.
Dia sangat kenal dengan stempel dan juga ikan pinggang putih tersebut, karena kedua benda itu adalah hadiahnya pada seseorang dua tahun yang lalu. Setelah memandang kekanan-kekiri untuk memastikan situasi. Tangannya bergerak ke arah tiga orang penjaga yang dia lihat sedang bersembunyi. Dilain saat mereka semua kaku tanpa mengeluarkan suara. Tubuhnya kemudian berkelebat di belakang gadis itu.
“Lan-moiii...???”