Laman

Senin, 15 April 2013

1. Penghuni Pulau Awan Api 1

Sebuah papan perahu sepanjang dua meter tampak terapung-apung di tengah gelombang laut yang dahsyat. Sekilas nampaknya hanya sebuah papan biasa. Namun bila di amati lebih jauh, Nampak sesosok tubuh pemuda tanggung berusia lima belas tahun sedang terikat di atas papan tersebut. Di punggungnya terikat sebuah buntelan kecil dari kulit binatang.
Setelah terombang-ambing selama 2 hari, papan tersebut mendekati sebuah pulau kecil yang di lingkupi oleh awan yang berwarna kemerah-merahan. Menjelang sore papan itu di hanyutkan semakin dekat kepulau, tampak awan-awan tersebut mengambang sekitar satu meter dari permukaan laut. Papan tersebut terus di dorong oleh ombak mengarah ke pinggir pulau hingga akhirnya diam tak bergerak.
Sementara itu dari atas puncak gunung yang tinggi di pulau itu tampak dua sosok tubuh melesat dengan kecepatan seperti kilat yang sukar diikuti pandangan mata biasa. Dalam sekejap saja mereka sudah tiba di tepi pantai. Ternyata mereka adalah seorang biksu tua beralis putih dan seorang kakek tua yang berjanggut panjang.
“Omitohud, Lo-sian, tampaknya anak ini baru habis mengalami malapetaka dari lam hai ong (Raja Laut Selatan)!” Tanpa membuka mulutnya tiba-tiba terdengar suara yang nyaring dari biksu tua tersebut.
“Hahaha…benar lo-hud, selama seratus sepuluh tahun Pulau Awan Api ini tidak pernah kedatangan satu manusiapun selain kita. Akhh…agaknya Thian tak rela kalau kepandaian kita lenyap begitu saja dari muka bumi ini!” Suara yang halus keluar dari bibir kakek yang di panggil lo-sian (dewa tua) itu
Tangan biksu yang di panggil Lo-hud (Budha Tua) itu di gerakkan perlahan. Ajaibnya, tali-tali yang mengikat tubah pemuda itu terlepas dan tubuhnya melayang perlahan ke arah si budha tua yang segera memeriksa kondisinya.
“Hoho, tajam sekali matamu lo-sian. Thian memang tak rela kepandaian kita lenyap begitu saja…pemuda ini memiliki bakat dan susunan tulang-tulang yang baik sekali. Mungkin hanya dapat di temukan sekali dalam limaratus tahun”. Kembali si budha tua berseru kegirangan. Sementara itu tangannya bekerja cepat menotok sana-sini sehingga pemuda itu siuman.
Saat membuka matanya, pemuda tanggung itu kaget dan segera bangkit duduk. Kepalanya berputar kekanan ke kiri dengan pandangan mata berkilat aneh. Selang beberapa lama kemudian tatapannya terhenti pada dua sosok tubuh di depannya.
Tiba-tiba kedua tangannya terkepal dan berubah warna kehijau-hijauan, tubuhnya melesat dengan cepat ke atas setinggi tiga tombak, kemudian kesepuluh jari melancarkan sepuluh kali pukulan berhawa panas-dingin menyengat ke arah kekek tua berjanggut yang di panggil Lo-Sian.
“Heaaaaaahh…Lepaskan ciciku…!” Hawa pukulannya mencicit tajam dengan dahsyat mengarah sepuluh jalan darah di tubuh sang kakek.
“Eh, anak…apa yang kau lakukan? Siapa cicimu…?” Lo-Sian tidak kaget melihat tingkah anak tersebut, namun yang justru membuatnya kaget adalah jurus yang di pakai anak itu untuk menyerangnya.
Dari seribu banyaknya keanehan di dunia ini, mungkin adalah apa yang di hadapi oleh Lo-Sian. Betapa tidak? Salah satu dari tiga ilmu ciptaannya yang paling rahasia sekarang di pakai untuk menyerangnya. Namun dia adalah seorang tokoh angkatan tua yang sudah berusia seratus tigapuluh tahun, tidak nanti dia meladeni anak kecil seperti ini.
Mulutnya tersenyum: “Bagus, tampaknya kau sudah menguasai tujuh bagian dari ilmu Im-Yang Tok-Kiam-Ci (Jari Pedang Racun Panas-Dingin) ini…” Tangannya mengebas perlahan, tiba-tiba tubuh anak itu tertahan di udara kemudian perlahan-lahan turun ke bawah, sedangkan hawa pukulannya lenyap tak berbekas.
“Apa yang terjadi denganku…uuugghh” Saat pemuda itu hendak berbicara tiba-tiba dia merasa kepalanya sakit sekali. Di lain saat tubuhnya kembali terkulai pingsan.
“Ahh, kepalanya terguncang sangat hebat, mungkin terjadi benturan yang amat kuat sehingga membuat dia seperti ini”. Tangan si kakek tua yang di sebut lo-sian bergerak cepat mengangkat pemuda tanggung berusia lima belas tahun itu. Tubuhnya berkelebat di ikuti si budha tua ke arah puncak gunung di pulau tersebut.
Beberapa waktu kemudian, pemuda tanggung itu sadar kembali. Kali ini tidak ada lagi sinar aneh yang memancar dari matanya seperti sebelumnya. Lo-sian segera mengangsurkan sebutir buah berwarna merah kepadanya.
“Kau makanlah buah ini, ini akan menguatkanmu”
“Te…ri…ma kasih lopeh”. Pemuda itu segera mengambilnya dan mulai memakannya. Setelah memakannya, pemuda itu merasakan aliran hawa hangat di perutnya. Entah dia sadar atau tidak, otomatis tubuhnya sudah duduk bersemedi dan mengatur nafas dengan matanya di pejamkan. Hal ini membuat dua orang tua itu kagum dan mangut-mangut sambil tersenyum.
Lewat setengah jam kemudian, pemuda tanggung itu membuka matanya dan memandang kedua orang tua di depannya dengan tatapan tajam.
bersambung ke bagian 2...

10. Undangan Rahasia

Pemuda itu berwajah tampan dengan rambut riap-riapan. Baju dan celananya dari kain kasar warna putih. Lapisan luar di tutupi dengan jubah panjang berwarna biru tanpa lengan. Di pinggangnya terlilit ikat pinggang selebar tiga jari yang ujungnya terdapat ukiran kepala naga yang berkilat keemasan, sedangkan lengannya yang panjang di gulung sampai di sikut dengan tangan kiri terdapat sebuah gelang berwarna biru selebar tiga jari.
“Bangsat tengik dari mana cari mati berani mencampuri urusan kami…” Bentak Jarotala berang.
“Hehehe,aku hanya seorang kunyuk yang cari mati, jadi untuk apa kau menanyakan namaku? Sayangnya kunyukpun paling suka memotes kutu-kutu busuk yang mengganggu di tubuhnya…? Apakah kutu-kutu busuk macam kalian tidak menyadarinya?...” Sambil tertawa-tawa, Mahesa balas memaki tak kalah pedisnya.
Kedua kawan Jarotala yang berdiri paling dekat tak mampu menahan kemarahan mereka. Segera keduanya mengayunkan cambuk apinya kearah pemuda tersebut.
“Heaaaattt…..Ctarrr…..Ctarrrr…..” Cambuk-cambuk itu menyerang sang pemuda dengan ganas. Namun hanya dengan mengengoskan tubuh satu langkah ke samping dia telah menghindari cambuk-cambuk ganas tersebut.
“Eiiits…tidak kena! Eh, apakah kalian tidak pernah belajar cara menggunakan cambuk dengan baik?...Alangkah bodohnya guru kalian yang menciptakan ilmu mengusir lalat tak berguna seperti ini…hahahaha…”
“Bangsat….matilah kau bocah busuk…Hyaaaaattttt…!” Kali ini di iringi bentakan-bentakan yang menggelegar, kedua teman yang lain segera maju membantu untuk mengeroyok sang pemuda. Bahkan Jarotala yang tadinya masih memeluk Rara Wulan segera melemparkan gadis itu setelah menotoknya terlebih dahulu kemudian maju membantu keempat temannya.
Mahesa hanya tersenyum-senyum saja. Dengan menggunakan sepertiga bagian tenaganya, dia memainkan “Jurus Langkah Siluman Naga Gila. Akibatnya kelima lawannya menjadi bingung. Karena serapat apapun kepungan mereka, tetap saja pemuda yang bergerak-gerak seperti orang mabuk dan orang gila itu mampu menyelinap di antara senjata mereka. Bahkan kadang-kadang pemuda itu lenyap dan muncul di belakang mereka sambil menepuk tubuh mereka. Sadarlah mereka bahwa lawan mereka kali ini bukanlah orang sembarangan
Setelah bertempur beberapa saat, Mahesa mendengar erangan kesakitan dari kakek yang terluka parah tersebut. Pemuda ini merasa cukup mempermainkan kelima lawannya, dengan mengerahkan jurus pertama dari ilmu “Sengatan Tujuh Naga Neraka”, kakinya bekerja cepat membagi-bagikan tendangan yang tak dapat di tahan oleh kelima orang tersebut. Mereka terlempar dengan dada hancur dan kepala retak tanpa suara.
Dari tempatnya berdiri Mahesa memandang kearah mayat-mayat tersebut dengan termangu-mangu, inilah pembunuhan pertamanya seumur hidup, dan ini menyedihkannya. Sejenak kemudian terdengar erangan dari Rara Wulan yang tertotok, segera Mahesa mengibaskan lengan kanannya kearah gadis cantik itu. Seketika itu juga totokannya terlepas. Kemudian pemuda itu mendekati Ki Ranggapati yang sekarat sambil membatin:
“Hmmm, kakek ini keracunan berat, aku tidak tahu cara menyembuhkannya, tapi menurut guru See-Thian-Lama, gelang Cermin Petir ini dapat menyerap racun, apa sebaiknya ku coba saja ya?...”
Rara Wulan menangis sesegukan sambil memandang dengan wajah penuh permohonan ke arah pemuda yang telah menolong dia dan kakeknya: “Tuan pendekar, jika kau bisa tolonglah ringankan penderitaan guruku ini…aku…aku tak tahu harus berbuat apa lagi…”
Mahesa gelagapan. Hatinya ikut terharu melihat wajah memelas dan penuh permohonan dari gadis cantik di depannya ini. Segera dia membungkuk di samping Ki Ranggapati, kemudian menempelkan Gelang Cermin Petir di lengan kirinya sambil mengerahkan tenaga menyedot pada salah satu luka yang menganga di tubuh tua tersebut.
Anehnya, segera terlihat asap mengepul dari gelang tersebut saat racun Kelelawar Iblis terhisap ke dalamnya. Sebentar saja semua racun yang bersarang di tubuh kakek itu lenyap tanpa bekas sama sekali.
“Berhentilah anak muda! Terima kasih banyak atas pertolonganmu…semua racun di tubuhku sudah lenyap sama sekali.”
Mendengar seruan kakek itu, Mahesa menghentikan usahanya kemudian berkata sambil tersenyum:
“Pak tua,…bersemedilah untuk memulihkan tenaga dalammu…?”
Melihat hal ini, bukan main gembiranya Rara Wulan. Tanpa di suruh tiba-tiba dia menjatuhkan diri berlutut di hadapan pemuda itu untuk mengucapkan terima kasih.
“Eh jangan…” Sebelum tubuh cantik itu sempat berlutut, mendadak tubuh Mahesa lenyap dari hadapannya.
Rara Wulan terkejut, karena tubuh pemuda itu tiba-tiba menghilang dari hadapanya. Otomatis kepalanya berputar kesana kemari untuk mencari.
“Nona, maafkan aku, aku tidak biasa menerima penghormatan seperti itu…”
“Tapi kau telah menolong kami, tentunya aku harus mengucapkan terima kasih padamu?” Sahut gadis itu dengan suara yang merdu menawan.
Mahesa tidak menjawab. Hanya bibirnya yang tersenyum sambil balas menatap gadis itu sehingga membuatnya jengah. Akhirnya gadis itupun tersenyum kemudian mendekati kakeknya.
Beberapa saat kemudian Ki Ranggapati membuka matanya dan memandang penuh selidik ke arah si pemuda.
“Anak muda, jika boleh kami tahu, siapakah engkau dan siapakah gurumu?...”
“Namaku Mahesa Geni Ki, aku seorang perantau. Maafkan jika aku tidak dapat memberitahu siapa guruku, bukan karena ingin berlaku kurang sopan, tapi memang beliau pernah memesan agar aku tidak boleh mengatakan siapa namanya pada siapa saja…harap aki tidak berkecil hati?!”
“Baiklah kalau begitu Mahesa, lupakan apa yang baru ku tanyakan, aku mengerti akan hal tersebut. Oh ya, boleh kami tahu kemana arah perjalananmu?”
“Aku seorang pengembara ki, aku tidak punya tujuan tertentu. Namun yang jelas ada sebuah tugas dari guruku dimana aku membutuhkan keterangan mengenai keberadaan tiga orang yang sangat berbahaya yang harus di basmi…entah Ki Ranggapati mengetahui atau tidak?” Mahesa menjawab dengan wajah serius sambil menatap kearah Ki Ranggapati dan Rara Wulan bergantian.
“Hmmm, siapakah mereka, mungkin aku pernah mendengar tentang mereka?..” sahut si Malaikat Pedang Terbang.
“Yang pertama adalah membasmi pemilik Pukulan Kelelawar iblis itu, dan yang dua orang lagi adalah Ki Samber Nyawa yang berjuluk Dewa Maut Bertangan Sakti dan Nyi Gandasuri yang berjuluk Dewi Asmara Seribu Nyawa…apakah anda mengenalnya mereka Ki Ranggapati?”
Pertanyaan Mahesa membuat Ki Ranggapati kerkejut bagai di sambar halilintar di siang bolong. Sejenak dia memandang pemuda di hadapannya dengan tatapan hampir tidak percaya. Bagaimana tidak? Tiga orang yang di tanyakan pemuda itu adalah momok-momok paling menakutkan dan meresahkan dunia persilatan saat itu, dan dengan santainya pemuda ini mengatakan akan membasmi mereka?
“Bagaimana Ki, dapatkah engkau memberi keterangan tentang mereka?” Desak Mahesa tatkala melihat kebingungan kakek itu. Akhirnya dengan manarik nafas panjang Malaikat Pedang Terbang itu menjawab:
“Orang yang pertama yang sedang kau cari adalah musuh yang tengah kita hadapi sekarang. Itulah sebabnya kami menuju ke Gunung Bromo, karena di sana akan di adakan permufakatan dari para pendekar golongan lurus untuk mengatasi Panji Petaka Hitam yang di sebarkan oleh Pangeran Kelelawar Iblis…”
Mahesa mengangguk tanda mengerti. “Bagaimana dengan yang dua orang lagi?”
“Meskipun aku pernah mengetahui perihal Ki Samber Nyawa dan Nyai Gandasuri, saying sekali aku tidak dapat memberi keterangan tempat keberadaan mereka karena mereka adalah orang-orang yang berdiri di tengah-tengah, bukan hitam bukan pula putih, bagaikan orang-orang yang kadang kelihatan kepala namun tak kelihatan ekornya ataupun sebaliknya. Namun jika engkau bersedia bersama kami pergi ke Gunung Bromo, maka kau akan bertemu dengan banyak pendekar dari seluruh tanah jawa ini, mungkin di antara mereka ada yang dapat memberi keterangan yang kau perlukan…Kalau kau tidak keberatan, aku mewakili para pendekar yang ada ingin mengundangmu secara resmi untuk menghadiri pertemuan rahasia para pendekar tanah jawa tersebut..."
"Benar Kakang Mahesa...pergilah bersama kami?” Terdengar suara Rara Wulan yang lembut berkata pada pemuda itu dengan nada permohonan, bahkan sudah berani menggunakan kata "kakang..." sejenak kemudian wajahnya bersemu merah.
Mahesa menatap sejenak pada Rara Wulan, tampa sadar pemuda ini terpesona melihat wajah cantik yang berona merah itu. Terlihat sinar mata dara ayu itu berbinar penuh pengharapan. Akhirnya Mahesa menjawab sambil tersenyum: “Baiklah, aku akan ikut bersama kalian…”.

9. Malaikat Pedang Terbang

“Maaf Den, apakah ada yang bisa saya bantu?” Tiba-tiba terdengar suara kecil seorang pelayan yang tiba-tiba muncul di sampingnya.
“Ah…aki, maaf saya hanya ingin makan saja, apakah masih ada tempat?”
“Ada Den, tinggal satu tempat yang tersisa di sudut sebelah kanan, kalau aden tidak keberatan silahkan…?!”
“Baiklah aki, tunjukkan padaku tempatnya…” Mahesa lalu mengikuti pelayan tersebut mengarah ke tempat duduk di sudut ruangan. Ternyata di situ hanya tersisa satu tempat duduk yang kecil dan satu meja seukuran empat piring.
“Ini tempatnya Den, oh ya aden mau pesan apa?”
“Bawakan saja nasi urap dan sayur lodehnya, di tambah dengan air putih, itu cukup…” Sambil berkata demikian, pemuda ini duduk dengan tenang sambil memandang ke arah luar kedai.
Tak lama kemudian pesanan yang di pesannya datang dan pemuda itupun mulai makan dengan lahap sambil mengangkat kaki kirinya di atas kursi.
Sementara pemuda itu makan dengan lahap tanpa memperdulikan keadaan sekelilingnya, tiba-tiba telinganya menangkap suara orang bercakap dengan perlahan. Sebenarnya tidak ada yang aneh dengan orang yang bercakap-cakap karena semua orang yang ada di kedai situ juga ada yang bercakap-cakap dengan ramai. Namun suara orang yang bercakap itu keluar dari mulut seorang gadis yang amat cantik berusia enambelas tahun dengan seorang kakek tua yang berusia enampuluh tahunan:
“Eyang Guru, apakah perjalanan ke Gunung Bromo masih sangat jauh…dan urusan apakah yang akan kita lakukan di sana sehingga kita harus mengadakan perjalanan dengan sembunyi-sembunyi seperti ini?...”
“Sabarlah muridku, Gunung Bromo tinggal berjarak dua hari dari sini. Urusan yang kita akan lakukan di sana menyangkut keselamatan dunia persilatan, jadi tidak baik bila di bicarakan di sini, kau diamlah, setelah makan kita segera berangkat.”
Tanpa sadar mata Mahesa terus memperhatikan gadis itu sambil hatinya membatin: “Ah cantik sekali gadis itu dan mereka pasti dari dunia persilatan…siapa mereka ya?”
Setelah menghabiskan makanan mereka, kedua orang guru dan murid itupun segera meninggalkan kedai tersebut. Namun saat berdiri, gadis itu masih sempat melirik pada Mahesa sambil tersenyum simpul. Hal mana membuat wajah pemuda itu menjadi merah karena ketangkap basah sedang menatapnya. Cepat wajahnya di arahkan ke tempat lain sambil meneruskan makannya sedangkan mulutnya menggerutu malu.
“Sialan, monyet buduk!... bikin grogi aja…..”
Baru saja dia memalingkan wajah kembali untuk melihat punggung tubuh gadis itu yang menghilang di luar pintu, tiba-tiba di lihatnya lima orang laki-laki separuh baya yang duduk di meja besar sebelah selatan saling memberi kode dan meninggalkan kedai.
“Hmmm, tampaknya mereka membuntuti kedua orang tadi, apa yang akan mereka lakukan? Sikap mereka mencurigakan sekali…” Pemuda itu lalu merogoh kantungnya dan mengeluarkan dua keping perak yang langsung di letakkan di atas meja, setelah itu diapun bangkit dan melangkah ke luar kedai.
Sampai di luar dia menangkap bayangan lima orang di kejauhan. Mereka berlari cepat menuju ke arah selatan. Sepertinya sedang terburu-buru mengejar sesuatu. Karena penasaran, pemuda inipun segera mengikutinya. Sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya, Mahesa membuntuti ke lima orang tersebut sampai di luar dusun dan mamasuki hutan.
Saat itu dari jauh Mahesa mendengar suara bentakan-bentakan menggelegar dari arah depan, segera dia mempercepat larinya. Di dalam hutan dia berkelebat ke atas sebuah pohon yang tinggi dan rindang untuk menyembunyikan tubuhnya sambil memperhatikan.
Tampak kakek tua dan gadis cantik tadi sedang berhadapan dengan kelima pria setengah baya yang menghadang perjalanan mereka dengan senjata terhunus. Salah satu yang menjadi pemimpin bernama Jarotala segera berkata dengan angkuh:
“Hehehe…Ki Ranggapati, tak ada gunanya kalian melanjutkan perjalanan ke Gunung Bromo. Junjungan kami sudah mencium rencana busuk kalian untuk membentuk perserikatan para pendekar…”
Kakek yang ternyata bernama Ki Ranggapati itu melangkah maju dan berkata: “Maaf kisanak, apa maksud kalian, aku tidak mengerti sama sekali…”
“Huh, jangan berlagak pilon Malaikat Pedang Terbang, mungkin kau masih bisa bertahan tidak mati oleh Racun Kelelawar Iblis, sungguh hebat tenaga dalammu, tapi sayangnya kau telah bertemu dengan kami Lima Cambuk Api dari Goa Rangkeng…bersiaplah untuk mati”. Jarotala memberi isyarat pada kelima kawannya untuk menyerang. Serentak dua kawannya maju mengeroyok bersama dengan Jarotala, sementara yang dua lagi meloncat ke arah sang gadis.
Sebentar saja telah terjadi pertarungan yang tidak seimbang. Ki Ranggapati atau yang berjuluk Malaikat Pedang Terbang sebenarnya adalah seorang tokoh legenda yang pilih tanding. Kehebatan ilmu Pedang Terbangnya yang dahsyat telah mengangkat namanya selama empatpuluh tahun sebagai seorang pendekar golongan atas yang mumpuni. Namun anehnya saat menghadapi pengeroyokan ketiga orang itu hanya bisa bertahan dan menghindar saja tanpa mampu membalas sejuruspun.
Sedangkan gadis cantik berjubah putih yang ternyata adalah murid si Malaikat Pedang Terbang, justru terlihat sangat aktif menyerang dengan jurus-jurus mematikan. Hal ini tidak aneh karena sesungguhnya Ki Ranggapati masih menderita keracunan hebat akibat pertarungannya dengan tiga utusan Pangeran Kelelawar Iblis yang menyantroni Perguruan Pedang Terbang dua purnama lalu.
Meskipun waktu itu Malaikat Pedang Terbang mampu membinasakan dua dari antara lawannya, namun dia juga harus menderita oleh pukulan Kelelawar Iblis dari orang ke tiga yang tak sempat dia tangkis. Untung saja yang dating hanya tiga utusannya saja yang hanya menguasai setengah saja dari kehebatan Pukulan Kelelawar Iblis tersebut, makanya dia masih dapat bertahan dengan menggunakan tenaga murni menyumbat jalannya racun memasuki nadi-nadi penting di tubuhnya. Namun jika dia mengerahkan tenaga berlebihan dalam pertarungan, dapat di pastikan nyawanya takkan tertolong lagi.
Keadaan Ki Ranggapati semakin lemah. Beberapa pukulan telak bersarang di tubuhnya hingga pukulan susulan dari Jarotala menghantam telak iga kirinya menyebabkan orang tua itu tak dapat lagi mempertahankan diri sehingga tenaga murni yang menahan menyebarnya racun Kelelawar Iblis itu kembali menyebar ke seluruh nadi penting di tubuhnya. Orang tua itu terduduk dan memuntahkan darah kehitaman.
“Guruuuu….!” Gadis itu memutar pedangnya dengan sebat mendesak kedua lawannya kemudian berlari ke arah gurunya.
“Rara Wulan, larilah, selamatkan dirimu… carilah Raja Racun Selatan dan mohon perlindungan darinya…”
“Bertahanlah Eyang…kau orang tua pasti bisa! Jangan tinggalkan Rara Wulan sendiri Guru…”
Tiba-tiba terdengar suara dengusan dari Jarotala; “Heheh cah ayu, dewa sekalipun tidak akan dapat menyelamatkan gurumu itu. Racun Kelelawar iblis terlalu dahsyat dan tak seorangpun sanggup menandinginya…Tinggalkan orang tua mau mati itu dan menyerahlah…”
“Bangsat culas, ku bunuh kau, Hiyaaaattt….!” Dengan kalap Rara Wulan melompat menyerang kelima lawan itu dengan jurus-jurus mematikan tanpa memperdulikan pertahanannya. Namun sekali bergerak Jarotala segera menangkap kedua tangan gadis itu dan menghenkakkannya dalam pelukannya.
“Hahahaha…sekarang kau tak akan dapat berbuat apa-apa lagi, diamlah maka kami akan baik-baik memperlakukanmu…”
“Lepaskan aku babi bangsat, kadal busuk…aku akan membunuhmu…” Gadis itu meronta-ronta namun pelukan Jarotala sangat kuat sehingga bukannya terlepas, justru rontaan gadis itu makin membuat dada mereka bergesekan sehingga jarotala makin tertawa terbahak-bahak. Saat itu…
“Hahahaha..seorang kakek tua sedang memperkosa seorang gadis yang hanya cocok menjadi anaknya…sungguh sampah memalukan!...”
Tawa Jarotala terhenti. Serentak kelima orang itu memandang ke depan. Entah darimana datangnya, di samping Ki Ranggapati tampak berdiri seorang pemuda berusia delapan belas tahun yang gagah.

8. Mulai Mengembara

Mahesa Geni bersimpuh di depan kedua gurunya dengan hati terharu. Keesokan harinya ketika pemuda itu bangun ternyata dia tidak menemukan lagi kedua gurunya. Hatinya gundah namun tak dapat berbuat apa-apa.
Sekilas dia teringat akan buntelan yang di berikan oleh gurunya. Menurut gurunya, buntelan ini adalah satu-satunya warisan dari ibunya sebelum menghembuskan nafas terakhir.
Ketika buntelan itu di buka, di dalamnya terdapat sebuah kitab kulit yang sudah kusam, sebuah Jamur Merah dan secarik kertas yang lusuh. Hatinya lebih tertarik dengan kertas tersebut maka segera di bacanya. Terlihat beberapa kalimat yang di tulis cepat-cepat, berbunyi:
“Anakku , Namamu adalah Sian Hay atau Mahesa Geni, ayahmu adalah Pendekar Pedang Terbang Sian Bun, murid ke-tujuh dari partai Mi Tiong Bun di tionggoan, kami terjebak dalam perburuan Pusaka-pusaka di Pulau Daun Putih…ibu tidak tahu siapa musuh-musuh yang mengeroyok kami…makanlah Jamur Inti Api ini dan pelajarilah Kitab yang berisi Ilmu Serat Emas Inti Matahari dan Ilmu Jari Penembus Tulang Inti Matahari ini… soal pembunuh ayahmu, mungkin orang yang membawa kitab Inti Bulan dari Beng Kauw di Persia dapat kau mintai keterangan…Cari juga Si Raja Racun Selatan…”
Tertanda, ibumu Cendana Wangi”
Mahesa Geni tertegun sejenak. Meskipun masih samar-samar namun dia sudah dapat menduga bencana yang menimpa kedua orang tuanya. Dalam hati dia berjanji untuk mengusut masalah ini dengan jelas dan membalaskan kematian kedua orang tuanya.
Hanya satu yang membuat dia ragu-ragu, surat itu terputus tanpa memberitahu untuk apa dia mencari Si Raja Racun Selatan…?
Mahesa Geni mengulurkan tangan mengambil Jamur Api dan memakannya. Ternyata jamur tersebut dapat melipat gandakan kekuatan tenaga dalamnya dan ini sangat menggirangkannya. Saat dia mulai membuka dan mempelajari kedua ilmu yang tercantum dalam kitab pusaka tersebut ternyata itu adalah ilmu-ilmu yang luar biasa hebatnya, tidak kalah bagus mutunya dengan ilmu-ilmu yang dia sudah kuasai saat ini.
Seratus hari kemudian, setelah menghafal teori dan berhasil melatih dasar-dasar kedua ilmu tersebut barulah dia meninggalkan Tanjung Kematian untuk memulaikan pengembaraannya sebagai seorang pendekar.
***
Kota Naripan di kadipaten Tunggul Wetan adalah sebuah kota yang ramai. Sedangkan Kadipaten Tunggul Wetan ini masih termasuk wilayah sebelah utara dari kerajaan Majapahit yang di perintah oleh Prabu Hayam Wuruk yang di dampingi mahapatihnya yang terkenal, yaitu Mahapatih Gajah Mada.
Siang itu Mahesa Geni memasuki kota Naripan dengan berlenggang kangkung. Wajahnya yang tampan dengan rambut riap-riapan. Baju dan celananyanya dari kain kasar warna putih. Lapisan luar di tutupi dengan jubah panjang berwarna biru tanpa lengan.
Yang unik ialah di pinggangnya terlilit sejenis ikat pinggang selebar tiga jari yang ujungnya terdapat ukiran kepala naga yang berkilat keemasan, sedangkan lengannya yang panjang di gulung sampai di sikut dengan tangan kiri terdapat sebuah gelang berwarna biru selebar tiga jari.
Sambil berjalan, bibir pemuda itu tersungging senyum lebar menyaksikan keramaian kota tersebut. Sesaat kemudian sepasang kakinya berbelok ke arah sebuah kedai yang tidak terlalu besar dipinggir jalan. Kedai itu tampak penuh, matanya celingukan memandang kesana-kemari.

7. Mengemban Tugas

Hati Mahesa Geni tercekat, untuk sejenak dia tidak dapat berkata apa-apa. Berita bahwa dia akan berpisah dengan gurunya yang sudah melimpahkan kasih sayang selama limabelas tahun ini amat menyedihkannya.
“Ah..guru, tentu saja muridmu bersedia tapi mengapakah kita harus berpisah sekarang, Geni masih ingin bersama-sama dengan guru dan merawat guru yang sudah tua ini…?”
“Hmmm…aku menghargai baktimu Geni, namun tiada perjamuan yang tak bubar…dan kita semua memiliki tanggung jawab yang harus segera di kerjakan…” Sahut See Thian Lama tenang. Sejenak mereka terdiam dengan pikiran masing-masing.
“Hohoho, jangan cengeng muridku karena bukan hanya gurumu See Thian Lama ini yang harus berpisah darimu…gurumu yang sudah tua dan bungkuk inipun harus segera berpisah denganmu dan kau harus tegar menerima ini. Sekarang dengarkanlah petuah dari kami…” Ki Sapta Langit menyambung dengan suara terharu, namun tegas.
“Baik guru, Geni siap mendengarkan…”
“Pertama: Kau terimalah bungkusan ini, bungkusan ini terikat di tubuhmu ketika kami menemukanmu waktu masih kecil. Rasanya semua pertanyaanmu tentang jati dirimu akan terungkap di situ. Setelah itu baru kau melakukan tugas-tugas dari kami…”
“Kedua: Dalam perantauanmu aku menugaskan kau mencari dan menghukum dua kakak seperguruanmu yang murtad. Mereka telah berani melarikan diri dan mencuri empat kitab pusaka dari gudang penyimpanan ilmu-ilmu sesat ketika aku sedang bepergian. Aku tidak mendengar gerakan mereka di sekitar tanah jawa ini, mungkin mereka takut kepadaku dan beroperasi di daerah yang lain. Mereka adalah Ki Samber Nyawa yang berjuluk Dewa Maut Bertangan Sakti dan Nyi Gandasuri yang berjuluk Dewi Asmara Seribu Nyawa..."
"Kalau mereka bertobat terserah keputusanmu, tapi kalau mereka masih tetap di jalan yang jahat, kau harus memusnahkan ilmu mereka. Di samping itu kau juga harus berhati-hati dengan tokoh Iblis yang berjuluk Pangeran Kelelawar iblis. Apakah kau sanggup muridku?...”
“Murid Sanggup guru, semoga didikan ke dua guru selama ini tidak akan Geni sia-siakan…”
“Bagus, dan sekarang yang terakhir…kau terimalah pedang ini…” Sambil berkata demikian Ki Sapta Langit mengangurkan tangannya dengan jari-jari terbuka. Tampak sebuah benda yang aneh bergulung-gulung di telapak tangannya.
Mahesa Geni mengambil gulungan pedang tersebut dari tangan gurunya. Saat pedang itu terlepas dari tangan gurunya, tiba-tiba pedang itu menegang dengan sekali dan ketika di amati, ternyata itu adalah sebilah pedang lemas selebar tiga jari tangan, bersinar keemasan dengan gagang berbentuk ukiran kepala naga yang memiliki perbawa aneh yang tajam menggetarkan jiwa namun nampak indah dan gagah.
“Pedang apakah ini guru…?”
“Itu adalah Pedang Pusaka Sabuk Naga Langit yang dulu di miliki oleh kakek guruku. Sekarang ku berikan kepadamu maka pergunakanlah dengan sebaik-baiknya sebagai pengganti pedang kayu yang sering kau pakai berlatih itu. Pedang ini sangat cocok dengan ilmu “Lingkaran Pedang Selaksa Naga” yang telah kau kuasai dengan sempurna itu. Sebenarnya dengan ilmumu yang sekarang kau tidak membutuhkan senjata apapun, namun di dunia persilatan ada banyak pusaka-pusaka ampuh yang harus kau tandingi dengan pusaka pula demi memperkecil resiko…”
Kemudian Mahesa Geni mendapat petunjuk gurunya tentang cara khusus untuk memakainya sebagai sabuk ikat pinggang yang nampak gagah dan menurut Ki Sapta Langit tanpa menggunakan cara yang khusus tersebut, pedang pusaka Sabuk naga Langit itu tidak dapat di lepaskan dari tubuhnya.
Dari See Thian Lama Mahesa Geni juga mendapatkan sebuah gelang tangan kiri selebar tiga jari yang terbuat dari batu bintang berwarna biru. Menurut kakek tersebut, gelang ini adalah Gelang Cermin Petir, yang mempunyai kegunaan mengembalikan pukulan tenaga sakti lawan sampai lima kali lipat. Selain itu dengan adanya gelang tersebut dia tidak usah takut dengan segala jenis racun jenis apapun yang menyerangnya.
“Jangan kau mencari kami karena kami akan mencarimu jika kami membutuhkan. Maka untuk mempermudah kami mengetahui tentangmu, maka mulai sekarang julukanmu adalah Pendekar Sabuk Naga.”

6. Ilmu-Ilmu Gabungan

“Hohohoho…kalau kami tidak membatasi tenaga kami, apa kau pikir dengan pukulanmu yang seperti tahu itu mampu mengapa-apakan kami?” Sahut Ki Sapta Langit sambil menatap muridnya dengan wajah kereng.
“Omitohud, Mahesa Geni…sebenarnya tadi kami hanya mengujimu, kau tidak perlu khawatir karena kami tidak apa-apa. Bahkan kami senang karena engkau telah menguasai dengan sempurna semua ilmu yang kami ajarkan…bahkan tingkat tenaga dalammu telah mencapai tataran di atas tokoh-tokoh kelas satu di dunia persilatan dewasa ini”
Mendengar ini mahesa Geni menjura dengan hormat: “Maafkan kalau Geni lancng menyinggung guru berdua karena dari tadi hati Geni bertanya-tanya tentang jurus-jurus yang guru berdua gunakan terakhir saat menguji tadi…guru tidak pernah mengajarkannya kepada Geni?...”
“Hohoho…kau benar muridku, jurus-jurus itu tidak pernah kami ajarkan kepadamu, tapi apakah kau melihat beberapa kemiripan dengan ilmu-ilmu yang kau miliki?...jawablah” Sahut Ki Sapta Langit sambil tersenyum misterius.
“Ah benar guru, Geni memang melihat ada beberapa persamaan dengan ilmu-ilmu yang Geni kuasai, mengapa bisa begitu?...” Kembali Mahesa Geni bertanya dengan suara penasaran.
“Hmmm…tentu saja mirip, karena memang jurus-jurus yang kami ajarkan kepadamu adalah mahakarya terbaru kami berdua yang baru saja kami ciptakan bersama selama sepuluh tahun terakhir ini yang kesemuanya adalah gabungan dari ilmu-ilmu terhebat yang kami miliki.
“Tenaga Sakti Sembilan Naga” tercipta dari gabungan dari ilmu Tenaga Sakti Selaksa Api dan Es milikku dan Ilmu Tenaga Sakti Budha Petir milik gurumu si biksu ini. “Jurus Tarian Mabuk 18 Naga Petir” itu adalah gabungan dari Jurus 18 Naga Penakluk Iblis gurumu si biksu ini dan jurus Delapan Dewa Mabok milikku, nah “Jurus Kuku Pedang Duabelas Naga Langit” adalah gabungan dari Ilmu Jari Pedang Maut si biksu ini dan jurus Cakar Naga Terbang milikku sedangkan “Ilmu Pekikan Naga Pemisah Roh” adalah gabungan dari Ilmu Sabda Budha Pemusnah Iblis si biksu dan ilmu Lengkingan pemisah Roh milikku, itulah sebabnya tingkatan yang paling tinggi dari ilmu itu akan membuatmu mampu menotok orang dengan suara, menyembuhkan luka dalam dengan suara bahkan menghancurkan benda apapun hanya dengan suara saja.
Terakhir adalah Ilmu “Pukulan Maut Naga Petir” itu adalah gabungan dari Sinar Sakti Api-Es Bersinar Emas milikku dan Pukulan Sakti Sengatan Seribu Petir milik si biksu ini, apa kau mengerti Mahesa?...” Kembali Ki Sapta langit berseru dengan suara tegas yang agak di tekan.
“Benar Geni, Selain “Ilmu Pukulan Sihir Pelebur Bintang” dan “Tangan Kapas Pelebur Jagat” yang ku ajarkan serta ilmu “Jubah Dingin Sisik Naga’ yang di ajarkan gurumu si naga bungkuk ini, yang lain adalah ilmu-ilmu hasil gabungan dari kami berdua…” Sahut See Thian Lama menimpali.
Mahesa Geni terlolong dan heran mendengarkan penjelasan kedua gurunya tersebut, namun seketika mukanya berseri: “Wah…jadi maksud guru kalau ilmu-ilmu ini adalah inti dari semua ilmu yang guru berdua miliki dan belum pernah muncul di dunia persilatan?...kalau begitu ini tentu hebat sekali…! “
“Tentu saja hebat, bayangkan dengan umurmu yang baru seujung kuku ini kau sudah mampu bertahan duaratus jurus tanpa terdesak dari kami berdua …apa lagi kalau bukan karena kehebatan ilmu-ilmu tersebut dan apa kau kira semua ilmu itu hanya ilmu-ilmu kacangan saja?. Itulah sebabnya kau jangan sombong dan tekebur dan harus dapat menguasai nafsumu…karena sekali saja kau salah langkah, kau akan menjadi sumber bencana bagi orang lain.” Sahut See Thian Lama, setelah menarik nafas sejenak beliau melanjutkan…
“Ingatlah muridku, sehebat apapun ilmu yang kau miliki haruslah tunduk pada yang di atas, karena tidak ada satupun yang terjadi tanpa perkenanan-Nya…dalam menghadapi sesama maka apa yang engkau tidak ingin orang perbuat kepadamu janganlah kau buat pada mereka sehingga hukum karma tidak akan berbalik menimpamu”
“Baik guru, murid mengerti, dan murid mohon petunjuk guru untuk selanjutnya…” Sahut Mahesa dengan kepala tertunduk.
“Nah sekarang kau beristirahatlah. Nanti malam kami ingin memberikan sesuatu kepadamu.” Sahut ki Sapta Langit dengan tegas.
“Terima kasih guru berdua, murid mohon pamit untuk beristirahat.” Setelah bersimpuh menghormat, Mahesa kembali ke pondoknya dengan hati riang gembira.
Malam itu tiga orang kembali duduk berhadapan di dalam pondok sederhana yang di terangi obor.
“Wahai muridku Mahesa Geni, masih ingatkah kau sudah berapa lama kau menjadi murid kami?...”
Terdengar suara lembut dari See thian Lama di tujukan pada muridnya ini.
“Masih ingat guru, hingga saat ini sudah genap lima belas tahun, tapi mengapakah guru menanyakan hal ini?..” Sahut Mahesa dengan suara agak di tahan.
“Hmmm, sudah lima belas tahun aku meninggalkan tanah kelahiranku di Tibet dan kini aku harus kembali. Ada satu tugas yang aku inginkan kau kerjakan. Kelak bila engkau memiliki waktu banyak dalam perantauanmu, sekitar musim semi tahun depan, sempatkanlah berkunjung ke Tibet, karena aku ingin kau mewakiliku untuk bertanding adu kesaktian yang di lakukan enam belas tahun sekali oleh empat Dewa dari tionggoan…., bersediakah engkau Geni?” See Thian Lama menatap pemuda itu dengan terharu.

5. Ujian Terakhir

Mendengar suara tersebut pikiran Mahesa Geni terjentik sesaat: “Ah, guru suruh aku membebaskan tujuh pintu naga apakah itu berarti menggerakkan tenaga tanpa terputus?...dan ‘sang naga menuntun gerakmu’..bagaimana bisa?...” Semakin pikirannya larut semakin kacau gerakannya hingga:
“Dheessss….huaaakh” Tubuhnya terlempar lima tombak ke belakang sambil memuntahkan sedikit darah segar. Ternyata dia telah terluka ringan.
“Anak bodoh, apakah kau mau mati cepat?…Lupakan jurusmu, lupakan namanya, lupakan gerakannya, biarkan sang naga mengalir bebas dalam ketujuh pintu naga…” Terdengar suara lain yang ternyata adalah See thian Lama yang lembut memberi petunjuk pada muridnya.
“Ahh benar, apakah itu berarti harus bergerak sesuai keadaan? Hmm benar…betapa bodohnya aku, kenapa aku sampai melupakannya…” Pemuda itupun memejamkan matanya, membiarkan Tenaga Sakti Sembilan Naga berputaran ke seluruh tubuh, melupakan luka dalamnya dan tidak lagi memikirkan jurus lawan ataupun pergantian jurus-jurusnya.
Kala itu kedua gurunya kembali menyerangnya dengan hebat. Saat bagian-bagian tubuhnya merasakan ada serangan, tubuhnya otomatis berespon dengan jurus-jurus yang memang telah mendarah daging di tubuhnya.
Pertama masih tampak kaku dan agak di paksakan, namun semakin lama Mahesa semakin cepat menguasai cara bersilat seperti ini. Hebatnya dengan cara ini tubuh, tangan dan kakinya dapat bergerak dengan otomatis mementahkan semua jurus-jurus dahsyat lawan.
Kini gerakan tubuhnya tidak lagi terpaku pada rangkaian-rangkaian jurusnya, tapi justru dapat bergerak memainkan jurus apa saja dalam posisi yang bagaimanapun tanpa halangan. Tanpa di sadarinya pemuda ini telah berhasil menembus tataran ‘berganti jurus tanpa hambatan’.
Biasanya jurus-jurus dalam ilmu silat selalu ada gerakan awal yang merupakan mata rantai yang di sebut ancang-ancang untuk berpindah pada jurus selanjutnya, namun tataran yang di capai pemuda itu memungkinkan dia mengerahkan jurus apa saja walau dalam posisi tubuh yang tidak biasa atau paling mustahil sekalipun dan ini adalah suatu pencapaian yang luar biasa. Jika bukan karena bakatnya yang besar, tidak nanti dia mampu melakukannya.
Kedua kakek sakti ini memang mendidik Mahesa Geni dengan sangat keras namun juga sangat memanjakan murid mereka ini sehingga bergantian mereka setiap tiga bulan mereka membantu sang murid dengan mengalirkan sepertiga hawa murni mereka selama lima belas tahun. Tak heran pencapaian yang di capai Mahesa Geni walau umurnya yang ke delapan belas tahun ini amatlah hebat.
Mereka sengaja melatih Mahesa dengan keras dan dengan cara yang luar biasa karena mereka mengharapkan pemuda inilah yang akan menjadi wakil mereka untuk meredam ancaman petaka yang terjadi di delapan penjuru dunia persilatan saat ini.
Seratus jurus berlalu dengan cepatnya, kini Mahesa sudah membuka matanya dan melayani gempuran kedua gurunya. Akhirnya dia tidak lagi terdesak hebat, malah sekarang dapat berganti-ganti jurus mengimbangi sampai duaratus jurus lebih, dan ketika gerakan kedua gurunya mulai melambat, Mahesa Geni tahu bahwa walaupun lambat namun akhir pertarungan di tentukan oleh babak ini. Karena tidak mengandalkan lagi gerak jurus tapi kekuatan tenaga dalam semata.
Kedua gurunya menyerangnya dengan pukulan-pukulan jarak jauh yang dahsyat. Dia melihat kedua tangan gurunya ki Sapta Langit bergerak dengan gerakan berbeda. Dua warna biru dan kuning semburat dari kedua tangannya, itulah pukulan yang tidak di ketahuinya. Sedangkan gurunya yang satu, See thian Lama bergerak dengan gerakan yang juga aneh karena dari kedua tangannya keluar dua larik sinar hitam berhawa panas menyengat yang tidak juga di kenalnya.
Dia terkesiap namun segera bersiap. Kedua kakinya tertanam dengan kuda-kuda yang kuat, di lain saat Tenaga Sakti Sembilan Naga tingkat ke duabelas di kerahkan sampai ke puncak. Sinar perak keemasan berpendar si sekeliling tubuhnya, dari kedua tangannya keluar hawa sakti yang amat dingin dan panas di sertai ledakan-ledakan kilat yang kuat.
Saat kedua gurunya menyerangnya dengan pukulan sakti mereka, diapun segera mendorongkan kedua tangannya menyambut dengan Jurus “Pukulan Maut Naga Petir” tingkat akhir, yaitu tingkat ke dua belas. Di mana dari kedua tangannya keluar dua larik sinar mujijat berwarna perak keemasan berhawa panas dan dingin yang diikuti ledakan-ledakan petir yang memekakan telinga.
“Heaaaaahhhhh…….Dhuaaaarrrr……dhuaaaaarrrr…..dhuaaaaaarrrr…!” Terdengar tiga ledakan yang amat keras seolah-olah langit runtuh oleh bencana alam yang dahsyat saat ketiga pukulan bertemu. Tubuh Mahesa Geni terdorong satu tombak kebelakang dengan kedua kaki melesak ke dalam tanah sampai di mata kaki, sedangkan kedua gurunya hanya terdorong tiga langkah ke belakang.
Mahesa Geni mengerahkan tenaga meredakan guncangan di sebelah dalam tubuhnya, setelah itu dia menghentakkan tangannya ke bawah sehingga tubuhnya terangkat dari tanah yang melesak, kemudian kakinya melangkah perlahan ke arah kedua orang gurunya sambil bersimpuh: “Guru berdua, maafkan Mahesa yang lancang sehingga guru berdua terluka…”

4. Berlatih Ilmu-Ilmu Dahsyat

Pemuda bernama Dama Kalla tersebut tertawa terbahak-bahak, kemudian memandang kepada kelelawar iblis tersebut:
“Marilah Donggo, kita akan memulaikan perburuan berdarah kita…..hahahahahaaha…..” Diiringi mencicit tajam, tiba-tiba kelelawar iblis tersebut melesat ke dada Dama Kalla dan dengan cara yang gaib lenyap masuk ke dalam tattoo di dada pemuda tersebut.
***
Waktu berlalu dengan sangat cepatnya, lima belas tahun lewat tanpa terasa. Suatu sore yang sepi di suatu tempat yang cukup luas di Tanjung Kematian tersebut, tampak seorang pemuda berusia delapan belas tahun sedang melakukan gerakan-gerakan silat yang luar biasa aneh dan dahsyat.
Pemuda itu memakai jubah biru dengan rambut riap-riapan. Bila ada orang yang melihat ini tentu mereka akan terkejut sekali, karena dari tangan dan kaki pemuda yang tampan itu keluar hawa mujijat bagai lidah-lidah api dan butiran-butiran es diikuti pancaran hawa petir yang amat kuat dan luar biasa dahsyatnya.
Sementara tak jauh dari padanya tampak seorang biksu dan seorang kakek bungkuk yang enak-enakan duduk di atas dua buah batu besar.
Ilmu silat aneh dan dahsyat yang di mainkan oleh pemuda itu adalah “Jurus Tarian Mabuk 18 Naga Petir” yang di lambari “Tenaga Sakti Sembilan Naga” tingkat ke sembilan yang dahsyat. kakinya oleng kesana-kemari seperti orang mabuk, namun kedua telapak tangannya bergerak dengan jurus-jurus pukulan yang aneh luar biasa yang mengeluarkan ledakan-ledakan kecil namun mematikan. Lingkaran seluas lima kaki di kurung oleh hawa mujijat panas dingin yang pekat sehingga membentuk bayangan naga yang dahsyat.
Setelah pemuda tersebut yang tak lain adalah Mahesa Geni memainkan delapan belas jurusnya sampai habis, tiba-tiba terdengar pekikan nyaring sambung menyambung dari mulutnya yang di lakukan dengan pengerahan ilmu “Pekikan Naga Pemisah Roh”.
Pekikan itu luar biasa karena mampu mengeluarkan getaran mengerikan yang dapat membuat urat-urat hancur dan alunan nada membetot sukma yang melumpuhkan. Sementara itu tubuhnya melesat keatas dan menukik naik turun memainkan Jurus “Kuku Pedang Duabelas Naga Langit” yang tak kalah dahsyatnya dari ilmu yang pertama tadi.
Dari kesepuluh ujung jarinya keluar hawa pedang berpusingan yang amat padat dan tajam, mampu menembus baja sekalipun. Sementara tubuhnya meliuk-liuk membentuk bayangan-bayangan naga menari di udara dengan jurus-jurus aneh yang kesemuanya hampir tidak pernah menyentuh tanah namun daya rusaknya ternyata sangat mengerikan.
“Awasss……..Ghroaaaaaaaaakkkhhhrrrrrr…….ciaaaaaaatt……..” Tiba-tiba terdengar bentakan di ikuti pekikan dari ilmu yang sama dari kakek bungkuk yang tadi hanya menonton saja.
Tubuh kakek bungkuk yang tak lain adalah Ki Sapta Langit itu melesat menyerang Mahesa Geni dengan ilmu hampir mirip dengan yang di mainkan si pemuda namun berlainan dan hampir tidak di kenal oleh si pemuda yaitu jurus ‘Cakar Naga Terbang”.
Ini adalah salah satu dari ilmu-ilmu andalan si Naga Bungkuk Bertangan Dewa tersebut yang telah mengangkat namanya sebagai jago tanpa tanding di tanah jawa puluhan tahun lamanya.
Terjadilah pertarungan di udara yang aneh, seru dan di ikuti dengan bentakan-bentakan maupun erengan yang dahsyat dan menggetarkan.
Sampai lewat limapuluh jurus pertempuran itu masih berlangsung hampir seimbang, tiba-tiba terdengar bentakan yang lain lagi, di lain saat si biksu See thian Lama yang tadi hanya menonton saja telah ikut menerjunkan diri dalam pertempuran tersebut. Dari jari-jari tangannya yang di rapatkan keluar hawa padat setajam pedang yang berdesing memekakkan telinga menyerang mahesa Geni. Jadinya pemuda itu sekarang di keroyok dua.
Mahesa Geni terkejut mendapat serangan ini, dan dia berusaha untuk bertahan namun duapuluh jurus kemudian di rasakan tekanan-tekanan dari dua gurunya makin bertambah hebat. Ruang lingkup pertarungan itu kian bertambah luas, apalagi saat pemuda itu berganti gerakan dengan “Jurus Tarian Mabuk 18 Naga Petir” di ikuti oleh “Jurus Langkah Siluman Naga Gila” dan “Jurus Telapak Duabelas Kibasan Ekor Naga” serta jurus tendangan “Sengatan Tujuh Naga Neraka”.
Namun demikian kedua orang kakek itupun segera berganti gerakan pula dengan jurus-jurus yang hampir mirip namun dahsyat sehingga pertarungan itu semakin ramai.
Lewat jurus ke tigapuluh Mahesa Geni makin kurang dapat mengembangkan permainannya sehingga mulai terdesak di bawah angin.
“Anak bodoh...jangan biarkan pikiranmu terpengaruh perbawa ilmu lawan, lepaskan Tenaga Sakti Sembilan Naga ke ketujuh pintu naga dan biarkan sang naga menuntun gerakmu tanpa penghalang…” Tiba-tiba terdengar suara Ki Sapta Langit memberi petunjuk pada muridnya.

3. Pengeran Kelelawar Iblis

Di hadapan kakek aneh yang mengerikan itu tampak seorang pemuda yang mengenakan jubah ungu yang panjang sampai ke kaki berdiri tegak. Tubuhnya tinggi kekar namun wajahnya yang tampan berkesan dingin dengan mata liar yang kemerahan dan mulut yang menyeringai seperi meremehkan.
Di dadanya terdapat sebuat Tatto bergambar kelelawar hitam yang sangat mengerikan. Di tangan kirinya menjambak rambut dari sepuluh kepala yang sudah kering sehingga Nampak mengerikan, sedang di tangan kanannya tergenggam sebuah Arit merah darah yang bertangkai panjang dari emas yang memancarkan sinar menggidikkan.
Itulah senjata sakti yang amat ampuh yang di kenal sebagai “Arit Iblis Darah” yang sudah memakan banyak tumbal orang-orang sakti.
“Guru Penghulu Kelelawar Iblis, aku sudah membawa kepala-kepala dari sepuluh ketua-ketua perguruan yang di bunuh pada malam jumat kliwon…”
“Hohoho…wahai muridku bernama Dama Kalla, kau telah menyelesaikan tugasmu dengan baik, sekarang aku akan menyempurnakan ilmu Sungsang jagat yang telah ku tanam dalam dirimu sebelum aku kembali ke tempat asalku? “
“Terima kasih guru…aku pasti akan melanjutkan cita-citamu untuk menguasai dunia persilatan ini”
“Hohoho…sekarang tanggalkan semua pakaianmu dan bersemedilah. Aku akan mulai menyempurnakan ilmu-ilmumu dengan sepuluh kepala ini tokoh-tokoh sakti ini.”
Kakek yang di sebut Penghulu Iblis Hitam ini mengulurkan tangannya ke arah sepuluh kepala tersebut yang langsung melayang kedepan kakinya. Sambil berkemak-kemik membaca mantra, ke sepuluh jari tangan Penghulu Iblis Hitam terarah kepada sepuluh kepala tersebut dan bergetar luar biasa hebatnya. Tiba-tiba ke sepuluh kepala yang sudah mati tersebut Nampak hidup kembali dan membuka mata mereka.
Sungguh luar biasa sekali pemandangan ini. Bahkan Dama Kalia-pun yang melihat hal ini terkejut sekali. Karena Inilah hal yang hampir sukar di percaya oleh nalar manusia.
“Hohoho…muridku Dama Kalla, inilah kesepuluh abdi iblis yang akan menjadi bagian dari dirimu.
Dengan merasuk ke dalam sepuluh kepala orang-orang sakti ini, maka mereka akan menyerap kemua rahasia-rahasia kesaktian yang di miliki kesepuluh orang sakti ini untuk menyempurnakan “Ilmu Sungsang Jagat”. Dengan demikian kau akan memiliki sepuluh jenis aliran ilmu kesaktian yang mengalir dalam darahmu selain dari ilmu-ilmu kelelawar iblis yang sudah kau kuasai… bersiaplah!”
Setelah berkata demikian, tiba-tiba dari mulut Penghulu Iblis keluar dengungan mantra-mantra yang aneh dan mengerikan. Tak lama kemudian dari pupil matanya yang kecil itu keluar sinar-sinar yang menghantam kesepuluh kepala hidup tersebut dan anehnya. tiba-tiba dari ubun-ubun sepuluh kepala tersebut keluar bulatan biru sebesar telur puyuh. Bulatan-bulatan biru tersebut langsung melayang berputaran di atas kepala dan masuk lelalui tattoo kelelawar hitam di dada Dama Kala satu demi satu yang menyebabkan pemuda ini tersentak-sentak dan mengejang kesakitan.
Inilah kehebatan dari Ilmu Sungsang jagat. Ilmu ini sanggup membuat pemiliknya menguasai ilmu-ilmu orang lain tanpa harus berlatih lagi bahkan mampu membuat kedahsyatan ilmu-ilmu tersebut menjadi berlipat ganda. Jadi dapat di bayangkan bagaimana jadinya nanti kesaktian yang di miliki oleh pemuda bernama Dama Kalla itu.
Tak lama kemudian, tubuh pemuda itu terangkat dari permukaan tanah. Tubuhnya di kelilingi cahaya hitam yang pekat se tebal sepuluh senti sampai beberapa lamanya hingga keadaan kembali seperti semula.
Saat pemuda itu membuka mata, dia tidak lagi menemukan gurunya yang entak lenyap kemana. Hanya suara yang berbisik di telinganya:
“Muridku, mulai sekarang julukanmu adalah Pangeran Kelelawar Iblis, Kelelawar iblis ini akan melayanimu selamanya. Lakukan apa saja keinginanmu untuk menguasai dunia persilatan namun jangan kau lupakan tugasmu untuk mencari dan membunuh dua musuh besarku, yaitu orang yang telah memotong tangan kiriku ini: Si Naga Bungkuk Bertangan Dewa dan semua keturunannya serta juga membunuh Ratu Langlang Jagat dari istana gaib di Pulau Bidadari Api”.

2. Mengangkat Murid

“Kakek berdua, nama saya Cendana Wangi….” Setelah berhenti sejenak, dengan suara yang mulai lemah nyonya muda itu kembali melanjutkaan: “…kalau saya tidak salah, kakek berdua tentu orang baik, saya mohon pertolongan untuk menitip anak saya, atau paling tidak serahkankan dia dengan kakeknya si Raja Racun Selatan di puncak gunung Bromo…ahhhh…aku tidak tahan lagi…” Nyonya muda yang mengaku Cendana Wangi itu mengeluh tertahan dengan nafas tersegal-segal.
“Bertahanlah…” Sahut Darba sambil kembali melancarkan totokan-totokan di dada Cendana Wangi dan menyalurkan hawa murni.
‘Anakku…namanya Sian Hay atau …Mahesa Geni,… bun…buntelan di punggungnya, … …aaaaakhhhh…” walau dengan susah payah mengeluarkan kata-kata terakhirnya, akhirnya Cendana Wangi tak kuat lagi bertahan lagi karena racun yang menyebar ke seluruh tubuhnya, dan karena dia benar-benar kehabisan darah.
“Omitohud…takdir tak dapat di tentang, masa hidup manusia bila sudah waktunya siapakah yang sanggup memperpanjangnya. Hanya jalan Budha yang dapat memberi penerangan sempurna…”
Kedua kakek sakti itu menghela nafas panjang. Mereka tidak dapat berbuat banyak, karena nyonya muda itu memang sudah banyak kehabisan darah. Tanpa banyak bicara mereka mengebumikan mayat tersebut secara sederhana.
‘Anak yang bertulang bagus…! Hmmm…tampaknya aku harus menunda kepulanganku ke Tibet beberapa tahun lagi…”Sahut Darba perlahan sambil menatap tajam penuh selidik anak kecil dalam gendongan Ki Sapta langit.
“Benar sekali, wahai sobatku Darba, tampaknya anak ini berjodoh untuk menghentikan petaka hitam dunia persilatan yang merajalela akhir-akhir ini, …hohoho, anak yang beruntung sekali…”
Demikianlah anak kecil atau Mahesa Geni atau Sian Hay yang berusia tiga tahun tersebut diangkat sebagai murid oleh dua tokok yang sakti ini.
Siapakah kedua orang kakek sakti tersebut. Kakek sakti berpunuk di punggung tersebut yang di panggil Ki Sapta Langit adalah seorang dedengkot golongan putih yang sudah lama mengasingkan diri. Pada enam puluh tahun lalu beliau muncul dengan kesaktian yang sukar di cari tandingannya di tanah jawa dan setelah tigapuluh tahun malang melintang sebagai tokoh tanpa tanding yang misterius kakek ini hanya dikenal dengan julukan Naga Bungkuk Bertangan Dewa. Sedangkan biksu yang di panggil Darba yang usianya tak terpaut jauh daki Ki Sapta Langit itu adalah salah seorang dari 4 datuk tersakti dari tionggoan yang berjuluk See-thian-Lama (Lama Sakti Langit Barat).
***
Petaka Hitam apakah yang di maksudkan oleh kakek sakti berpunuk tersebut?. Dunia persilatan di gegerkan dengan adanya pembunuhan berantai sadis yang terjadi di sepuluh tempat dalam waktu tiga bulan terakhir ini. Korbannya adalah tokoh-tokoh puncak sepuluh Partai dari enam belas partai terbesar di tanah Jawa. Hingga detik ini tidak ada yang tahu siapakah pembunuh berdarah dingin tersebut, namun yang pasti ialah semua korban di temukan tewas pada malam jumat kliwon dengan tubuh kering kehabisan darah dan tanpa kepala.
Sungguh tragedi yang sangat mengerikan dan menimbulkan kemarahan semua tokoh-tokoh persilatan kalangan atas di berbagai penjuru di samping ketakutan yang mencekam hati setiap orang. Terjadi saling mencurigai satu dengan yang lain sehingga tak heran dalam waktu singkat terjadi bunuh-membunuh di mana-mana.
Ke enam partai lain yang telah mendengar malapetaka ini juga menjadi was-was dan mengadakan penjagaan yang sangat ketat serta menutup diri mereka.
Belum tuntas masalah ini di usut oleh para tokoh-tokoh persilatan, dunia persilatan kembali di kejutkan dengan munculnya dedengkot-dedengkot dunia hitam yang memiliki ilmu gila-gilaan yang hampir tak masuk akal mendekati iblis atau siluman.
Udara malam itu amat dingin menusuk. Saking dinginnya sehingga tidak memungkinkan ada orang biasa untuk dapat hidup di lembah terpencil yang terletak jauh di bawah pegunungan Bromo sebelah barat yang angker dan sukar di datangi orang biasa.
Namun herannya, di tengah suasana yang dingin, sunyi dan mengerikan dengan hanya di terangi sinar rembulan, nampak di atas sebuah batu besar di depan sebuah goa yang gelap, duduk seorang kakek botak yang Nampak mengerikan. Wajahnya seperti tengkorak dengan dua biji mata yang kecil kemerahan. Tubuhnya Nampak lebih tinggi dari ukuran orang biasa dengan tubuh yang kurus kering tinggal pembungkus tulang itu di tutupi jubah hitam seperti jubah kelelawar. Sementara tangannya yang sebelah tampak buntung sebatas siku.
Di samping kiri kakek tersebut tampak berdiam seekor kelelawar besar bermata merah yang mengerikan, dua kali besar manusia biasa dengan sayap sepanjang dua meter bila di rentangkan. Kuku-kukunya yang tajam bagai pisau tampak pada jari-jari kakinya dan gigi-gigi yang tajam tampak mencuat mengerikan. Inilah kelelawar iblis yang menjadi piaraan kakek sakti tersebut.

1. Duel 2 Dewa

Suasana Tanjung Kematian di pesisir Pantai Laut Utara yang jauh dari jangkauan manusia biasa tampak lain dari biasanya. Hampir tiga hari telah berlangsung pertempuran yang seru antara dua orang manusia yang aneh. Yang paling luar biasa adalah akibat dari pertempuran itu, Suasana alam tanjung kematian itu porak-poranda tak berbentuk lagi bagai habis di landa badai topan yang sangat besar.
Yang satu seorang tua berusia sekitar delapanpuluh tahun lebih. Rambut, alis, kumis dan janggutnya yang panjang tergerai sampai di dadanya sudah putih semua. Dandanannya aneh dengan baju hitam tanpa lengan yang lusuh agak kedodoran. Namun yang menarik darinya ialah di punggungnya ada sebuah punuk yang besar. Sementara lawannya seorang kakek berwajah asing yang bermata sipit dan hidung besar dan bibir tebal. Sukar di taksir usianya, namun dari kepalanya yang plontos tanpa rambut dan jubahnya yang putih kekuningan dapat di simpulkan bahwa dia adalah seorang Lama dari Tibet.
Kedua orang ini sudah bertarung selama tiga hari tiga malam, namun belum juga ada yang menunjukkan siapa pemenangnya. Jurus-jurus dahsyat dan aneh bahkan yang berkekuatan sihir yang belum pernah di saksikan oleh dunia persilatan di munculkan dan di kerahkan untuk mengalahkan lawannya, namun tidak ada seorangpun yang unggul. Sampai akhirnya kedua orang yang bertarung itu berhenti ketika mata sakti kedua orang yang sedang bertempur tersebut menangkap bayangan lain yang terdampar di pinggir pantai yang memecahkan perhatian mereka.
Tanpa bicara kedua orang tua itu melesat kearah bayangan lain tersebut, tak sampai habis satu kedipan mata mereka telah sampai di hadapan bayangan tersebut yang setelah di perhatikan ternyata adalah seorang perempuan muda yang pingsan sambil memeluk seorang anak kecil berumur tiga tahun. Sementara di bahu perempuan itu tertancap pisau belati keemasan. Sekali lihat tahulah kedua kakek itu bahwa pisau tersebut mengandung racun yang mematikan.
“Omitohud…Ki Sapta Langit, tampaknya ibu dan anak ini korban perampok laut dan kedahsyatan badai di tengah laut, dan sang ibu ini keracunan?” terdengar suara berat dari Lama bermata sipit tersebut sambil tangannya bekerja memberikan totokan-totokan di sekitar punggung dan bahu perempuan muda tersebut untuk menyadarkannya.
“Hoho, benar sekali sobatku Darba, entah siapa mereka dan anak itu…” kakek bungkuk yang di sebut Ki Sapta Langit menyahut dengan suara tenang, namun tangannyapun bekerja cepat mengambil anak laki-laki tersebut dari pelukan sang ibu. Kakek itu memegang kedua kakinya dan menjungkir balikkan kepala di bawah sementara tangan satunya menepuk perlahan di punggung dan dada anak tersebut untuk mengeluarkan air laut yang telah di minumnya.
Sejenak kemudian anak itu memuntahkan air laut yang banyak dan menangis dengan kuat. Sementara sang ibu yang di sadarkan oleh biksu yang di sebut Darba itu mulai membuka matanya yang nampak sayu.
“Oh, di mana aku?...” ibu itu menjerit lirih sambil mengerang kesakitan.
“Nyonya muda yang malang…Engkau kami temukan terdampar di pinggir pantai Tanjung Kematian!
Siapakah kau dan apa yang terjadi?...” Tanya Ki Sapta Langit dengan suara lembut.
“Anakku…ohhh, anakku…kau selamat nak…” Perempuan itu tidak segera menjawab pertanyaan Ki
Sapta Langit karena perhatiannya segera tertarik dengan suara tangisan anaknya yang di angsurkan kepadanya.
“Anakku, oh anakku, malang nian kau nak…semuda ini sudah akan kehilangan kedua orang tuamu…huuuu…huuuuu….huuu…” Nyonya muda itu menangis tersedu-sedu sambil mendekap anak tersebut dengan erat.
Ki Sapta langit dan Darba hanya saling pandang saja tanpa dapat berbuat apa-apa. Mereka maklum akan kondisi ibu itu. Agaknya luka akibat tertancap pisau beracun di bahu wanita tersebut telah cukup lama terjadi sehingga wanita tersebut telah banyak kehilangan darah. Mereka memastikan bahwa nyonya muda itu tak dapat bertahan lama lagi.
Beberapa saat kemudian nyonya muda itu berhenti menangis dan memandang kedua penolongnya dengan tatapan memohon.