Laman

Senin, 15 April 2013

9. Malaikat Pedang Terbang

“Maaf Den, apakah ada yang bisa saya bantu?” Tiba-tiba terdengar suara kecil seorang pelayan yang tiba-tiba muncul di sampingnya.
“Ah…aki, maaf saya hanya ingin makan saja, apakah masih ada tempat?”
“Ada Den, tinggal satu tempat yang tersisa di sudut sebelah kanan, kalau aden tidak keberatan silahkan…?!”
“Baiklah aki, tunjukkan padaku tempatnya…” Mahesa lalu mengikuti pelayan tersebut mengarah ke tempat duduk di sudut ruangan. Ternyata di situ hanya tersisa satu tempat duduk yang kecil dan satu meja seukuran empat piring.
“Ini tempatnya Den, oh ya aden mau pesan apa?”
“Bawakan saja nasi urap dan sayur lodehnya, di tambah dengan air putih, itu cukup…” Sambil berkata demikian, pemuda ini duduk dengan tenang sambil memandang ke arah luar kedai.
Tak lama kemudian pesanan yang di pesannya datang dan pemuda itupun mulai makan dengan lahap sambil mengangkat kaki kirinya di atas kursi.
Sementara pemuda itu makan dengan lahap tanpa memperdulikan keadaan sekelilingnya, tiba-tiba telinganya menangkap suara orang bercakap dengan perlahan. Sebenarnya tidak ada yang aneh dengan orang yang bercakap-cakap karena semua orang yang ada di kedai situ juga ada yang bercakap-cakap dengan ramai. Namun suara orang yang bercakap itu keluar dari mulut seorang gadis yang amat cantik berusia enambelas tahun dengan seorang kakek tua yang berusia enampuluh tahunan:
“Eyang Guru, apakah perjalanan ke Gunung Bromo masih sangat jauh…dan urusan apakah yang akan kita lakukan di sana sehingga kita harus mengadakan perjalanan dengan sembunyi-sembunyi seperti ini?...”
“Sabarlah muridku, Gunung Bromo tinggal berjarak dua hari dari sini. Urusan yang kita akan lakukan di sana menyangkut keselamatan dunia persilatan, jadi tidak baik bila di bicarakan di sini, kau diamlah, setelah makan kita segera berangkat.”
Tanpa sadar mata Mahesa terus memperhatikan gadis itu sambil hatinya membatin: “Ah cantik sekali gadis itu dan mereka pasti dari dunia persilatan…siapa mereka ya?”
Setelah menghabiskan makanan mereka, kedua orang guru dan murid itupun segera meninggalkan kedai tersebut. Namun saat berdiri, gadis itu masih sempat melirik pada Mahesa sambil tersenyum simpul. Hal mana membuat wajah pemuda itu menjadi merah karena ketangkap basah sedang menatapnya. Cepat wajahnya di arahkan ke tempat lain sambil meneruskan makannya sedangkan mulutnya menggerutu malu.
“Sialan, monyet buduk!... bikin grogi aja…..”
Baru saja dia memalingkan wajah kembali untuk melihat punggung tubuh gadis itu yang menghilang di luar pintu, tiba-tiba di lihatnya lima orang laki-laki separuh baya yang duduk di meja besar sebelah selatan saling memberi kode dan meninggalkan kedai.
“Hmmm, tampaknya mereka membuntuti kedua orang tadi, apa yang akan mereka lakukan? Sikap mereka mencurigakan sekali…” Pemuda itu lalu merogoh kantungnya dan mengeluarkan dua keping perak yang langsung di letakkan di atas meja, setelah itu diapun bangkit dan melangkah ke luar kedai.
Sampai di luar dia menangkap bayangan lima orang di kejauhan. Mereka berlari cepat menuju ke arah selatan. Sepertinya sedang terburu-buru mengejar sesuatu. Karena penasaran, pemuda inipun segera mengikutinya. Sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya, Mahesa membuntuti ke lima orang tersebut sampai di luar dusun dan mamasuki hutan.
Saat itu dari jauh Mahesa mendengar suara bentakan-bentakan menggelegar dari arah depan, segera dia mempercepat larinya. Di dalam hutan dia berkelebat ke atas sebuah pohon yang tinggi dan rindang untuk menyembunyikan tubuhnya sambil memperhatikan.
Tampak kakek tua dan gadis cantik tadi sedang berhadapan dengan kelima pria setengah baya yang menghadang perjalanan mereka dengan senjata terhunus. Salah satu yang menjadi pemimpin bernama Jarotala segera berkata dengan angkuh:
“Hehehe…Ki Ranggapati, tak ada gunanya kalian melanjutkan perjalanan ke Gunung Bromo. Junjungan kami sudah mencium rencana busuk kalian untuk membentuk perserikatan para pendekar…”
Kakek yang ternyata bernama Ki Ranggapati itu melangkah maju dan berkata: “Maaf kisanak, apa maksud kalian, aku tidak mengerti sama sekali…”
“Huh, jangan berlagak pilon Malaikat Pedang Terbang, mungkin kau masih bisa bertahan tidak mati oleh Racun Kelelawar Iblis, sungguh hebat tenaga dalammu, tapi sayangnya kau telah bertemu dengan kami Lima Cambuk Api dari Goa Rangkeng…bersiaplah untuk mati”. Jarotala memberi isyarat pada kelima kawannya untuk menyerang. Serentak dua kawannya maju mengeroyok bersama dengan Jarotala, sementara yang dua lagi meloncat ke arah sang gadis.
Sebentar saja telah terjadi pertarungan yang tidak seimbang. Ki Ranggapati atau yang berjuluk Malaikat Pedang Terbang sebenarnya adalah seorang tokoh legenda yang pilih tanding. Kehebatan ilmu Pedang Terbangnya yang dahsyat telah mengangkat namanya selama empatpuluh tahun sebagai seorang pendekar golongan atas yang mumpuni. Namun anehnya saat menghadapi pengeroyokan ketiga orang itu hanya bisa bertahan dan menghindar saja tanpa mampu membalas sejuruspun.
Sedangkan gadis cantik berjubah putih yang ternyata adalah murid si Malaikat Pedang Terbang, justru terlihat sangat aktif menyerang dengan jurus-jurus mematikan. Hal ini tidak aneh karena sesungguhnya Ki Ranggapati masih menderita keracunan hebat akibat pertarungannya dengan tiga utusan Pangeran Kelelawar Iblis yang menyantroni Perguruan Pedang Terbang dua purnama lalu.
Meskipun waktu itu Malaikat Pedang Terbang mampu membinasakan dua dari antara lawannya, namun dia juga harus menderita oleh pukulan Kelelawar Iblis dari orang ke tiga yang tak sempat dia tangkis. Untung saja yang dating hanya tiga utusannya saja yang hanya menguasai setengah saja dari kehebatan Pukulan Kelelawar Iblis tersebut, makanya dia masih dapat bertahan dengan menggunakan tenaga murni menyumbat jalannya racun memasuki nadi-nadi penting di tubuhnya. Namun jika dia mengerahkan tenaga berlebihan dalam pertarungan, dapat di pastikan nyawanya takkan tertolong lagi.
Keadaan Ki Ranggapati semakin lemah. Beberapa pukulan telak bersarang di tubuhnya hingga pukulan susulan dari Jarotala menghantam telak iga kirinya menyebabkan orang tua itu tak dapat lagi mempertahankan diri sehingga tenaga murni yang menahan menyebarnya racun Kelelawar Iblis itu kembali menyebar ke seluruh nadi penting di tubuhnya. Orang tua itu terduduk dan memuntahkan darah kehitaman.
“Guruuuu….!” Gadis itu memutar pedangnya dengan sebat mendesak kedua lawannya kemudian berlari ke arah gurunya.
“Rara Wulan, larilah, selamatkan dirimu… carilah Raja Racun Selatan dan mohon perlindungan darinya…”
“Bertahanlah Eyang…kau orang tua pasti bisa! Jangan tinggalkan Rara Wulan sendiri Guru…”
Tiba-tiba terdengar suara dengusan dari Jarotala; “Heheh cah ayu, dewa sekalipun tidak akan dapat menyelamatkan gurumu itu. Racun Kelelawar iblis terlalu dahsyat dan tak seorangpun sanggup menandinginya…Tinggalkan orang tua mau mati itu dan menyerahlah…”
“Bangsat culas, ku bunuh kau, Hiyaaaattt….!” Dengan kalap Rara Wulan melompat menyerang kelima lawan itu dengan jurus-jurus mematikan tanpa memperdulikan pertahanannya. Namun sekali bergerak Jarotala segera menangkap kedua tangan gadis itu dan menghenkakkannya dalam pelukannya.
“Hahahaha…sekarang kau tak akan dapat berbuat apa-apa lagi, diamlah maka kami akan baik-baik memperlakukanmu…”
“Lepaskan aku babi bangsat, kadal busuk…aku akan membunuhmu…” Gadis itu meronta-ronta namun pelukan Jarotala sangat kuat sehingga bukannya terlepas, justru rontaan gadis itu makin membuat dada mereka bergesekan sehingga jarotala makin tertawa terbahak-bahak. Saat itu…
“Hahahaha..seorang kakek tua sedang memperkosa seorang gadis yang hanya cocok menjadi anaknya…sungguh sampah memalukan!...”
Tawa Jarotala terhenti. Serentak kelima orang itu memandang ke depan. Entah darimana datangnya, di samping Ki Ranggapati tampak berdiri seorang pemuda berusia delapan belas tahun yang gagah.