Laman

Senin, 15 April 2013

1. Penghuni Pulau Awan Api 1

Sebuah papan perahu sepanjang dua meter tampak terapung-apung di tengah gelombang laut yang dahsyat. Sekilas nampaknya hanya sebuah papan biasa. Namun bila di amati lebih jauh, Nampak sesosok tubuh pemuda tanggung berusia lima belas tahun sedang terikat di atas papan tersebut. Di punggungnya terikat sebuah buntelan kecil dari kulit binatang.
Setelah terombang-ambing selama 2 hari, papan tersebut mendekati sebuah pulau kecil yang di lingkupi oleh awan yang berwarna kemerah-merahan. Menjelang sore papan itu di hanyutkan semakin dekat kepulau, tampak awan-awan tersebut mengambang sekitar satu meter dari permukaan laut. Papan tersebut terus di dorong oleh ombak mengarah ke pinggir pulau hingga akhirnya diam tak bergerak.
Sementara itu dari atas puncak gunung yang tinggi di pulau itu tampak dua sosok tubuh melesat dengan kecepatan seperti kilat yang sukar diikuti pandangan mata biasa. Dalam sekejap saja mereka sudah tiba di tepi pantai. Ternyata mereka adalah seorang biksu tua beralis putih dan seorang kakek tua yang berjanggut panjang.
“Omitohud, Lo-sian, tampaknya anak ini baru habis mengalami malapetaka dari lam hai ong (Raja Laut Selatan)!” Tanpa membuka mulutnya tiba-tiba terdengar suara yang nyaring dari biksu tua tersebut.
“Hahaha…benar lo-hud, selama seratus sepuluh tahun Pulau Awan Api ini tidak pernah kedatangan satu manusiapun selain kita. Akhh…agaknya Thian tak rela kalau kepandaian kita lenyap begitu saja dari muka bumi ini!” Suara yang halus keluar dari bibir kakek yang di panggil lo-sian (dewa tua) itu
Tangan biksu yang di panggil Lo-hud (Budha Tua) itu di gerakkan perlahan. Ajaibnya, tali-tali yang mengikat tubah pemuda itu terlepas dan tubuhnya melayang perlahan ke arah si budha tua yang segera memeriksa kondisinya.
“Hoho, tajam sekali matamu lo-sian. Thian memang tak rela kepandaian kita lenyap begitu saja…pemuda ini memiliki bakat dan susunan tulang-tulang yang baik sekali. Mungkin hanya dapat di temukan sekali dalam limaratus tahun”. Kembali si budha tua berseru kegirangan. Sementara itu tangannya bekerja cepat menotok sana-sini sehingga pemuda itu siuman.
Saat membuka matanya, pemuda tanggung itu kaget dan segera bangkit duduk. Kepalanya berputar kekanan ke kiri dengan pandangan mata berkilat aneh. Selang beberapa lama kemudian tatapannya terhenti pada dua sosok tubuh di depannya.
Tiba-tiba kedua tangannya terkepal dan berubah warna kehijau-hijauan, tubuhnya melesat dengan cepat ke atas setinggi tiga tombak, kemudian kesepuluh jari melancarkan sepuluh kali pukulan berhawa panas-dingin menyengat ke arah kekek tua berjanggut yang di panggil Lo-Sian.
“Heaaaaaahh…Lepaskan ciciku…!” Hawa pukulannya mencicit tajam dengan dahsyat mengarah sepuluh jalan darah di tubuh sang kakek.
“Eh, anak…apa yang kau lakukan? Siapa cicimu…?” Lo-Sian tidak kaget melihat tingkah anak tersebut, namun yang justru membuatnya kaget adalah jurus yang di pakai anak itu untuk menyerangnya.
Dari seribu banyaknya keanehan di dunia ini, mungkin adalah apa yang di hadapi oleh Lo-Sian. Betapa tidak? Salah satu dari tiga ilmu ciptaannya yang paling rahasia sekarang di pakai untuk menyerangnya. Namun dia adalah seorang tokoh angkatan tua yang sudah berusia seratus tigapuluh tahun, tidak nanti dia meladeni anak kecil seperti ini.
Mulutnya tersenyum: “Bagus, tampaknya kau sudah menguasai tujuh bagian dari ilmu Im-Yang Tok-Kiam-Ci (Jari Pedang Racun Panas-Dingin) ini…” Tangannya mengebas perlahan, tiba-tiba tubuh anak itu tertahan di udara kemudian perlahan-lahan turun ke bawah, sedangkan hawa pukulannya lenyap tak berbekas.
“Apa yang terjadi denganku…uuugghh” Saat pemuda itu hendak berbicara tiba-tiba dia merasa kepalanya sakit sekali. Di lain saat tubuhnya kembali terkulai pingsan.
“Ahh, kepalanya terguncang sangat hebat, mungkin terjadi benturan yang amat kuat sehingga membuat dia seperti ini”. Tangan si kakek tua yang di sebut lo-sian bergerak cepat mengangkat pemuda tanggung berusia lima belas tahun itu. Tubuhnya berkelebat di ikuti si budha tua ke arah puncak gunung di pulau tersebut.
Beberapa waktu kemudian, pemuda tanggung itu sadar kembali. Kali ini tidak ada lagi sinar aneh yang memancar dari matanya seperti sebelumnya. Lo-sian segera mengangsurkan sebutir buah berwarna merah kepadanya.
“Kau makanlah buah ini, ini akan menguatkanmu”
“Te…ri…ma kasih lopeh”. Pemuda itu segera mengambilnya dan mulai memakannya. Setelah memakannya, pemuda itu merasakan aliran hawa hangat di perutnya. Entah dia sadar atau tidak, otomatis tubuhnya sudah duduk bersemedi dan mengatur nafas dengan matanya di pejamkan. Hal ini membuat dua orang tua itu kagum dan mangut-mangut sambil tersenyum.
Lewat setengah jam kemudian, pemuda tanggung itu membuka matanya dan memandang kedua orang tua di depannya dengan tatapan tajam.
bersambung ke bagian 2...