Pemuda itu berwajah tampan dengan rambut riap-riapan. Baju dan
celananya dari kain kasar warna putih. Lapisan luar di tutupi dengan
jubah panjang berwarna biru tanpa lengan. Di pinggangnya terlilit ikat
pinggang selebar tiga jari yang ujungnya terdapat ukiran kepala naga
yang berkilat keemasan, sedangkan lengannya yang panjang di gulung
sampai di sikut dengan tangan kiri terdapat sebuah gelang berwarna biru
selebar tiga jari.
“Bangsat tengik dari mana cari mati berani mencampuri urusan kami…” Bentak Jarotala berang.
“Hehehe,aku hanya seorang kunyuk yang cari mati, jadi untuk apa kau
menanyakan namaku? Sayangnya kunyukpun paling suka memotes kutu-kutu
busuk yang mengganggu di tubuhnya…? Apakah kutu-kutu busuk macam kalian
tidak menyadarinya?...” Sambil tertawa-tawa, Mahesa balas memaki tak
kalah pedisnya.
Kedua kawan Jarotala yang berdiri paling dekat tak mampu menahan
kemarahan mereka. Segera keduanya mengayunkan cambuk apinya kearah
pemuda tersebut.
“Heaaaattt…..Ctarrr…..Ctarrrr…..” Cambuk-cambuk itu menyerang sang
pemuda dengan ganas. Namun hanya dengan mengengoskan tubuh satu langkah
ke samping dia telah menghindari cambuk-cambuk ganas tersebut.
“Eiiits…tidak kena! Eh, apakah kalian tidak pernah belajar cara
menggunakan cambuk dengan baik?...Alangkah bodohnya guru kalian yang
menciptakan ilmu mengusir lalat tak berguna seperti ini…hahahaha…”
“Bangsat….matilah kau bocah busuk…Hyaaaaattttt…!” Kali ini di iringi
bentakan-bentakan yang menggelegar, kedua teman yang lain segera maju
membantu untuk mengeroyok sang pemuda. Bahkan Jarotala yang tadinya
masih memeluk Rara Wulan segera melemparkan gadis itu setelah menotoknya
terlebih dahulu kemudian maju membantu keempat temannya.
Mahesa hanya tersenyum-senyum saja. Dengan menggunakan sepertiga
bagian tenaganya, dia memainkan “Jurus Langkah Siluman Naga Gila.
Akibatnya kelima lawannya menjadi bingung. Karena serapat apapun
kepungan mereka, tetap saja pemuda yang bergerak-gerak seperti orang
mabuk dan orang gila itu mampu menyelinap di antara senjata mereka.
Bahkan kadang-kadang pemuda itu lenyap dan muncul di belakang mereka
sambil menepuk tubuh mereka. Sadarlah mereka bahwa lawan mereka kali
ini bukanlah orang sembarangan
Setelah bertempur beberapa saat, Mahesa mendengar erangan kesakitan
dari kakek yang terluka parah tersebut. Pemuda ini merasa cukup
mempermainkan kelima lawannya, dengan mengerahkan jurus pertama dari
ilmu “Sengatan Tujuh Naga Neraka”, kakinya bekerja cepat membagi-bagikan
tendangan yang tak dapat di tahan oleh kelima orang tersebut. Mereka
terlempar dengan dada hancur dan kepala retak tanpa suara.
Dari tempatnya berdiri Mahesa memandang kearah mayat-mayat tersebut
dengan termangu-mangu, inilah pembunuhan pertamanya seumur hidup, dan
ini menyedihkannya. Sejenak kemudian terdengar erangan dari Rara Wulan
yang tertotok, segera Mahesa mengibaskan lengan kanannya kearah gadis
cantik itu. Seketika itu juga totokannya terlepas. Kemudian pemuda itu
mendekati Ki Ranggapati yang sekarat sambil membatin:
“Hmmm, kakek ini keracunan berat, aku tidak tahu cara
menyembuhkannya, tapi menurut guru See-Thian-Lama, gelang Cermin Petir
ini dapat menyerap racun, apa sebaiknya ku coba saja ya?...”
Rara Wulan menangis sesegukan sambil memandang dengan wajah penuh
permohonan ke arah pemuda yang telah menolong dia dan kakeknya: “Tuan
pendekar, jika kau bisa tolonglah ringankan penderitaan guruku
ini…aku…aku tak tahu harus berbuat apa lagi…”
Mahesa gelagapan. Hatinya ikut terharu melihat wajah memelas dan
penuh permohonan dari gadis cantik di depannya ini. Segera dia
membungkuk di samping Ki Ranggapati, kemudian menempelkan Gelang Cermin
Petir di lengan kirinya sambil mengerahkan tenaga menyedot pada salah
satu luka yang menganga di tubuh tua tersebut.
Anehnya, segera terlihat asap mengepul dari gelang tersebut saat
racun Kelelawar Iblis terhisap ke dalamnya. Sebentar saja semua racun
yang bersarang di tubuh kakek itu lenyap tanpa bekas sama sekali.
“Berhentilah anak muda! Terima kasih banyak atas pertolonganmu…semua racun di tubuhku sudah lenyap sama sekali.”
Mendengar seruan kakek itu, Mahesa menghentikan usahanya kemudian berkata sambil tersenyum:
“Pak tua,…bersemedilah untuk memulihkan tenaga dalammu…?”
Melihat hal ini, bukan main gembiranya Rara Wulan. Tanpa di suruh
tiba-tiba dia menjatuhkan diri berlutut di hadapan pemuda itu untuk
mengucapkan terima kasih.
“Eh jangan…” Sebelum tubuh cantik itu sempat berlutut, mendadak tubuh Mahesa lenyap dari hadapannya.
Rara Wulan terkejut, karena tubuh pemuda itu tiba-tiba menghilang
dari hadapanya. Otomatis kepalanya berputar kesana kemari untuk
mencari.
“Nona, maafkan aku, aku tidak biasa menerima penghormatan seperti itu…”
“Tapi kau telah menolong kami, tentunya aku harus mengucapkan terima
kasih padamu?” Sahut gadis itu dengan suara yang merdu menawan.
Mahesa tidak menjawab. Hanya bibirnya yang tersenyum sambil balas
menatap gadis itu sehingga membuatnya jengah. Akhirnya gadis itupun
tersenyum kemudian mendekati kakeknya.
Beberapa saat kemudian Ki Ranggapati membuka matanya dan memandang penuh selidik ke arah si pemuda.
“Anak muda, jika boleh kami tahu, siapakah engkau dan siapakah gurumu?...”
“Namaku Mahesa Geni Ki, aku seorang perantau. Maafkan jika aku tidak
dapat memberitahu siapa guruku, bukan karena ingin berlaku kurang
sopan, tapi memang beliau pernah memesan agar aku tidak boleh mengatakan
siapa namanya pada siapa saja…harap aki tidak berkecil hati?!”
“Baiklah kalau begitu Mahesa, lupakan apa yang baru ku tanyakan, aku
mengerti akan hal tersebut. Oh ya, boleh kami tahu kemana arah
perjalananmu?”
“Aku seorang pengembara ki, aku tidak punya tujuan tertentu. Namun
yang jelas ada sebuah tugas dari guruku dimana aku membutuhkan
keterangan mengenai keberadaan tiga orang yang sangat berbahaya yang
harus di basmi…entah Ki Ranggapati mengetahui atau tidak?” Mahesa
menjawab dengan wajah serius sambil menatap kearah Ki Ranggapati dan
Rara Wulan bergantian.
“Hmmm, siapakah mereka, mungkin aku pernah mendengar tentang mereka?..” sahut si Malaikat Pedang Terbang.
“Yang pertama adalah membasmi pemilik Pukulan Kelelawar iblis itu,
dan yang dua orang lagi adalah Ki Samber Nyawa yang berjuluk Dewa Maut
Bertangan Sakti dan Nyi Gandasuri yang berjuluk Dewi Asmara Seribu
Nyawa…apakah anda mengenalnya mereka Ki Ranggapati?”
Pertanyaan Mahesa membuat Ki Ranggapati kerkejut bagai di sambar
halilintar di siang bolong. Sejenak dia memandang pemuda di hadapannya
dengan tatapan hampir tidak percaya. Bagaimana tidak? Tiga orang yang
di tanyakan pemuda itu adalah momok-momok paling menakutkan dan
meresahkan dunia persilatan saat itu, dan dengan santainya pemuda ini
mengatakan akan membasmi mereka?
“Bagaimana Ki, dapatkah engkau memberi keterangan tentang mereka?”
Desak Mahesa tatkala melihat kebingungan kakek itu. Akhirnya dengan
manarik nafas panjang Malaikat Pedang Terbang itu menjawab:
“Orang yang pertama yang sedang kau cari adalah musuh yang tengah
kita hadapi sekarang. Itulah sebabnya kami menuju ke Gunung Bromo,
karena di sana akan di adakan permufakatan dari para pendekar golongan
lurus untuk mengatasi Panji Petaka Hitam yang di sebarkan oleh Pangeran
Kelelawar Iblis…”
Mahesa mengangguk tanda mengerti. “Bagaimana dengan yang dua orang lagi?”
“Meskipun aku pernah mengetahui perihal Ki Samber Nyawa dan Nyai
Gandasuri, saying sekali aku tidak dapat memberi keterangan tempat
keberadaan mereka karena mereka adalah orang-orang yang berdiri di
tengah-tengah, bukan hitam bukan pula putih, bagaikan orang-orang yang
kadang kelihatan kepala namun tak kelihatan ekornya ataupun sebaliknya.
Namun jika engkau bersedia bersama kami pergi ke Gunung Bromo, maka
kau akan bertemu dengan banyak pendekar dari seluruh tanah jawa ini,
mungkin di antara mereka ada yang dapat memberi keterangan yang kau
perlukan…Kalau kau tidak keberatan, aku mewakili para pendekar yang ada
ingin mengundangmu secara resmi untuk menghadiri pertemuan rahasia para
pendekar tanah jawa tersebut..."
"Benar Kakang Mahesa...pergilah bersama kami?” Terdengar suara Rara
Wulan yang lembut berkata pada pemuda itu dengan nada permohonan, bahkan
sudah berani menggunakan kata "kakang..." sejenak kemudian wajahnya
bersemu merah.
Mahesa menatap sejenak pada Rara Wulan, tampa sadar pemuda ini
terpesona melihat wajah cantik yang berona merah itu. Terlihat sinar
mata dara ayu itu berbinar penuh pengharapan. Akhirnya Mahesa menjawab
sambil tersenyum: “Baiklah, aku akan ikut bersama kalian…”.