DHUAAAAAAAARRRRRRRR ...!!!
Bunyi ledakan yang maha dahsyat terdengar memekakkan telinga disalah
satu lembah yang penuh dengan hawa halimun tipis di lembah pengunungan
yang terletak diantara puncak-puncak Thai San yang menjulang tinggi.
Tubuh seorang pemuda berusia enam belas tahunan tampak sedang melayang
turun dengan perlahan di atas rerumputan basah setinggi setengah
jengkal. Anehnya, walaupun rerumputan tersebut diinjak oleh kaki anak
itu tapi kalau diperhatikan lebih teliti, ternyata rumput tersebut tidak
bengkok ataupun bergoyang, atau lebih tepatnya, anak itu sedang berdiri
di ujung rumput dengan ringan sekali.
Pemuda itu bertelanjang dada, dan nampak gagah. Yang mengherankan adalah
tubuh anak itu diselimuti cahaya tipis keemasan yang kemudian,
menghilang dengan perlahan.
“Hohoho ...! Sian Kongcu, hebat ...! Hebat! Akhirnya kau dapat menguasai
pukulan Kiu Sian I Sinkang dengan sempurna! Hahaha ... ! Hebat ...!
Hebat ...!”
Si kakek setengah bongkok itu tertawa mendekati pemuda yang dipanggil Sian Kongcu (Tuan Muda Sian) itu sambil bertepuk tangan.
Anehnya, pemuda tersebut justru kelihatan tidak gembira, matanya
menyorot tajam bagai pedang sambil menatap tebing dihadapannya yang
berlubang sebesar kerbau, sedalam tujuh inci dihadapannya, namun di
balik sorotan tajam itu ada sinar ketidak puasan yang dalam.
Sampai lama akhirnya sinar mata yang tajam itu perlahan mulai lembut dan
mulutnya mengguman perlahan, “Hemmnnn, belum sempurna ...! Sama sekali
belum sempurna ...!”
“Eh, Kongcu, apa maksudmu belum sempurna? Tidakkah kau lihat tebing batu
cadas itu berlubang sebesar kerbau? Sangat jarang ada pemuda enam belas
tahunan bisa melatih tenaga dalam sampai ke tingkat itu, bahkan
tokoh-tokoh tingkat satu di Kang Ouw belum tentu dapat menyamaimu?”
Kakek bongkok itu terdiam sejenak kemudian melanjutkan dengan
bersemangat, “Apa? Tidak percuma Kongkong-mu mengoperkan tenaganya
padamu sebelum beliau mati!”
“Akhh ...! Paman Hou, Kongkong memang telah banyak berkorban dengan
mengoperkan Sinkang-nya padaku, apalagi dengan adanya darah mujizat It
Kak Liong (Naga Tanduk Satu) dan tiga buah pil penambah tenaga pemberian
Yok Sian Sianjin seharusnya hasil yang aku capai lebih dari pada hanya
membuat lubang besar ini?”
“Maksud Sian Kongcu, Kiu Sian I Sinkang bisa bisa berbuat lebih dari ini?”
“Paman Hou, paman tidak memahami ilmu ini, karena paman tidak pernah
belajar silat, tapi sebenarnya Kiu Sian I Sinkang mempunyai sembilan
tingkatan yang terbagi dalam tujuh unsur yang berdiri sendiri-sendiri
tapi bisa saling menunjang, yaitu, Tanah, Angin, Besi, Air, Api, Awan,
Petir, Getaran dan Kekosongan …! Tadi aku memang mengerahkan tingkat
kesembilan, tapi hanya sampai unsur Awan, kalau aku sudah mencapai
tingkat “Kekosongan” sesuai kehendak, maka barulah aku dapat merasa
puas!”
Setelah berkata demikian, pemuda itu tertunduk sambil termenung.
“Sian Kongcu, memangnya apa kelebihannya kalau sudah sampai tingkat
kekosongan?” Desak kakek bongkok itu sambil menunjukkan wajah penasaran.
Perlahan pemuda itu mengangkat kepalanya dan sambil tersenyum misteri
dia menjawab kalem, “Tak terbayangkan paman! Tak terbayangkan ...!”
Terus saja Sian Kongcu melangkah meninggalkan tempat itu menuju ke
sebuah guha yang besar agak tersembunyi di lereng lembah itu, beberapa
saat kemudian kakek itu pun berlalu dengan menggeleng-gelengkan kepala.
Ketika pemuda itu telah berada di dalam gua, segera dia menuju kearah
peti besar di sudut sebelah kiri, setelah berlutut dan menyembah tiga
kali, dia mendorong peti besar tersebut, sehingga nampaklah lorong
panjang dengan anak tangga yang menurun ke bawah.
Pemuda itu berjalan ke bawah, terus mengikuti alur jalan yang
berkelok-kelok hingga sampailah dia di tempat yang paling dalam dan
jarang udaranya.
Ternyata itu adalah sebuah kuburan kuno yang terletak sangat jauh di dalam bumi.
Di dalam kuburan itu ada kerangka tiga orang yang sedang duduk bersila.
Dan di depan ketiga tengorak tersebut ada satu peti yang terbuka,
didalamnya ada tiga jilid kitab kuno yang sudah lusuh warnanya.
Pemuda itu merongoh kantong sakunya dan mengeluarkan sejilid kitab lain
yang terbuat dari bahan sama bertuliskan Kiu Sian I Sinkang (Tenaga
Jubah Sakti Sembilan Dewa ), lalu berlutut dengan sebelah kaki sambil
tangannya meletakkan kitab itu menjadi satu dengan kitab-kitab lainnya.
“Samwi Suhu, Teecu Han Sian mengembalikan ketiga kitab ini untuk
disimpan kembali ... Ijinkan Teecu menguburkan Samwie Suhu dengan
layak.”
Setelah berkata demikian, Han sian mengangkat tangan kanannya dengan
lima jari terbuka dipukulkan ke Langit-Langit guha dengan perlahan, tapi
hasilnya sungguh diluar dugaan, guha itu bergetar keras dan ambruk.
Di lain saat tubuh Han sian melesat dengan langkah-langkah aneh namun
cepat sehingga hanya dalam dua kali kedipan mata, dia telah berada
diluar, di pinggir lembah sambil membelakangi guha yang hancur dan
menutupi mulut guha.
Siapakah sebenarnya Han Sian ini? Dia sendiri pun tidak mengetahui dengan jelas akan keadaannya.
Sejak umur lima tahun Han Sian sudah ikut dengan seorang kakek tua renta yang dia panggil dengan nama Bhok Kongkong.
Kakek itu sudah tua sekali, berusia 80 tahunan. Selama ini kakek itu
sering bepergian, dan hanya muncul pada sore sampai menjelang pagi saja
untuk melatihnya ilmu silat.
Namun sayang hampir tiga tahun yang lalu kakek itu telah meninggal dunia
setelah selesai membantu mengalirkan “Tenaga Inti Petir Murni” pada Han
Sian selama tiga jam.
Hal ini membuat penyesalan yang amat dalam bagi anak muda ini, tapi
menurut Kongkong-nya itu adalah hal yang wajar karena ilmu Inti Petir
Murni yang dia latih, memang harus melalui mengoperan tenaga Sinkang
seperti itu.
Sesaat sebelum Kongkong-nya meninggal, Han Sian hanya diberi tahu
tentang sebuah goa penyimpanan pusaka yang tersimpan di dalam kuburan
kuno yang letaknya di dasar bumi.
Menurut Kongkong-nya, selama ini tidak ada orang yang mengetahui tempat
itu selain dia dan pembantunya, yaitu si kakek bongkok yang membesarkan
Han Sian, karena mereka berdua memang bertugas menjaga tempat itu hanya
saja dilarang untuk memasukinya.
Dari situlah Han Sian mendapatkan ketiga kitab peninggalan para tokoh
dewa yang telah hilang dari dunia persilatan selama 500 tahun lebih.
Tapi menurut petunjuk, Han Sian hanya boleh mempelajari isi kitab itu
selama dua tahun dan kemudian harus menguburkannya bersama dengan
kerangka-kerangka dalam kuburan kuno tersebut.
Keempat kitab pusaka yang ditemukan oleh Han Sian berisi tiga rahasia
Ilmu silat tingkat tinggi dan dua Ilmu pusaka gaib yang sudah hilang
dari dunia persilatan selama kurang lebih 500 tahun lalu.
*****
“Tebing Langit” adalah suatu puncak yang menjulang ke atas diantara
jajaran Puncak Thai San. Puncak dari tebing ini sangat tinggi sehingga
sangat sukar sekali untuk ditempuh, kecuali oleh orang yang memiliki
tenaga sakti yang amat kuat saja.
Disanalah Han Sian berdiam selama ini bersama dengan seorang kakek bongkok yang selalu menemaninya.
Hari telah lewat tengah hari dan mulai menjelang sore, keadaan di atas
puncak itu hampir tanpa udara sama sekali namun sudah biasa bagi Han
Sian dan kakek bongkok yang selalu menemaninya.
Segera setelah berpamitan dengan pengasuhnya itu, yang melepas
kepergiannya dengan berat hati, Han Sian mulai bersiap menuruni ”Tebing
Langit”.
Selama dua tahun terakhir ini Han Sian tidak pernah menuruni Tebing
Langit tersebut. Setelah memandang sekilas ke bawah yang nampak hanya
seperti titik kecil saja, Han Sian mulai mengerahkan tenaga kearah kaki
dengan pengerahan ilmu Thian In Hui Cu (Terbang Menunggang Awan Langit),
dan perlahan-lahan tubuhnya terangkat ke atas dan kemudian meluncur ke
bawah dengan ringan.
Sekian lama tubuh Han Sian meluncur ke bawah dan ketika hampir mencapai
bumi, tangannya dipukulkan ke bawah dengan perlahan dan muncul
segulungan kabut berbentuk awan di bawah kakinya yang menahan laju
tubuhnya sampai mendarat perlahan di tanah.
Han Sian lalu mengedarkan pandangannya ke sekeliling dan dia terkagum menyaksikan keindahan pemandangan yang nampak.
Namun mata Han Sian tertarik dengan suara riak air yang segar dari
sungai kecil di sebelah kirinya. Dan dalam sekejap dia telah menceburkan
dirinya tanpa melepaskan pakaian.
Hati Han Sian senang sekali, seperti burung yang baru lepas dari
sangkarnya. Sampai lama tubuhnya terendam dalam air dengan posisi
terlentang sambil tiduran.
Hebat, ternyata Han Sian memiliki kekuatan menahan napas yang luar biasa sampai berjam-jam.
Sampai lama Han Sian tidur terlentang di dasar sungai sambil menikmati
keindahan isi sungai, tiba-tiba matanya terbeliak dengan sinar mata
terkejut.
Ternyata mata Han Sian menangkap gerakan “ikan besar” yang sedang
berenang, namun bukan ikan, karena yang satu ini memiliki keunikan
ganjil yang belum pernah Han Sian lihat sebelumnya.
“Ikan besar” itu mirip seperti dia, memiliki dua kaki dan dua tangan
yang bergerak-gerak indah meraup air sambil meluncur ke depan.
Saat Han Sian memperhatikan lebih seksama, hatinya berdebar keras. Kedua
kaki itu nampak indah dan padat, bergerak-gerak teratur memukul air
disekelilingnya.
Yang lebih membuat Han Sian terbelalak ialah kedua tangan dan kaki itu
ternyata milik sebuah tubuh yang indah, polos tanpa pakaian sama sekali
sehingga setiap lekuk dari sela paha, pinggang yang ramping dan dada
yang bulat serta padat itu terlihat nyata sekali.
Bagaikan tersihir, seluruh tubuh Han Sian tiba-tiba menegang dan
mengeluarkan hawa panas yang segera membuat air di sekitarnya serasa
mendidih.
Hal mana tentunya menarik perhatian gadis yang sedang berenang tersebut.
Sekejap si gadis memasukkan kepalanya ke dalam air dan ini membuatnya
sangat terkejut sekali.
Han Sian melihat dengan mata terbelalak mulut gadis itu terbuka seperti
hendak mengatakan sesuatu. Dengan gerakan kilat tak lama kemudian gadis
itu sudah naik ke darat.
Dengan perlahan Han Sian membiarkan tubuhnya terangkat sampai mumbul di
permukaan. Dilihatnya gadis yang bertelanjang sudah mengenakan kembali
bajunya dengan agak sedikit awut-awutan. Sementara Han Sian hanya
memandang dengan kagum, gadis itu berdiri membelakanginya.
Tubuh Han Sian kemudian melayang mendekat. Baru saja dia hendak menyapa,
tiba-tiba dia mendengar suara berdesing pedang yang tajam menyambar
kearah kepalanya. Tentu saja dia terkejut, tapi dengan hanya menggeser
kakinya setengah langkah, pedang itu lewat di samping.
“Eh ... eh ... nona tung …!”
“Dasar, laki-laki ceriwis, hidung belang …! Rasakan pedangku …!”
Sambil terus memaki si gadis menyerang lebih ganas lagi. Kali ini ujung
pedangnya membuat tiga kali tusukan berantai dengan jurus “Tiga Tikaman
Berantai”, salah satu dari tujuh belas ilmu sakti warisan Kun Lun Pay. Tapi dengan mudah kembali Han Sin menghindarinya.
“Eh, nona, apakah salahku? Mengapa engkau begitu bernafsu mau membunuhku?”
Merasa dipermalukan, dan menyadari dirinya tidak dapat berbuat apa-apa
kepada pemuda yang ada didepannya itu, gadis itu tiba-tiba melemparkan
pedangnya ke tanah, kemudian dia menangis terisak sambil kedua tangan
menutup ke muka.
“Huuuu ...! Huuu ...! Huuu …! Kau menghinaku dengan melihat tubuhku, tapi masih juga mau mempermainkanku! Huuu ...! Huuu .. !”
Demi mendengar hal itu dan melihat nona itu menangis, Han Sian kemudian
maju perlahan sambil tangannya bergerak ke kanan, kearah pedang gadis
tersebut, dan dalam sekejap pedang itu sudah melayang perlahan
ketangannya.
“Nona, maafkan kalau aku sudah bersalah kepadamu! Sungguh aku tidak
sengaja, sudah satu jam setengah aku tiduran di dasar sungai sambil
menikmati keindahan dasar sungai sampai …!”
Dengan sedikit ragu Han Sian lanjutkan, “Sampai nona muncul ... dan
sekarang kalau nona mau menggunakan pedang ini, silahkan ...! Saya tidak
akan melawan atau menghindar!”
Berkata demikian Han Sian mengacungkan pedang pendek itu kearah gadis itu sabil terus memandang dengan penuh penyesalan.
Gadis itu perlahan menurunkan tangannya dan memandang kearah pedangnya dengan terbelalak.
Sungguh indah mata dan wajah yang ayu itu dalam pemandangan Han Sian sehingga dia tertegun sambil menatap kagum.
“Kau, benarkah kau tidak akan melawan ...?” Tanya gadis itu dengan
pandangan penuh selidik untuk memastikan sambil meraih pedangnya dan
mengangkat tinggi di atas kepala.
“Ya nona, kalau kau suka, kau boleh berbuat apa saja ...! Aku tidak akan melawan!”
Sambil berkata demikian, Han Sian balas menatap mata itu penuh kagum.
Cantik sekali, mungkin ini pertama kalinya Han Sian bertemu dengan gadis
secantik ini diusianya yang sudah enam belas tahun tersebut.
Tangan gadis itu yang memegang pedang yang terangkat tinggi tiba-tiba
lemas ke bawah. Dia sendiri tidak habis mengerti, dan walau dia coba
untuk mengerti tetap juga tidak mengerti.
Pemuda didepannya ini menatapnya dengan tajam, namun lembut. Sudah
banyak kali dia melihat tatapan mata para pria hidung belang yang kurang
ajar, tapi tatapan ini pada hakekatnya lain dari yang lain. Tidak ada
sinar kekurang ajaran, tatapan yang tajam namun penuh penyesalan itu
menampakkan kekaguman dan membawa kehangatan.
“Eh bagaimana nona …?“ Han Sian bertanya lembut. Tak dapat disangkal muka Han Sian memerah, saat melihat tatapan gadis itu yang menatapnya bengong.
“Mengapa nona tidak melanjutkan serangan ...?”
Seperti baru bangun dari sihir, gadis itu tersentak, sekejap mukanya
memerah. Yah, hakikatnya dia tak dapat berkata apa-apa. Seharusnya dia
marah, tapi entah mengapa, perasaan marah tadi telah sirna dan hilang
tanpa bekas.
“Ohh ...? Tidak ...! Tidak ...!”
Berusaha menyembunyikan perasaan hatinya, si gadis melanjutkan, “Hmmm
...! Engkau telah mengakui, lagi pula itu memang bukan salahmu, aku saja
yang lagi sial!”
Sekejap kemudian gadis itu telah membalikkan diri dengan kepala
tertunduk. Diam sambil menunggu, tanpa mengeluarkan suara, dan memang
tidak ada yang perlu Han Sian katakan lagi, tindakannya itu saja sudah
lebih dari cukup.
Han Sian berdiri perlahan sambil tersenyum, kemudian bertanya perlahan,
“Nona, terima kasih atas kebaikan hatimu, namaku Han Sian, aku baru saja
turun gunung dan masih kurang pengalaman. Bolehkah aku mengetahui nama
nona?”
Gadis itu mengangkat kepala. Dalam hatinya sebenarnya berterima kasih
atas sikap pemuda itu yang memecahkan kekakuan diantara mereka.
“Aku ... aku Cu In Lan,” Pendek saja, namun diiringi senyuman yang
manis. Senyuman yang mengatasi semua kebekuan dan menjadikan suasana
lebih hangat serta menyenangkan.