Laman

Jumat, 12 April 2013

Thian-Liong Cap-sha-yang-kiam-sut

Gadis itu tersentak dari lamunannya. Sejenak dia menatap Han Sian dengan tajam. Sesaat kemudian dia tersenyum dan berdiri.
“Benarkah yang di katakan Iblis itu tentang mu? Bahwa...bahwa kau adalah...adalah...” Suaranya agak ragu. “...Pendekar itu?...”
Han Sian menatap gadis itu sejenak kemudian membalas: “Akhh...itu hanyalah suatu nama pemberian orang...Ee...eehh?!”
Han Sian terkejut dan tidak melanjutkan kata-katanya karena gadis itu tiba-tiba saja menjatuhkan diri di hadapannya dengan wajah yang terlihat sedih.
“Eh.. nona ada apakah?”
“Aku Sim Hong Lian, murid ke tiga dari suhu It-Gan Kim-Liong (Naga Emas Bermata Satu) yang menjadi ketua Kim-liong-Pay.” Dia terdiam sejenak sambil menarik nafas panjang kemudian melanjutkan dengan perlahan.”...Kim-Liong-Pay kami hidup damai dan selalu tertutup dari dunia luar. Tapi satu bulan terakhir ini telah muncul seorang Iblis yang sangat sakti yang mengambil alih Kim-Liong-Pay. Bahkan suhupun tak kuat menandinginya dan di kalahkan hanya dalam lima jurus saja. Orang yang baru mati ini adalah salah satu dari tangan kanannya yang sangat sakti...”
Han Sian tertarik “Siapakah Iblis yang kau maksudkan itu?...”
“Di Kami tidak tahu namanya, dia datang bersama dengan seorang wanita cantik
Saat itu mulai menjelang sore, Han Sian menawarkan untuk mengantarkan Hong Lian menemui Ui-I Liong-Jin yang kemudian di sambut baik oleh sang gadis.
“Berapa jauhkah waktu yang di butuhkan untuk tiba di tempat Ui-Liong susiokku itu?
“Kalau kita berangkat sekarang dengan kuda, akan tiba menjelang pagi...” Sahut Han Sian menjelaskan dengan tenang.
“Ahk...adakah cara yang lebih cepat?...”
“Mungkin bisa kurang dari tiga jam...tapi...?” Han Sian agak ragu mukanya memerah karena jengah.
“Kalau begitu, kita tempuh saja cara itu, dan sekali lagi aku mengucapkan terima kasih atas kebaikanmu... ” Hong Lian berdiri sambil tersenyum senang. Kembali hendak di lanjutkan perkataannya tapi matanya kemudian di kernyitkan saat melihat pemuda itu diam saja dengan muka merah.
“Eh, kau mengapakah?...”
“Ahh, tidak ...hanya...hanya saja kalau mau mempercepat waktu, artinya aku harus menggendongmu?” Han Sian risih, namun tetap di tatapnya gadis cantik di depannya ini dengan tatapan ragu-ragu sambil menunggu reaksi si gadis. Sesaat kemudian gadis itu menunduk malu, tapi suaranya keluar perlahan, hampir tidak terdengar.
“Hemm...kalau memang hanya itu, terserah, aku...aku menurut saja, tapi bagaimana dengan suhengku? Apa kau juga melihatnya?” Hong Lian menjawab terbata-bata sambil mengalihkan topik pembicaraannya pada hal yang lain. Namun sesungguhnya hatinyapun bergetar tidak karuan.
“Ya, aku melihatnya, dia memang terluka namun masih dapat bertahan...biar ku tengok dia sebentar, kau tunggulah...” Belum habis gema suaranya, tiba-tiba orangnya sudah lenyap dalam sekejap. Hong Lian terkejut dan melongok ke kanan-kiri untuk mencari bayangan pemuda itu.
Tak lama kemudian, dalam dua kali tarikan nafas saja, tubuh yang tadinya lenyap sudah muncul seperti asap saja di depannya.
“Sudah ku cari dalam radius 200 kaki tapi tidak ada. Ku pikir dia akan baik-baik saja karena ada orang pandai yang menolongnya. Aku hanya menemukan kelima mayat pengeroyoknya mati dengan tubuh terkena pukulan bertenaga dalam tinggi.” Han Sian memberitahukan hasil penelitiannya dalam dua kali tarikan nafas tersebut.
Hong Lian hanya menatapnya dengan tatapan setengah tak percaya, tapi juga setengah kagum. “Baiklah, semoga dia tidak apa-apa, kalau begitu marilah kita pergi menemui susiokku dulu”. Meski mulutnya berkata demikian namun toh hatinya gundah juga memikirkan keadaan suhengnya itu. Namun segera di kuatkan hatinya.
“Baiklah, kalau itu kemauanmu nona, marilah...” Berkata demikian, tangan Han Sian terulur merangkul pinggang gadis itu dan di lain saat tubuhnya berkelebat cepat bagaikan hembusan angin dengan ilmu Thian-In Hui-cunya atau Terbang Menunggang Awan Langit.
***
Liong-kok-san, adalah sebuah tempat yang indah dengan pemandangan alamnya. Tidak ada lain yang membuat tempat ini unik selain bentuknya yang memanjang seperti naga yang sedang tidur. Puncaknya yang tinggi selalu di tutupi oleh kabut, meskipun di siang hari sehingga menjadikan tempat tersebut menjadi istimewa.
Seorang kakek tua berambut putih panjang di biarkan riap-riapan nampak sedang duduk bersila di atas sebuah batu. Wajahnya masih tampak gagah walaupun usianya sudah mendekati 80-an. Sinar matanya mencorong tajam menandakan tenaga dalamnya sudah amat tinggi.
Di tangan kakek itu memegang sebuah pedang pendek tipis yang gagangnya terbuat dari emas berbentuk kepala naga. Kakek ini bukan lain adalah Ui-I Liong-Jin, penghuni puncak naga ini. Selama bertahun-tahun memang hanya ada satu atau dua orang yang mengetahui tempat persembunyian manusia sakti ini. Bahkan sutenya sendiri It-Gan Kim-Liong, tidak tahu kalau selama ini, sudah 5 tahun, dia menetap di Liong-kok-san tersebut. Itu lah yang menyebabkan sampai sebegitu jauh mencari, tetap Sim Hong Lian dan suhengnya tidak dapat menemukan kakek tersebut.
Kakek itu menggerak-gerakkan tangannya dengan gerakan lambat saja, tapi anehnya ujung pedangnya terlihat berkelebat amat cepatnya tanpa suara, tanpa meninggalkan bayangan dan menusuk, membabat ke segala arah. Kadang-kadang tenaganya seperti mengurung dan membetot lawan dari segala penjuru, tapi kadang juga berubah dari ujung pedang keluar tenaga yang mendesak untuk memecah tenaga lawan ke segala penjuru. Inilah ilmu pedang ciptaannya yang di beri nama Thian-Liong Cap-sha-yang-kiam-sut (Ilmu Pedang Tiga belas Titisan Naga Langit) yang dahsyat.
Ilmu ini adalah hasil keyakinannya selama bertahun-tahun merantau di sekitar pegunungan Himalaya dan Thai-san.
Saat kakek ini mulai memasuki puncak pengerahan ilmunya, tiba-tiba terdengar suara perlahan berbisik kuat di telinganya.
“Ah, Ui-locianpwe, belum pernah ku lihat ilmu ini...biarlah ku mencobanya...” Kakek itu terkejut karena belum habis gema suara hilang dari telingannya, bagaikan asap saja, di depannya telah muncul seorang pemuda tampan yang masih muda yang mulai membalas menyerangnya dengan sentilan-sentilan sepuluh tenaga jari pedang yang halus, tajam dan amat kuatnya.
Dia kenal siapa pemuda tersebut mereka bertemu karena sedah beberapa kali pemuda itu datang berkunjung. Dia tau pemuda ini memiliki Ilmu sakti tapi mereka memang belum pernah bergebrak satu-dua jurus sebelumnya. Kini menyaksikan pemuda itu dapat seenaknya menerobos ke dalam lingkaran hawa pedangnya yang dahsyat tanpa terluka, bahkan dari serangan yang di lancarkannya dia tahu tenaga pemuda itu tidak berada di bawahnya, kakek tersebut jadi bersemangat. Dia segera memutar pedangnya tanpa ragu lagi.
“Hahaha...Sian-sicu, tiada nyana kau punya ilmu sehebat ini? Mari-mari layani lohu bermain-main sebentar...”
“Akhh...segala jurus tusuk jarum begini mana boleh di banggakan, mohon kemurahan Ui-locianpwe untuk tidak menurunkan tangan keras...” han Sian membalas kalem sambil tangannya memainkan Bu-Tek Chit-Kiam-ciang. Hawa pedang dari ke sepuluh jarinya bergantian menyerang tak kalah hebatnya mendesak permainan pedang lawan, sementara pengerahan tenaganya menciptakan medan tenaga yang membungkus mereka berdua sehingga tidak ada hawa pedang yang nyasar.
Hebat sekali akibat yang di hasilkan oleh pertarungan ke dua tokoh kosen ini. Sekilas nampak mereka seperti sedang bertarung dalam sebuah balon kasat mata. Hawa pukulan mereka yang tajam membentuk lingkaran yang hanya memantul di sekeliling mereka tanpa menyebar ke luar arena. Keadaan ini sangat berbahaya karena keduanya tidak hanya harus menjaga ancaman serangan dari depan, tapi juga pantulan tenaga dalam yang di pantulkan oleh dinding kasat mata di sekeliling mereka.
Lewat limapuluh jurus, keadaan yang tadinya sama kuat, mulai berubah. Ui-I Liong-Jin mulai berkeringat. Perlahan tapi pasti, mulai terlihat siapa yang lebih unggul. Han Sian sendiri tidak terlalu kesulitan. Sejauh ini dia baru mengerahkan 70 persen tenaganya dan memainkan Bu-Tek Chit-Kiam-ciang sampai empat jurus berturut-turut, yaitu jurus-jurus: Ang-In-Kiam-Cu (Jalur Pedang Awan Merah), Hoa-jian-Kiam-Cu (Jalur Pedang Seribu Bunga), Sui-ciam-kiam-cu (jalur Pedang Jarum Air) dan Hong-Lui-Kiam-cu (jalur Pedang Angin Petir) namun akhirnya kakek di depannya ini hampir tidak kuat menahannya. Segera dia mengendurkan serangan dan menarik perlahan medan tenaga yang menahan hawa pedang mereka sehingga tidak menyebar. Kemudian sambil membentak keras, dia melompat mundur sambil menjura.
“Ui-locianpwe, maafkan kekurang ajaran siauetee...”
Kakek itu mengatur peredaran darahnya sehingga tenang kembali. Hatinya terkejut bukan main. Tadinya dia sangat membanggakan kehebatan ilmunya karena selama ini belum pernah menemukan tandingannya. Bahkan dengan pengalamannya selama ini, membuat dia bisa berandeng bersama dalam kelompok enam Su-Sian-Cu (Empat Dewa) yang sangat sakti, dan meski lima iblis dan empat partai sesatpun tidak akan dapat berbuat banyak terhadapnya. Tapi anak muda di depannya ini membuka lebar-lebar matanya. Ternyata di atas langit-masih ada langit.
Han Sian tahu kegundahan hati orang, segera dia coba menghibur.
“Ui-locianpwe, sesungguhnya semua ilmu-ilmu dahsyat yang siauwte pelajari ini semua adalah peninggalan dari para manusia dewa yang telah hilang 500 tahun yang lalu...” han Sian lalu menyebutkan tiga nama tokoh yang membuat Ui-Liong Sian-Jin terkejut setengah mati. Karena nama-nama seperti “Dewa Tidur, Dewi Seribu Pedang dan Dewa Penyangga langit” adalah tokoh-tokoh legenda yang ada bagaikan dongeng sejak dia kecil.
“Wah...wah...wah...pantas saja kalau begitu. Sesungguhnya kau sangat beruntung Sian-sicu karena semuda ini sudah mewarisi ilmu-ilmu yang dahsyat seperti itu. Wah bakal rame dunia persilatan nanti kalau ada orang-orang muda seperti engkau”
Setelah berkata demikian, kakek itu mengalihkan pandangannya dengan penuh selidik ke arah gadis yang sejak tadi berdiri tak jauh dari mereka berdua.
“Ahh, Ui-Locianpwe, nona itu adalah murid keponakanmu, dia murid dari mendiang locianpwe It-Gan Kim-Liong...”
“Mendiang...??? Kakek itu terkejut. Tak kuasa Hong Lian menahan air matanya dan sesaat kemudian dia sudah menjatuhkan diri di hadapan susioknya itu sambil sesegukan sedih.
Perlahan Ui-I Liong-Jin mengangkat bahu gadis itu. “Ceritakanlah semua yang kau ketahui.”
Hong Lian menenangkan dirinya dan kembali secara singkat dan jelas, dia menceritakan semua yang terjadi kepada susioknya itu. Tentang pengambil alihan “manusia iblis” yang sangat sakti, dan semua kisah perjalanannya sampai dia bertemu dengan Han Sian yang menyelamatkannya.
“Hemmn...tahukah kau siapa “Iblis” tersebut?”
“Tidak tahu“ Gadis itu menggelang kepala. Kami hanya tahu bahwa dia mahir menggunakan pedang..
Setelah mendengar semua cerita itu, sang kakek terdiam. Agak lama akhirnya dia menarik nafas panjang.
“Sebenarnya sudah sepuluh tahun ini meninggalkan segala urusan-urusan dunia seperti ini...” matanya menerawang jauh ke depan.
Han Sian melihat kegundahan hati si orang tua. Dia lalu berkata perlahan dengan ilmu mengirimkan suara jarak jauh.
“Ui-locianpwe, jika kau dapat melatih dan mewariskan ilmumu pada nona ini, masakan dia mudah di permainkan lagi....”
Kakek itu mengangguk-angguk kemudian menatap Hong Lian. “Aku sudah berjanji untuk tidak turun gunung. Soal masalah Kim-Liong-Pay, rasanya bila Sian-sicu sudah menyanggupi, pasti tidak akan ada halangan lagi. Bagaimana Sian-sicu? Apakah ide ini kurang bijaksana?”
Han Sian hanya tersenyum. Kakek itu kembali melanjutkan dengan suara tegas. “Sedangkan kau, kau hanya boleh tinggal selama satu tahun di tempat ini untuk mewarisi ilmu-ilmuku, apa kau sanggup?”
Tanpa terasa berlinang air mata si gadis. “Terserah susiok saja, Hong Lian hnya menurut saja.”
Demikianlah sejak saat itu Hong Lian tinggal di Liong-kok-sian mulai mempelajari ilmu-ilmu kakek gurunya dengan tekun. Ui-I Liong-jin juga tidak tanggung-tanggung menurunkan ilmunya, bahkan juga membantu dengan penyaluran tenaga dalam ke tubuh gadis itu.
Sementara Han Sian hanya satu minggu saja tinggal di Liong-kok-san. Selama itu hubungannya dengan Hong-Lian makin akrab dan manis. Dia juga membantu gadis itu dengan membuka semua peredaran darahnya dengan penyaluran tenaga Inti Petir murni seperti yang dia lakukan pada Cu In Lan dulu. Dan ini sangat berguna bagi Hong-Lian kelak.
Setelah genap satu minggu, akhirnya dengan berat hati, Hong-Lian melepas kepergian Han Sian.
“Sian-Koko...hati-hatilah...” Nampak matanya setengah mengambang dengan air mata. Sesungguhnya hatinya sudah terpaut pada pemuda ini. Cuma tetap masih sukar baginya untuk mengungkapkan secara berterang karena selama ini Han Sian juga tidak pernah mengatakan perasaan hatinya. Hanya saja sikap pemuda itu padanya sangat baik dan juga mesra.
Han Sian juga bukanlah orang bodoh. Dia tahu gadis ini sangat perhatian padanya. Entah kenapa, diapun merasakan bahwa perasaan yang dia miliki kepada gadis ini sama hangatnya seperti yang dia miliki pada Cu In Lan, gadis yang dia tidak tahu di mana sekarang.
Di bawah cahaya rembulan malam itu, dia melihat wajah gadis itu sangat cantik sekali dengan kulit putih mulus dan tubuh langsing dan padat menggairahkan. Perlahan, namun pasti, tangannya terulur pada pinggang sang gadis dan di lain saat tubuh mereka saling mendekap erat dengan bibir berciuman mesra. Sementara bibir mereka saling memagut hangat, tangan Han Sian meremastubuh gadis itu di bagian pinggul, pinggang sampai ke buah dada yang padat kencang itu. Reaksi Hong Lian juga tak kalau serunya. Di samping merangkul dengan pasrah, dari mulutnya tak henti mengeluarkan erengan manja.
Namun situasi seperti itu tidak berlangsung lama. Han Sian segera menyadari keadaannya. Sontak dia melepaskan rangkulannya dan melompat mundur. Dia melihat keadaan gadis itu dengan pakaian yang nyaris terbuka. Hatinya menyesal sekali.
“Ehh, kau...kau kenapakah Sian-koko?...”
“ Akhhh...Lian-moi, maafkan aku...aku tak bermaksud untuk tidak menghormatimu...”
Gadis itu memandang dengan mata penuh selidik.
“Aihhh, Sian-koko, engkau tidak sedang mempermainkanku bukan...?”
“Tidak-tidak, sungguh, aku sangat menyesal melakukan ini padamu...karena aku menghormatimu dan...dan...juga menyukaimu” Han Sian tergagap menjawabnya.
Tatapan gadis itu menjadi lembut kembali. Perlahan dia merapikan bajunya sambil berguman kepada diri sendiri.
“Ahh, aneh...seorang Pendekar Asmara yang alim...”
“Hemnn...kau benar Lian-moi, aku memang Pendekar Asmara yang alim pada gadis manis sepertimu...” selesai berkata demikian tubuhnya kembali mendekat dengan cepat dan di lain saat sudah mengecup bibir gadis itu sambil kemudian berkelebat pergi. “Sampai jumpa lagi Lian-Moi...”
Hong Lian masih berdiri kaku, seperti tidak sadar. Perlahan kemudian dia sadar dari lamunannya tatkala terdengar suara susioknya memanggil.
---
Han Sian berkelebat cepat. Dia telah mendapat informasi yang jelas dari Hong Lian tentang Kim-Liong-Pay dan sekarang dia sedang menuju ke tempat itu. Setelah menempuh perjalanan selama dua hari, akhirnya dia mendekati sebuah telaga yang menjadi markas partai tersebut.
Keadaan telaga itu sangat unik. Di tengah-tengahnya di kelilingi hutan yang sangat lebat sehingga tidak mudah untuk menyelidiki tempat itu. Airnya yang berwarna kuning pekat membuat telaga itu di sebut “Telaga Naga Kuning”. Tidak ada jalan lain untuk ke tempat itu selain menggunakan perahu. Dan tentu saja semua yang menggunakan perahu akan sangat mudah terdeteksi oleh para penjaga di seberang telaga tersebut.
Han Sian menunggu cuaca mulai menjelang malam sehingga tidak mudah terdeteksi. Dia tahu bahwa tempat seperti ini pasti banyak penjaganya. Segera ia mengerahkan Thian-in Hui-cunya. Tubuhnya melesat ke udara dengan kecepatan yang sulit di ikuti mata biasa. Setelah di udara, tangannya di pukulkan ke udara sehingga membentuk awan tebal sebesar tubuh orang dewasa. Saat kakinya hinggap di awan dan menutuk, kembali tubuhnya melesat cepat dan mendarat manis di atas sebuah pohon tinggi di seberang telaga itu.
Ada banya penjaga yang menjaga, tapi satupun tak ada yang melihat kedatangannya. Bahkan menyadarinyapun tidak. Tempat itu sangat luas. Han Sian berkelebat sangat cepat sehingga para penjaga hanya mengira itu burung walet yang sedang terbang.
Setelah sekian lama, akhirnya tibalah Han Sian di bagian belakang dari markas Kim-Liong-Pay tersebut. Tempat itu agaknya hanya di jaga oleh satu dua orang saja dan mirip sebuah taman yang indah.yang di hiasi dengan lampion-lampion berbentuk naga.
Dari atas sebuah pohon, mata Han Sian yang tajam melihat bayangan seorang wanita yang bertubuh indah sedang duduk sendiri di pinggi sebuah kolam ikan. Wajahnya belum terlalu jelas karena gadis tersebut sedang menunduk. Namun ketika dia memperhatikan terus, dia sangat terkejut, Di pinggang gadis itu mengenakan ikat pinggang putih yang di ujungnya di gantungi sebuah stempel kecil yang berukiran “Sian”.
Dia sangat kenal dengan stempel dan juga ikan pinggang putih tersebut, karena kedua benda itu adalah hadiahnya pada seseorang dua tahun yang lalu. Setelah memandang kekanan-kekiri untuk memastikan situasi. Tangannya bergerak ke arah tiga orang penjaga yang dia lihat sedang bersembunyi. Dilain saat mereka semua kaku tanpa mengeluarkan suara. Tubuhnya kemudian berkelebat di belakang gadis itu.
“Lan-moiii...???”