Laman

Jumat, 12 April 2013

Darah di Eng-Hiong Tai-Wang-gwe

Dengan cepat ke sepuluh orang muda ini bergerak secara rahasia sambil mengenakan kerudung Putih, melaksanakan tugas mereka untuk mengamarkan para pendekar agar bersiap menghadapi para kaum sesat yang mencoba menyusup dalam pertemuan besar di Puncak Awan Putih di Wu-Yi-san nanti. Di samping itu berulang-ulang ke sepuluh orang ini mengadakan bentrokan-bentrokan kecil dengan ke empat perguruan sesat di bawah pimpinan Jit-Goat-Kauw tersebut. Sehingga dalam waktu singkat ke sepuluh orang ini di kenal dengan nama “Kangouw-hiap-wi” (Para Pengawal Kangouw).
Hari menjelang pagi memasuki waktu pertemuan besar antara para pendekar. Puncak Awan Putih yang dingin terselimuti kabut yang menutupi hampir seluruh bagian puncak tersebut sehingga tidak nampak dari bawah gunung.
Namun suasana ini tidak dapat menutupi gerakan orang-orang yang bergerak naik ke atas bukit tersebut. Baik secara berkelompok ataupun sendiri-sendiri. Bukan hanya dari ke tigapuluh enam partai partai besar/kecil yang hadir, tapi juga enam keturunan keluarga besar yang hanya mengirimkan satu atau dua orang utusan mereka yaitu, keluarga Suma dari Pulau Es, keluarga Lu dari Pulau Daun Putih, keluarga Keluarga Yang dari Kuburan Kuno, keluarga Kiang dari Lembah Pualam Hijau, keluarga Khu dari puncak Sian-Thian-san dan keluarga Thio dari Pulau Phonix, dari partai-partai kecil lainnya dan 5 perkumpulan pengemis yang tersebar dari Kwitang-Pakhia.
Suasana ramai saat itu namun juga tidak lepas dari sikap waspada yang tinggi dari tiap-tiap orang yang hadir. Jumlah keseluruhan yang hadir kurang lebih tiga ratus orang. Tampak juga di antaranya hadir juga para tokoh-tokoh tua, para ciangbunjin dan murid-murid pilihan mereka.
Menjelang tengah hari, saat para pendekar telah berkumpul, Bhok-Siang-Hwesio, suheng dari ciangbunjin Siauw-Lim-Pai maju ke muka menghadap para pendekar. Suaranya lembut tapi bergema sampai ke seluruh penjuru, tanda tenaganya kuat sekali.
“Selamat bertemu Cu-wi sekalian...karena hari sudah menjelang siang, sekaranglah saatnya bagi kita untuk merundingkan segala sesuatu. Silahkan bagi siapa yang mau mengemukakan ide-idenya untuk di bahas dalam pertemuan ini...”
Semua orang mengangguk-angguk dan saling pandang, sesaat kemudian dari barisan sebelah kanan bertindak maju seorang pria berjubah kuning dengan pedang panjang di pinggang. Beberapa orang mengenalnya sebagai Wan Siu si Hong-in-Sin-ong (Pedang Sakti Awan Angin), yaitu salah satu dari Pat-Kiam-ong (Delapan Raja Pedang) yang terkenal.
“Maafkan saya berani lancang...bila melihat perkembangan dunia persilatan saat ini cukup mengejutkan dengan adanya pergerakan dari para pentolan-pentolan kaum Hek-to, saya hanya ingin mengusulkan agar para Eng-hiong boleh sepakat untuk memilih Beng-cu yang dapat mempersatukan semua gerakan kita menghadapi para pengganas tersebut...”
“Omitohud, Benar sekali ucapan Wan-sicu, memang dalam keadaan yang bergejolak ini perlu adanya penanganan secara bersama di bawah satu pemimpin, bagaimana pendapat para enghiong sekalian?...” Terdengar lagi suara Bhok-Siang-Hwesio yang di sambut dengan anggukan dan bisikan diskusi oleh semua yang hadir.
Tiba-tiba terdengar suara yang lain: “Kami semua setuju dengan usul tersebut, tapi bagaimana caranya kita menentukan calon Beng-cu yang akan di pilih itu?” Seorang pria setengah tua berpakaian hitam menyahut dengan suara yang keras sehingga mengalahkan semua suara yang ada, sehingga semua mata kini kembali di arahkan pada Bhok-Siang-Hwesio.
Mulailah terdengar berbagai tanggapan dari sana-sini, ada yang mengusulkan adu kepandaian tapi ada juga yang mengusulkan untuk menunjuk orang yang paling di hormati dari kalangan tua saja. Tapi setelah di sepakati, akhirnya usul yang pertama untuk di pilih melalui adu Ilmulah yang di plih.
Melihat ini, segera Bhok-Siang-Hwesio menatap tajam ke semua yang hadir dengan penuh wibawa dan mengangkat tangan menenangkan semua orang yang mulai ramai dengan usul-usulnya.
“Baiklah cu-wi sekalian sudah mengusulkan. Sekarang masing-masing pihak boleh mengajukan satu calon yang nanti akan di uji. Namun mengingat keadaan kita yang sangat rawan saat ini dengan adanya berbagai isu penyusupan dari aliran sesat, maka pinceng menganjurkan agar setelah usulan para calon di tentukan, maka biarlah kita menyerahkan kebijakan pengujian ini kepada para ciangbunjin yang ada yang kita tidak ragukan kepandaian mereka, bagaimana?”
“Akuuuurrrrr....” “Setujuuu....” terdengar suara balasan dari sana-sini.
Walaupun memakan waktu yang tidak terlalu lama, namun pemilihan Beng-cu itupun tetap berlangsung dengan meriah dan cepat. Keadaan sejauh ini cukup menggembirakan bagi para ciangbunjin yang ada, namun mereka juga tetap was-was karena keadaan itu terlalu tenang.
Sementara itu Bhok-Siang-Hwesio hanya berdiam saja selama pemilihan itu berlangsung, tapi matanya terus menjelajah ke sekeliling dengan tatapan penuh selidik, hatinya bertanya-tanya: “Dimana para Su-Sian, dan para tokoh-tokoh penting sakti lainnya, juga kangouw-Hiap-Wi?”
Setelah sekian lama akhirnya muncul dua orang unggulan. Yang pertama Bu-tek Sin-liong-kiam Wu Kong Liang dan yang kedua adalah Bhok-Siang-Hwesio sendiri. Melihat ini segera Bhok-Siang-Hwesio bergerak maju untuk memberi sanggahan.
“Para Eng-hiong sekalian, bukannya pinceng menolak kesepakatan kami berdua untuk memilih kami dari kalangan Tua ini sebagai Beng-cu, tapi hendaknya harus di ingat bahwa tugas sebagai Beng-cu nanti sangat membutuhkan orang-orang yang lebih ulet dan bersemangat muda, jadi mohon di pertimbangkan lagi agar dapat memilih orang-orang yang lebih muda saja...”
“Benar ucapan losuhu Bhok-Siang-Hwesio, adalah lebih baik jika dari kalangan yang lebih mudah saja yang di pilih...” Sambung Wu Kong Liang.
“SETUJUUU......” Terdengar suara yang keras menyahut. Ternyata datangnya dari seorang pria berpakaian putih dari rombongan sebelah timur yang baru saja tiba. “maafkan atas keterlambatan kami, tapi karena belum terlalu terlambat maka kami dari Kim-Liong-pai mengusulkan Ketua kami sebagai Beng-cu...dia sangat sakti dan Ilmu pedangnya tak tertandingi di antara para pendekar muda....?”
Rombongan itu terdiri dari sebuah tandu megah berbentuk naga yang di kawal oleh seratus orang berpakaian putih dengan pedang bergagang keemasan.
Semua orang mulai berbisik-bisik melihat hal ini. Bhok-Siang-Hwesio segera menyahut:
“Ahh, kami telah mendengar bahwa Kim-Liong-Pai telah memiliki Ketua baru yang masih muda, Konghi-konghi...tapi bolehkah kami mengetahui nama beliau dan apa julukannya?”
Seorang pria setengah baya dan berkumis tebal maju ke depan sambil berkata: “Ketua kami yang mulia bernama Tee Sun Lai, dia......”
“DIA ADALAH MANUSIA IBLIS BERJULUK TEE-MO KIAM-ONG...” Sahut suatu suara keras yang entah dari mana datangnya tapi hasilnya ternyata sangat berpengaruh.
“Iiiiiiihhhhh...” “Awas....hati-hati....” Timbul berbagai suara kekhawatiran dari sana-sini
“Omitohud, benarkah dia Tee-Mo Kiam-Ong?” sambung Bhok-Siang-Hwesio dengan suara agak terkejut. Sementara tokoh-tokoh yang lain memandang penuh selidik dengan tangan masing-masing terulur memegang senjata mereka dengan sikap khawatir.
Wu-Tayhiap yang lebih dahulu menguasai perasaan hatinya segera bertanya: “Maaf, pertemuan ini adalah pertemuan para Eng-hiong untuk menghadapi para kaum Hek-to, di pihak manakah kalian berada? Sejauh yang kami ketahui Kim-Liong-Pai di bawah pimpinan It-Gan Kim-Liong (Naga Emas Bermata Satu) sangat menjunjung tinggi kegagahan, tapi mengapa Kim-Liong-pai justru mengijinkan penggantinya seorang dari jalan Hek-to?”
Wajah pria berpakaian putih itu pucat, mulutnya terbuka seperti hendak mengatakan sesuatu...tapi saat itu juga terdengar suara terkekeh, perlahan, namun suaranya bergetar mengidikkan bulu roma semua yang hadir.
“Hehehe, Wu-Tayhiap memang orang yang berpengetahuan luas, tidak usah kita perbincangkan mengenai hal yang sia-sia, yang jelas akulah ketua Kim-Liong-pai yang baru, apa ada yang menolak bila aku di calonkan sebagai Beng-cu? Lagi pula kalau aku jadi Beng-cu, kalian tidak akan rugi karena akupun sangat menentang orang-orang Jit-Goat-Kauw busuk yang sok jago itu”
Bhok-Siang-Hwesio adalah orang yang arif, tapi dia tahu belaka apa artinya jika orang seperti Tee-mo Kiam-Ong ini jadi Beng-cu, itupun setali tiga uang dengan Jit-Goat-Kauw. Segera dia menyahut:
“Maaf, tapi pemilihan Beng-cu ini haruslah di setujui oleh semua Eng-hiong yang hadir...”
“Hahaha, aku tahu losuhu, tapi semua orang sudah memilih kalian berdua, itu artinya jika aku mengalahkan kalian berdua, maka semua akan setuju, bukankah begitu?” Belum habis suaranya, tiba-tiba tirai tandu tersibak dan melesatlah bayangan keemasan kea arah Bhok-Siang-Hwesio dan Wu-Tayhiap dengan kecepatan yang mengagumkan.
“Hemm...” Bhok-Siang-Hwesio dan Wu-Tayhiap segera bersiap untuk menyambut karena mereka merasakan hawa yang sangat kuat menerjang mereka, tapi sekedipan mata kemudian bayangan itu telah berdiri tiga langkah di depan mereka berdua sambil tersenyum.
“Marilah Jiwi-locianpwe, kita bermain-main sebentar, jangan sungkan...” Berkata demikian sekelebat bayangan pedang yang entah dari mana datangnya berubah menjadi dua jalur panjang yang mengeluarkan suara berdesing tajam mengarah pada Bhok-Siang-Hwesio dan Wu-Tayhiap.
“Hehh...” Bhok-Siang-Hwesio dan Wu-Tayhiap terkejut sekali ketika merasakah kekuatan serangan lawan tidak berada di sebelah bawah kekuatan mereka. Segera tubuh Bhok-Siang-Hwesio melesat satu langkah ke samping sedangkan Wu-Tayhiap melesat satu tombak ke atas dan turun perlahan-lahan.
“Ini jurus kedua” Sambut Tee Sun Lai, di lain saat tubuhnya bergerak sebat melontarkan serangan ke-dua yang lebih dahsyat lagi itulah jurus maut “seribu biang iblis membelah sang budha”. Pedangnya mengeluarkan cahaya tajam rapat yang mengurung kedua lawannya dari segala penjuru sehingga mustahil ada jalan keluar. Hebatnya lagi setiap bayangan pedang itu memiliki kekuatan yang sama dahsyat.
Namun Bhok-Siang-Hwesio dan Wu-Tayhiap bukanlah anak kemarin sore yang baru belajar ilmu silat. Meskipun mereka terkejut karena mereka hampir kalah tenaga dari lawan yang masih muda namun dengan cepat Wu-Tayhiap memainkan ilmu Thai-San-kiam hoatnya yang sudah sempurna pada jurus ke tigabelas yang menciptakan tembok rapat yang susah di tembus, sementara Bhok-Siang-Hwesio mengerahkan ilmu Tiat-po-san yang sudah mencapai tingkat ke sepuluh dan tangannya mengerahkan tenaga Kiu-yang Kim-Kong-ci membalas menyerang lawan.
Demikianlah terjadi pertempuran dahsyat dua lawan satu di tengah-tengah lapangan luas itu. Hal ini sangat mengkhawatirkan para pendekar. Di antaranya para utusan dari ke enam perkampungan itu yang dapat melihat bahwa Bhok-Siang-Hwesio dan Wu-Tayhiap masih agak kesulitan menandingi pemuda yang ternyata sangat sakti itu.
Tigapuluh jurus berlalu, pertarungan sudah memasuki tahap puncak bagi ke dua tokoh sdari golongan putih ini. Bhok-siang-hwesio telah mengerahkan tingkat ke sepuluh dari ilmu Tat-mo-kun-hoat yang di kerahkan dengan tenaga kiu-yang Kim-kong-ci. Tubuhnya bergerak lambat, namun cepat menahan gempuran-gempuran hawa pedang yang dahsyat. Begitu juga Wu-Tayhiap yang telah mengerahkan puncak tertinggi dari Thai-san-kiam-sut serta Thai-yang-kangnya.
Memasuki jurus ketigapuluh satu, tiba-tiba Tee Sun Lai memekik seperti Harimau marah. Tubuhnya berkelebat seperti terbagi menjadi empat bagian. Tangan kirinya mengerahkan jurus ke dua dari ilmu Hiat-kut-jiauw Sam-kang yang bernama “Seribu cengkraman darah melepaskan tulang” sedangkan pedangnya bergerak deangan jurus ke empatpuluh dua dari Tee-mo-kiam-sut yang bernama “Ribuan pedang iblis bumi pemantek dewa”. Jurus ini sifatnya menyusup pada tenaga lawan dan menghancurkan pusat tenaga. Kalau lawan lebih rendah tenaganya akan berakibat lenyapnya kepandaian lawan.
Dengan sepenuh tenaga dan karena tidak melihat pilihan lain dalam menghadapi jurus lawan, Bhok-Siang-Hwesio segra melesat kebelakan Wu-Tayhiap mengempos semangat sambil menempelkan telapak tangannya di punggung Wu-Tayhiap untuk untuk menahan gempuran lawan.
“PLAAAKKK...” “CEPP...CEEPPP......KRAAKK...”
“UHUUUKKK......HOEEEKKKKK” darah segar di muntahkan oleh Bhok-Siang-Hwesio dan Wu-Tayhiap yang terlempar ke belakang satu tombak lebih. Bhok-siang-hwesio segera duduk bersila mengobati luka dalamnya yang amat parah akibat tindihan tenaga lawan yang dahsyat. Sedangkan Wu-Tayhiap bergerak bangkit perlahan dengan tiga tempat di tubuh yang tertembus pedang. Namun syukur bahwa gabungan tenaga mereka ternyata dapat meredam efek yang menghancurkan dari jurus “Ribuan pedang iblis bumi pemantek dewa” itu.
Di sebelah sana, nampak Tee Sun lai yang masih tertawa terkekeh tapi mukanya merah dan kakinya melesak satu jengkal ke dalam tanah. Agaknya dia juga terluka bagian dalam tapi masih lebih ringan. Dengan pongahnya dia memandang ke semua orang yang memandang kepadanya dengan tatapan ngeri.
“Apakah masih ada dari antara kalian yang mempertanyakan hakku menjadi Beng-cu?...”
Semua terdiam, tidak ada yang menyahut. Tapi beberapa saat kemudian dari tengah-tengah kumpulan para Eng-Hiong tersebut bergerak maju para utusan dari ke-enam keluarga dan juga delapan orang dengan pedang yang beraneka bentuk di tangan. Mereka adalah Pat-Kiam-ong (Delapan Raja Pedang), salah satu di antaranya, yaitu Wan Siu si Hong-in-Sin-ong (Pedang Sakti Awan Angin) melangkah ke muka dan berseru:
“Kau memang hebat, tapi kau masih harus melewati kami terlebih dahulu...beranikah kau?...”
“Hemmm, apa ini yang para pendekar yang di sebut Pat-Kiam-ong? Ku dengar kalian sudah lama mengasingkan diri, mengapa sekarang muncul lagi?”
“Perkara dunia persilatan adalah jiwa kami, sehingga kamipun tidak akan berdiam saja jika ada kekacauan yang di sebabkan orang-orang jahat kejam sepertimu yang mengacau...”
“Hahahahahahaha...kalian terlalu sombong untuk mengatakanku kejam sementara kalian juga banyak kali membunuh orang...”
Ke delapan orang ini terhenyak. Bagaimanapun juga mereka tidak dapat membantah lebih jauh.
“Baiklah, kalau kalian dapat menembus dua kelaompok barisan 52 Iblis Bumi dan keluar dengan selamat, maka aku akan mundur dan tidak berharap untuk menjadi Beng-cu lagi. Tapi harus ku ingatkan, aku sendiripun membutuhkan empat puluh sembilan jurus untuk dapat membongkar satu barisan ini....hahahaha...” Berkata demikian, tubuhnya berbalik dan melesat masuk ke dalam tenda. Sementara ke seratus empat anak buah Kim-Liong-pai bergerak teratur membentuk dua barisan Iblis Bumi di kanan–kiri,
Demikianlah terjadi pertempuran besar-besaran yang memakan korban jiwa yang banyak dari pihak para pendekar. Banyak yang melarikan diri satu-satu yang pada akhirnya merekalah yang menceritakan bagaimana pembantaian itu berlangsung.
Semua utusan dari enam keluarga tewas. Pat-Kiam-Ong yang luka-luka dan di lemparkan ke lembah di Puncak Awan Putih tersebut sehingga tidak di ketahui keadaan mereka lebih lanjut.
Sementara itu Bhok-Siang-Hwesio dan Wu-Tayhiap yang luka-luka hanya di biarkan di antara mayat-mayat yang berserakan.
Malam itu di lalui dengan suasana hening yang mencekam oleh kedua tokoh ini sambil terus bertanya-tanya dalamhati mereka: “ Dimana para Su-Sian yang telah mereka hubungi? Dimana para Kangouw-Hiap-Wi, dan para tokoh-tokoh dunia persilatan sakti lainnya yang telah mereka hubungi sebelumnya???...Dan dimana orang-orang dari Jit-Goat-kauw yang katanya akan mengacau???...