Laman

Jumat, 12 April 2013

Kim-Houw-It-Wi & Gin-Hong-It-Wi

Waktu terus berjalan dengan sangat cepatnya. Pergerakan para tokoh-tokoh golongan hitam yang di kendalikan oleh Jit-Goat-Kauw ternyata semakin merajalela. Yang paling berbahaya adalah karena empat partai sesat yang selama ini berdiri terpisah, sudah menyatakan takluk serta bergabung dengan Jit-Goat-Kauw ini. Ke-empat partai sesat itu adalah Im-Yang-Kauw, Hek-Liong-Pai, Beng-Pai dan Tai-Bong-Pai.
Dalam pergerakan selanjutnya Jit-Goat-Kauw membagi empat semua kekuatannya dan bergabung dengan ke-empat partai sesat ini dengan bergerak di belakang mereka untuk melebarkan pengaruhnya ke arah tanah sentral dari empat penjuru.
Bukan hanya itu saja, pergerakan inipun sudah mulai memasuki bagian dalam kerajaan Tang. Kaisar Kuan Zong yang memerintah pada waktu itu sudah mulai mencium adanya pergerakan rahasia yang bertujuan menghancurkan dunia persilatan dan juga menguasai kerajaan. Bahkan beliau juga sudah mencium adanya pejabat-pejabat yang menjadi antek atau kaki tangan dari para pemberontak dunia hitam tersebut, hanya saja sejauh ini belum ada bukti atau tanda-tanda yang nyata dari kaum pemberontak tersebut yang membuat dia harus memerintahkan pembasmian.
Para pengikut-pengikut dari Jit-Goat-Kauw ini sangat pandai menyusup dan menyewa para pembesar-pembesar yang korup untuk membantu mereka dari dalam secara diam-diam.
Namun saat itu suasana istana yang tadinya tenang, tiba-tiba saja istana gempar. Gudang perpustakaan dan pusaka kerajaan telah di bobol orang. Yang aneh adalah bahwa tidak ada tanda-tanda bahwa tempat itu telah di masuki oleh pencuri. Semua penjaga melaporkan dalam keadaan siaga dan tidak melihat adanya orang yang mencurigakan. Namun kenyataan bahwa ada barang pusaka istana yang kecurian adalah fakta yang jelas dan tidak bisa di tutupi.
Suatu hari, di saat menjelang sore. Dalam ruang pribadi Sang Kaisar, nampak tiga orang yang sedang menghadap padanya. Dua di antaranya memakai kerudung yang menutupi wajah mereka. Namun tetap tidak menutupi kalau mereka itu adalah pria dan wanita.
“Hemm, aku tidak tahu dan tidak mengenal kalian berdua, tapi akupun percaya pada paman Lui yang sudah merekomendasikan kalian...” berhenti sejenak, sang Kaisar mengalihkan tatapannya kepada pria yang berdiri di sampingnya sambil tersenyum. Dia adalah Pejabat Lui Tao Ki, yang menjadi penjaga perpustakaan dan gudang pusaka kerajaan.
“Tapi sebelum kalian menerima tugas ini, aku harus merasa yakin dulu dengan kepandaian kalian, aku buka orang yang buta ilmu silat jadi terserah bagaimana caranya kalian melakukannya, asalkan hatiku puas, maka aku akan percaya...kalian berdua pasti mengetahui caranya?.” Kembali dia melanjutkan.
Sang pria kemudian menganggukkan kepala dan setelah menjura kepada sang Kaisar, dia kemudian mengerahkan tenaganya. Di lain saat kakinya tiba-tiba melesak masuk ke dalam lantai sedalam dua inchi. Sunggu suatu demonstrasi tenaga yang amat hebat. Bagi orang yang tidak tahu pasti tidak akan berkesan tapi bagi Sang Kaisar yang sebenarnya juga tidak lazim dengan ilmu silat rasanya cukup mengerti untuk memngakui bahwa pria berkerudung ini bukan hanya ahli silat biasa saja. Sementara hal yang sama juga di lakukan oleh sang wanita berkerudung. Hanya bedanya, kalau yang pria melesak masuk, adalah yang wanita justru membuat lantai tempatnya berpijak itu timbul seperti bentuk telapak kakinya setebal satu setengah inchi.
Melihat hal ini, sang Kaisar hanya tersenyum puas saja. Dia tahu, seratus pengawal Kim-I-Winya pun belum tentu dapat menahan ke dua orang di hadapannya ini untuk waktu yang lama. Akhirnya Kaisar Kuan Zong memutuskan mengirimkan dua orang agen rahasia yang sakti ini untuk menyelidiki serta mengungkap bukti-bukti akan kasus pencurian dan pemberontakan tersebut. Tidak ada yang mengetahui ataupun mengenali siapa ke dua orang ini. Yang pasti keduanya hanya di ketahui identitasnya sebagai “Kim-Houw-It-Wi” (Pengawal Tunggal Harimau Emas) dan “Gin-Hong-It-Wi" (Pengawal Tunggal Hong Perak). Mereka di lengkapi dengan stempel khusus yang membuat mereka memiliki kewenangan untuk menggerakkan seluruh pasukan kerajaan kapan saja dan di mana saja mereka berada.
---lovelydear---
Selama beratus-ratus tahun Bu-Tong-Pai telah menjadi salah satu partai yang terkemuka. Karena kedisiplinan yang tinggi partai ini dapat mensejajarkan dirinya dengan Siauw-Lim-Pay dan lain-lainnya yang banyak menelorkan pendekar-pendekar tangguh yang berwatak gagah dan sukar di cari tandingannya.
Di tempat yang paling rahasia di Bu-Tong-Pai yang terletak hutan larangan di belakang pesanggrahan itu, tampak dua orang kakek yang usianya sudah tua saling berhadapan.
“Hahaha...Kian-In Cinjin, menyerahlah, kau tetap takkan dapat mengalahkanku. Usiamu sudah terlalu tua...? Seru seorang kakek muka hitam setengah baya berjubah Kuning-Putih.
Di hadapannya tampak seorang kakek pula yang terlihat lebih tua, berusia sekitarenam puluh sembilan tahun, sedang berjongkok dengan kaki satu. Dari sela-sela bibirnya terlihat darah kental mengalir. Dia terluka dalam yang parah.
“Huhh Hek-bin Jit-cu ...Ilmu Jit-Goat-Tok-Ciangmu memang hebat, pinto siap menjemput kematian seperti kesepakatan kita, asalkan kau tidak mengganggu seujung rambutpun anak murid Bu-tong-pay...silahkan sicu...” Sahut kakek ini perlahan sambil memuntahkan darah segar lebih banyak lagi.
“Heehh, baiklah, aku setuju, kepalamupun sudah merupakan hadiah yang terbesar bagi ulang tahun Tai-Kauwcu kami...bersiaplah...haiitttt” Berkata demikian, tanpa banyak bicara Hek-bin Jit-cu menarik kedua tangannya ke belakang dan di putar-putarkan sambil di pukulkan ke depan.
Tapi sayang, sepertinya waktu belum mengizinkan kematian dari Kian-In Cin-jin.
“Jangannnn...” “DHEESSSS” Tiba-tiba terdengar suara nyaring, dan seorang pemuda sudah menghadang di hadapan Kian-In CinJin sambil menangkis pukulan tersebut. Pemuda itu terdorong dua langkah, sedangkan Hek-bin Jit-cu itu terdorong tiga langkah ke belakang.
“Manusia lancang, siapa kau, berani menghalangiku???” Bentak Hek-bin Jit-cu itu. Namun diam-diam dia terkejut juga akan kekuatan lawan barunya ini yang mampu membuat dia terdorong tiga langkah. Dia taksir usianya belum sekitar duapuluh tahun.
“Huh, kau yang lancang, berani mengacau di sini dan melukai ciangbunjin-suheng...” Terdengar suara lain yang halus, suara wanita, dari samping. Di lain saat berkelebat satu bayangan yang amat cepatnya mengirim empat kali pukulan berantai yang amat dahsyat.
“Thai-kek-ciang?...” “Heahhh...” Hek-bin Jit-cu kembali terkejut, namun tanpa ayal, segera mengerahkan seluruh kekuatnnya menangkis.
“PLAAK...PLAAAK...” “Haiiit...” Terjadi benturan sebanyak empat kali, dia terdesak mundur satu langkah, tapi yang lebih luar biasanya, belum sempat dia mengatur posisinya, tubuh bayangan di hadapannya sudah meliuk dengan kecepatan luar biasa, seolah tak bertulang, melejit ke atas dan melontarkan satu pukulan yang amat dahsyat ke arah ubun-ubunnya.
Segera Hek-bin Jit-cu memutar kedua tangannya di atas kepala untuki menyambut serangan tersebut. Tapi kembali dia terkejut, karena tiba-tiba dia kehilangan lawannya. Belum hilang kekagetannya, terdengar suara halus seorang wanita di sebelah depan:
“Akhh..toako, nyatanya orang sombong ini terlalu lemah...” Sahut gadis itu setengah kecewa.
“Benar sekali, Hong-moi...Akhh, inikah antek-antek Jit-Goat-Kauw yang ke blinger dan bermimpi menguasai dunia persilatan?” Pemuda itupun menimpali. Namun tidak lama, karena sesaat kemudian mereka berdua sudah menjatuhkan diri berlutut di hadapan Kian-In Cinjin sambil bersoja.
“Ciangbunjin-Suheng, terimalah hormat kami!”
“Hemmn, apakah kalian murid Susiok-Couw di In-Kok-San?”
“Benar, ciangbunjin-suheng, kami kakak-beradik benar adalah murid suhu Thian-In Cinjin. Menurut suhu, bahwa biarpun beliau sudah mengasingkan diri di In-Kok-San, tapi beliau tidak pernah tidak memperhatikan Bu-Tong-Pai. Suhu memerintahkan kami untuk melapor agar dapat memberi bantuan seperlunya bila Bu-Tong-Pai membutuhkan. Kebetulan Suhu berpesan pada kami untuk menengok makam mendiang sucow, sehingga kami bisa sampai di sini...”
Berkata demikian, sang pemuda segera berdiri dan menghadap ke arah Hek-bin Jit-cu.
“Bagaimana, orang tua, apa kau masih mau melanjutkan niatmu?”
“Tampaknya aku tidak punya pilihan lain selain menghadapi kalian, baiklah mari kita coba lagi...kalaupun aku kembali, Tai-kauwcu kami tidak menerima orang pulang dengan tangan kosong...Silahkan kalian berdua maju bersama, supaya aku segera mengirim nyawa kalian pada Giam-lo-ong..” Suaranya angkuh. Dia adalah orang ke tiga dari Jit-goat-kauw. Namun diapun tahu sampai di mana kebiasaan kauw-cu perguruannya.
“Hihihi...Kakek tua, melawan aku saja kau belum tentu menang, sesumbar mau melawan kami berdua...” Si gadis mengejek.
Wajah Hek-bin Jit-cu merah. Namun dia juga cerdik. Dari bentrokan tadi, dia tahu bahwa si pemudi sama mungkin lebih ringan untuk di lawan, maka dia menyerang dulu sambil memilih lawan yang wanita. Dan kebetulan sekali, ejekan gadis itu membuat dia punya alasan kuat untuk menyerangnya.
“Heii, orang tua... aku lawanmu” Baru saja Hek-bin Jit-cu menerjang, kembali berkelebat bayangan orang dan di lain saat sang pemuda tadi sudah menyambut serangannya.
Mau-tak mau akhirnya tanpa banyak cakap, Hek-bin Jit-cu melanjutkan serangannya. Sehingga terjadilah pertarungan yang cukup ramai di lihat. Namun setelah lewat duapuluhjurus, nampak mulai kepayahan, karena ternyata ilmu pemuda tersebut tetap satu langkah di atasnya. Pada jurus ke duapuluh enam, jatuh terduduk dengan dada terhantam pukulan Thai-kek-ciang.
“Bagaimana Kakek muka hitam, apakah kau masih mau melanjutkan niatmu?...” tantang pemuda itu sambil tertawa. Hek-bin Jit-cu berdiri perlahan setelah memuntahkan darah segar. Matanya mendelik marah, namun tanpa banyak cakap dia membalikkan tubuhnya dan berjalan tertatih-tatih dan menghilang di balik pohon.
“Hemmm...bagus, bagus...ternyata suheng memang telah melatih kalian dengan baik sekali, di kemudian hari, tidak nanti Bu-tong-pai bakalan resah untuk mencari penerusnya...” Terdengar suara Kian-In cinjin perlahan. Walaupun masih menahan sakit namun setelah bersila beberapa saat, luka dalamnya sudah agak mendingan.
“Siapakah nama kalian?”
Si pria menjura dan sambil tersenyum menjawab: "Ciangbunjin-suheng boleh memanggil siautee Cee Tie Kian dan ini adik tee-cu bernama Cee Jie Hong. Kami mohon petunjuk ciangbunjin?!”
“Bagus, tinggallah kalian di sini beberapa waktu lamanya.”
“Baik Ciangbunjin-suheng, tapi bisakah kami tinggal tidak terlalu lama? Jie Hong bertanya dengan suara merdu dan perlahan.
“Eh, apakah ada urusan lain yang perlu kalian kerjakan sehingga begitu terburu-buru?”
Kedua kakak beradik itu saling berpandangan sejenak, dan setelah saling menggangguk, Tie Kian menyehut: “Sebenarnya, selain mendapat tugas dari Suhu, kamipun memikul tanggung jawab untuk kerajaan...karena sesungguhnya kami berdua adalah juga utasan rahasia Hong-siang”
“Aaakhhh...jadi kaliankah kepala para pasukan penyelidik rahasia kerajaan yang terkenal sebagai Kim-Houw-It-Wi” dan “Gin-Hong-It-Wi" itu...” Sahut Kian In cinjin setengah terkejut.
Dia bukan tak percaya. Bagaimanapun juga ada sedikit rasa bangga di hatinya jika ada anak murid Bu-tong-pai yang berhasil mencapai tingkat seperti ke dua orang muda di hadapannya ini.
“Baiklah, paling tidak kalian dapat mewakili aku untuk pertemuan rahasia lima perguruan besar tiga hari lagi.”
---lovelydear---
Waktu berjalan dengan cepat, satu bulan sebelum peristiwa “Eng-Hiong Tai-Wang-gwe” (Pertemuan besar para orang gagah) tiba, dunia persilatan mengalami kegemparan dengan adanya peristiwa tragis yang menyedihkan, yaitu kematian para tokoh-tokoh persilatan dari golongan putih pada saat yang bersamaan tepat pada tanggal limabelas.
Kengerian yang terjadi bukan hanya terhadap para korban tokoh-tokoh dari partai-partai kecil tapi juga para tokoh-tokoh besar Siauw-Lim-Pai, Bu-Tong-Pai, Kun-Lun-Pai, Hoa-San-Pai dan Thai-San-Pai. Semuanya tewas dengan keadaan yang mengerikan, yaitu dengan kepala terpisah dari tubuh mereka.
Melihat akan situasi ini maka pada suatu hari, bertempat di Thai-san-pay, berkumpullah para utusan-utusan khusus dari ke-lima perguruan besar yang ada. Pertemuan ini di laksanakan secara rahasia dengan maksud yang rahasia yang hanya para ketua perguruan yang mengetahuinya.
Sebelumnya, para ketua perguruan ini menerima surat rahasia dari Wu Kong Liang, ciangbunjin Thai-san-pai yang berjuluk Bu-tek Sin-liong-kiam. Satu minggu kemudian para ciangbunjin ini mengutus para wakil mereka di temani para murid pilihan terpandai dari pintu perguruan mereka menempuh perjalanan rahasia ke Thai-san-pai.
Setelah para utusan berkumpul, hanya di hadiri sekitar tujuh belas orang saja. Wu Kong Liang, di dampingi sepasang murid pilihannya, berdiri sambil menyalami semua tamu tersebut.
“Cu-wi sekalian, atas nama jiwa kependekaran yang saya tahu sangat di junjung tinggi oleh kita semua, perkenankan saya mengajukan alasan mengapa kami mengundang para perguruan besar yang ada untuk berkumpul...” berhenti sejenak, dia menatap semua yang hadir satu-per satu, kemudian melanjutkan:
“Seperti yang kita ketahui bersama, masa depan dunia kang-ouw akhir-akhir ini mulai tidak tenang, bahkan memasuki saat-saat yang amat gawat. Terbunuhnya para tokoh-tokoh perguruan yang pilih tanding ini telah mengisyaratkan pada kita semua bahwa ada kekuatan tersembunyi yang sedang mencoba mengacau. Dan ini perlu penanggulangan yang lebih lanjut...bagaimana menurut pendapat cu-wi sekalian?”
“Benar sekali, Wu-Tayhiap...Kita memang tidak bisa biarkan saja hal ini. Pembunuhan terhadap para tokoh-tokoh perguruan besar ini sama dengan menabuh genderang perang. Dan mereka telah secara terang-terangan menyatakan perang. Namun demikian kitapun harus tetap waspada dan jangan terjebak dengan siasat mereka...” Seorang kakek berjubah putih berjuluk Thian-cu cinjin mewakili Bu-Tong-pai menyembut dengan suara halus namun bersemangat.
Wu-Tayhiap memandang semua tamu yang hadir. Semua hanya mengangguk menyatakan persetujuan mereka.
“Baiklah, dengan demikian maka kita sepakat untuk menanggulangi bersama-sama semua masalah ini. Nah, hal yang ke dua yang ingin kami sampaikan ialah bahwa melalui pertemuan ini perlu di bentuk suatu tim khusus yang akan menjadi pelopor untuk memperingati para enghiong di seluruh penjuru agar waspada melawan serbuan para kaum hitam yang di pimpin oleh Ji-Goat-Kauw itu...”
Tiba-tiba salah seorang hwesio dari Siauw-lim-pai yang duduk di sebelah kiri mengangkat tangannya dan bicara: “Omitohud...Wu-sicu benar sekali, dalam hal ini kita memang harus mulai membentuk kekuatan gabungan yang akan membendung serbuan para kaum sesat tersebut...?
“Benar sekali...ini ide yang sangat baik karena kalau kita harus menunggu hari itu, takutnya kita tidak punya waktu bersiap-siap lagi. Karena menurut penyelidikan kami, kekuatan mereka sekarang terpusat di empat penjuru dan kemungkinan besar mereka siap untuk mengadakan penyerangan tepat pada hari pertemuan besar nanti” Seorang Tosu dari Kun-lun-pai menimpali.
“Ya, bahkan ada beberapa kelompok yang mengacau di sekitar gunung Hoa-san-pai kami...”
“Baiklah, kalau begitu, baiknya di atur begini saja, kita masing-masing akan mengutus murid pilihan masing-masing perguruan untuk di serahi tugas ini...bagaimana menurut cu-wi sekalian?” Dengan suara mantap Wu-Tayhiap menyimpulkan diskusi itu yang di sambut dengan anggukan kepala oleh setiap orang yang hadir.
Setelah berdiskusi sekian lama, maka masing-masing pihak itu mengajukan dua orang jagonya. Dan tentu saja di pihak Bu-tong-pai, di wakili oleh kakak beradik Cee Tie Kian dan Cee jie Hong. Setelah terpilih, maka kembali Wu-Tayhiap angkat suara mewakili semua yang hadir.
“Baiklah, kalian semua yang telah di ajukan sebagai wakil dari masing-masing perguruan. Kalian tahu bahwa kalian memiliki tugas yang amat penting sekali yang menyangkut tegak atau runtuhnya golongan putih dari dunia kang-ouw di masa yang akan datang, namun kamipun tidak akan menyerahi tugas ini kepada kalian jika kami belum yakin akan kemampuan kalian. Itulah sebabnya, sebelum kami melepas kalian untuk tugas yang suci ini, maka kalian akan bertanding untuk melihat kemampuan kalian masing-masing...nah kami harap kalian tidak keberatan.”
Pertandingan itu berlangsung cukup seru, karena orang-orang muda itu ternyata adalah orang-orang muda pilihan yang telah di latih khusus dengan ilmu-ilmu pilihan di masing-masing pintu perguruannya. Namun dari antara sepuluh orang muda itu, ada empat orang yang agak menonjol yaitu Giok-im Hwesio dari Siauw-lim-pai yang berjuluk Bu-Eng Tiat-Ciang (Tangan Besi Tanpa Bayangan), kakak beradik Cee Tie Kian dan Cee jie Hong dari Bu-tong-pai dan Chit-Seng Im-kiam (Pedang Dingin Tujuh Bintang) dari Thai-san-pai. Satu minggu kemudian, setelah mendapatkan wejangan-wejangan dari para tokoh-tokoh perguruannya masing-masing, maka ke sepuluh orang ini lalu turun gunung untuk memulaikan tugas mereka Sementara itu, sambil menjalankan tugas rahasia mengamarkan dunia persilatan Cee Tie Kian dan Cee jie Hong tetap melakukan juga misi mereka ke mencari informasi untuk kerajaan.