Laman

Jumat, 12 April 2013

Hui-Kut-Tok-Im-Ciang

****
Sudah terlalu lama kita tinggalkan Han Sian yang sedang menempa diri sambil berkabung selama satu tahun.
Satu tahun lebih Han Sian tinggal dalam sumur di lembah pedang tersebut. Sambil terus berlatih tanpa kenal lelah. Berbekal semua ilmu-ilmu dewa yang dia telah miliki sebelumnya, membuat Han Sian dapat melatih “Ilmu Seribu Bayangan Iblis Pemusnah” dengan sempurna. Sebenarnya ilmu ini sangat ganas sekali dan tak kenal ampun. Kalau saja ilmu ini jatuh ke tangan orang jahat, pastilah malapetaka bagi dunia persilatan.
Namun, dengan kecerdikannya, dia dapat membuang pengaruh-pengaruh yang menyesatkan dari ilmu tersebut dan menggabungkannya dengan ilmu-ilmu yang dia sudah miliki sebelumnya. Meski demikian perbawa ilmu itu masih tetap mengerikan dan bahkan lebih dahsyat.
Di samping itu dia juga sudah berhasil melatih 2 ilmu gaib yang dia dapatkan bersama dengan ke tiga kitab kuno di Tebing Langit, yaitu “Sinar Sakti Mata Pedang” yang memiliki tenaga penghancur yang tak tertandingi. Ilmu ini dapat di salurkan lewat mata, tapi hanya boleh dikerahkan 2 kali dalam 300 hari karena sangat menguras tenaga murni. Ilmu ke dua adalah “Pat-Sian-Sin-Hoat” yaitu Ilmu penguasaan tenaga batin tingkat tinggi yang dapat mewujudkan pengembangan ilmu sihir.
Setelah setahun lewat. Han Sian keluar dari lembah tersebut. Menghirup udara segar dunia bebas kembali membuat dia senang. Tapi sayang, pengaruh peristiwa kematian Hui Si merubah watak aslinya yang tidak suka membunuh menjadi sebaliknya. Sepak terjangnya tidak segan-segan menurunkan tangan maut dan telengas terhadap orang-orang yang di temuinya berbuat jahat. Nampaknya ini pertanda buruk bagi dunia Hek-to.
Disamping itu pengalamannya yang luar biasa dalam lautan cinta bersama Hui Si, meninggalkan bekas yang menjadikan pemuda ini nampak sangat romantis dan membuka tangan kepada semua wanita yang dekat dengannya. Ini juga pertanda yang kurang baik bagi dunia asmara.
Dari sejak dia keluar lembah, Han Sian telah melakukan perjalanan yang cukup jauh, bahkan memakan waktu berbulan-bulan sampai akhirnya tibalah dia di sekitar tembok besar. Saat dia memasuki sebuah dusun, hatinya tertarik karena telinganya mendengarkan suara tangis meraung-raung beberapa orang penduduk.
Segera kakinya berbelok mengarah ke pekarangan salah satu rumah terdekat di mana dia menemukan seorang petani dusun yang sedang merangkul seorang wanita yang tampaknya adalah istrinya yang terus menangis sedih.
“Maaf paman, saya pendatang baru di sini, bolehkah saya tau apa yang telah.....Ehh...?!” Han Sian Terkejut. Belum selesai perkataannya tiba-tiba wanita yang ada dalam rangkulan suaminya itu sudah bangkit berdiri dan berlari menyambutnya sambil mencakar-cakar seperti orang gila...
“Kau...kau...penculik bayi....kembalikan...kembalikan anakku...” teriaknya “...kembalikan anakku...”
Dengan tenang HanSian memegang pergelangan tangan wanita itu dan segera wanita itu menjadi lemas tak bertenaga.
“Anak muda jahat, kau pastilah penculik bayi kami?...Aku akan mengadu jiwa denganmu...” Laki-laki tersebut, begitu melihat istrinya terjatuh lemas, tak dapat menahan hatinya lagi, langsung menyambar cangkul di sampingnya dan menyerang Han Sian dengan cangkul tersebut.
Tapi apalah artinya seorang petani kasar yang kerjanya sehari-hari hanya mencangkul di sawah? Dia tidak tahu kenapa, tiba-tiba gagang cangkulnya patah di tengah bagian tengah...
“Maaf paman, saya adalah seorang pelancong yang kebetulan lewat di sini dan saya tidak bermaksud jahat....mungkin saya bisa membantu paman”
Petani itu menatap pemuda di depannya dengan tatapan menyelidiki. “Orang muda, kau pergilah dari sini. Kalau kau bukan orang yang kami maksud, lebih baik pergi dari sini...” Sambil berkata demikian petani itu membalikkan tubuh dan kembali merangkul istrinya tanpa memperdulikan Han Sian.
Han Sian penasaran, namun dia tidak mau memaksa orang. Sambil menarik nafas panjang, dia melangkahkan kakinya keluar dari pekarangan rumah tersebut.
Dia melewati beberapa penduduk yang tampaknya juga mengalami masalah yang sama. Tapi anehnya mereka tetap menutup mulut. Saking jengkelnya Han Sian terus melangkah dengan muka masam sampai tibalah dia di pinggir sebuah sungai.
Seketika hatinya senang. Kakinya melangkah mendekati sungai tersebut. Tapi segera telinganya menangkap bunyi yang tidak beres dan segera menuju asal suaratersebut. 5 orang lelaki kekar dan berewok sedang tertawa-tawa senang di sela-sela jeritan ketakutan suara 2 orang wanita muda yang manis.
“Jangan...ohh...jangan” seru seorang gadis sambil berusaha melepaskan diri dari pegangan dua orang di kanan-kirinya. Sedangkan ketiga orang pria yang lain sedang bergantian memegang dan menindih gadis yang satunya lagi yang sudah tidak berdaya dan hanya mengeluarkan suara rintihan lirih sambil menggigit bibirnya yang berdarah.
Melihat hal ini, seketika Han Sian menampakkan diri.
“Huhh, sungguh kalian manusia-manusia tak layak hidup dan patut mampus...”
Ke lima orang itu terkejut dan segera melompat berdiri. “Siapa kau, apa urusanmu mencampuri urusan kami?...” bentak salah satu dari mereka.
Han Sian tidak memperdulikan mereka. “Nona, jawablah pertanyaanku, Nona...apakah kau melayani mereka dengan rela?...” Ini memang pertanyaan, namun hakikatnya tidak perlu di tanyakan. Tapi kalaupun itu di tanyakan hanyalah untuk menemukan alasan yang kuat saja untuk bertindak.
Gadis itu tertegun sejenak...” Tidak...kami tidak mau...mereka memaksa kami”
Kelima orang itu, merasa diri mereka tidak di tanggapi menjadi semakin marah. Pemuda lancang. Segera mereka bermaksud menyerang. Tapi belum sempat mereka bergerak tau-tau terdengar suara mencicit tajam dari tangan Han Sian dan di lain saat ke lima orang tersebut terpental kebelakang dengan dada hancur berlubang tersambar hawa pukulan dari jari-jari tangannya..
“Iiihhhh...” Gadis yang masih sadar itu menjerit lirih dan sesaat kemudian dia telah pingsan.
Han Sian segera mengangkat ke dua gadis yang malang tersebut menjauh dari tempat itu.
Tak lama kemudian, setelah di urut-urut, kedua gadis tersebut sadar. Tapi gadis yang telah di perkosa tadi sudah tidak sanggup berdiri lagi.
Han Sian menatap mereka berdua kemudian bertanya kepada gadis yang satunya lagi.
“Nona...kalau bo...” “Yan-er, panggil saja aku Yan-er” potong gadis itu. Hal ini membuat Han Sian terdiam sesaat.
“Baiklah, nona Yan, kalau boleh ku tau, apakah yang terjadi di sini...?
Gadis itu menunduk dengan sedih. “Sambil terisak dia menjawab lirih, In-kong, entah malapetaka apa yang menimpa kami. Sudah hampir se bulan ini semua bayi-bayi di bawah satu tahun hilang di culik orang dan kami tidak tau siapa yang melakukan hal ini...” setelah dia berhenti sejenak “apalagi gerombolan para perampok yang mengetahui keadaan kami ini uga memanfaatkan situasi ini untuk mengambil keuntungan...”
“Hemm...Apakah ada kecurigaan, siapa dalang semua ini?”
Mendengar pertanyaan ini, wajah gadis itu seketika berubah. Dia melirik kesana-kemari dengan ketakutan.
“Jangan khawatir nona, Aku akan menjamin keselamatanmu...”
“Ba...baiklah in-kong, aku tidak takut, lagipula hidup kami kau yang selamatkan.” Sejenak dia menarik nafas panjang, “Dusun ini, juga beberapa dusun lainnya yang berdekatan berada di sekitar lembah Rawa Hijau. Dahulu tempat itu tidak berpenghuni, tapi sekarang sudah ada. Namun kami tidak tau apa hubungannya yang lebih jelas.”
---lovelydear---
Hari menjelang malam di pinggir sebuah rawa lumpur yang luas di dekat tembok besar. Suasana di pinggir rawa itu sepi-sepi saja. Namun bagi Han Sian, yang memang mempunyai maksud untuk datang ke tempat tersebut. Segera meningkatkan kewaspadaannya.
Sekali mengenjotkan tubuhnya, dia mengerahkan Thian-In Hui-cu (Menunggang Awan Langit). Tubuhnya melayang di atas pepohonan mendekati bagian terdalam dari lembah Rawa Hijau.
Tidak ada halangan. Tampaknya para penghuninya, kalaupun ada, sangat terlalu percaya diri. Dalam sekejab Han Sian sudah melihat sekumpulan orang yang sedang berkumpul di tengah lembah tersebut. Jumlah mereka ada 3 orang laki-laki tua. Anehnya, ketiga orang ini tampak berjungkir balik dengan kepala di bawah.
Sementara tangan mereka memegang tengkorak-tengkorak kepala bayi. Saat mereka mulai mengerahkan tenaga yang berhawa panas, kepala-kepala bayi tersebut mengeluarkan asap dan perlahan-lahan mulai menyusut. Asap-asap tersebut tidak lari kemana-mana tapi masuk ke dalam mulut mereka.
Sampai berapa lama mereka berlatih dan akhirnya ketiganya kembali berjumplitan ke udara dengan sebat. Dilain saat mereka telah saling menyerang dengan pukulan-pukulan dahsyat yang berhawa keji. Itulah Hui-Kut-Tok-Im-Ciang (Pukulan Racun Dingin Tulang Api).
Sementara ketiga orang ini terus berlatih dengan hebat, tiba-tiba terdengar suara mendengus.
“Huh, ternyata kalian penyebab malapetaka bagi para penduduk di sekitar sini...?!”
Ketiga orang itu segera menghentikan serangan mereka, dan memandang penuh selidik
“Siapa kau...?”
“Heh, siapapun aku adanya kalian tidak perlu tahu. Aku hanya datang untuk menghentikan perbuatan-perbuatan kalian yang jahat dan membawa kepala kalian kepada para penduduk di sekitar yang telah kalian rugikan.”
“Hoaahahahahah...” ketiga orang itu tertawa, salah satunya yang tertua berkata: “Kau bocah ingusan yang tidak tahu tingginya langit, berani mencari mati di sini...tahukah kau siapa kami?...”
Han Sian diam saja sambil terus menatap tajam ke arah mereka.
“Dengarlah orang muda, kami adalah Tee-Tok-Sam-Kwi, kami adalah salah satu dari 5 Iblis Bumi yang sakti“. Orang yang termuda yang meneruskan penjelasan kakaknya dengan suara angkuh sambil berharap pemuda di depannya ini akan kedar dan ciut nyalinya.
Tapi kembali dia kecelik. Yah, keistimewaan dari tiga orang ini memang terletak dari keberadaan mereka yang selalu bersama-sama. Meskipun demikian dalam urutan 5 Iblis mereka tetap di hitung satu dan menempati urutan ke empat dalam susunan para iblis tersebut.
Namun untuk berharap Han Sian akan takut, maka masih jauh dari kata mungkin karena pada dasarnya Han Sian memang belum pernah mendengar nama mereka.
“”Aku tidak tahu dengan nama Iblis kalian. Aku hanya ingin membawa kepala kalian saja.”
“Eh, sombongnya anak ini...?!” Berkata demikian, Orang ke dua di antar mereka segera menyerang Han Sian yang segera di elakkan pemuda itu dengan mengengoskan tubuh ke samping sambil memapaki pukulan lawan dengan kedua jari yang di luruskan. Dari tangannya keluar berkas pedang yang terbuat dari asap berwarna merah. Itulah salah satu jurus dari Bu-Tek Chit-Kiam-Ciang, yaitu Ang-In-Kiam-cu (Jalur Pedang Awan Merah).
“Aiaaaaaa.....” Orang kedua dari ketiga iblis tersebut menjerit dan segera melontarkan tubuhnya ke belakang. Tak di sangkanya ilmu lawan sedemikian dahsyat. Untung dia cepat menarik tangannya. Kalau tidak pastilah sudah menjadi korban hawa pukulan tajam yang sangat kuat tadi.
“Serang sama-sama” Segera terdengar suara komando dari yang tertua. Maka mulailah mereka mengurung Han Sian dan menyerangnya dengan pukulan andalan mereka yaitu Hui-Kut-Tok-Im-Ciang.
Malam yang dingin itu, terjadi pertempuran yang dahsyat. Tigapuluh jurus telah berlalu, namun sejauh itu belum juga ketiga Iblis itu dapat mendesak Han Sian. Bahkan justru pemuda itu yang terus mendesak mereka dengan jurus-jurus jari pedangnya yang aneh.
Lewat lima jurus kemudian, tiba-tiba Han Sian merobah permainannya. Tangan kirinya tetap memainkan jurus Ang-In-Kiam-Cu sedangkan tangan kanannya bersilat dengan jurus ke dua yaitu Hoa-jian-Kiam-Cu (Jalur Pedang Seribu Bunga).
Dari jarinya keluar hawa pedang tanpa ujud yang mengeluarkan bau harum bunga, tapi sangat dahsyat. Menghadapi serangan-serangan tersebut. Ketiga orang ini tak sanggup berbuat banyak. Hingga akhirnya merekapun jatuh terpukul.
Han Sian tidak berhenti sampai di situ saja. Sekali dia menggerakkan Thian-In Hui-cu, tubuhnya tiba-tiba lenyap dari pandangan lawan, dan di lain saat terdengar jeritan orang pertama-dan ke dua yang meregang putus nyama mereka dengan kepala terpisah dari badan.
Perlahan dia turun ke tanah sambil matanya memandang tajam ke arah orang ke tiga. Orang yang di tatapnya itu nampak pucat pasi, akhirnya tanpa dapat di cegah lagi dia terjatuh dengan lutut gemetar ketakutan tanpa dapat bersuara.
“Hemmn, aku beri kau kesempatan untuk menebus dosamu, bawa kepala ini dengan kedua tanganmu, dan akui semua perbuatan terkutuk kalian, kau hanya boleh mengerahkan tenaga agar tidak mati dari penganiayaan mereka...Ingat! bilamana aku melihat kau melawan...maka tanganku akan menjadi tangan iblis yang akan membuat matimu matimu lebih mengerikan dari kedua saudaramu, mengerti...?”
Iblis ke tiga itu hanya mengangguk saja dan melakukan apa yang di perintahkan Pemuda sakti di hadapannya ini.
Akhirnya menjelang pagi, Orang ke tiga dari Tee-Tok-Sam-Kwi yang sangat terkenal sakti ini berjalan lesu menuju ke arah perkampungan dan mengakui perbuatannya dan saudara-saudaranya.
Para penduduk desa yang menginterogasinya kemudian mendengar pengakuannya dan ceritanya bahwa dia serta kedua saudaranya di kalahkan oleh seorang yang bertangan Iblis. Para penduduk kemudian melampiaskan dendam mereka.
Dengan tenaganya yang sisa setengah, dia melindungi tubuh bagian dalamnya agar tidak mati. Tapi setiap kali dia mau melawan, matanya menangkap kilatan sinar mata yang mengancam dari jauh yang membuat hatinya keder dan takut untuk melawan.
Sementara itu Han Sian nampak puas dengan dengan pekerjaannya. Sambil menikmati udara pagi. Dia merebahkan dirinya di bawah sebuah pohon yang rindang. Namun beberapa saat kemudian dia menangkap suara langkah-langkah kecil mendekat. Dia membuka matanya saat langkah-langkah kaki itu tiba di depannya.
Tampak gadis cantik yang di tolongnya dari lima orang di pinggir sungai itu di hadapannya. Gadis itu paling banyak berusia 17 tahun, dan nampak segar. Walaupun hanya gadis biasa namun kecantikan alamiahnya memang cukup menawan dengan lekuk tubuh yang padat berisi.
“Maaf In-Kong, saya tahu bahwa budi pertolongan In-Kong yang membalaskan sakit hati desa kami sangat besar. Dan saya tahu bahwa orang yang sakti seperti In-Kong pasti juga tidak mengharapkan balasan apa-apa, tapi...” Gadis itu terdiam sejenak dengan wajah ragu-ragu dan muka merah...
“Nona Yan, katakanlah, aku tidak akan marah...”
“Be..benarkah In-Kong tidak akan marah...?” tandasnya masih ragu-ragu.
“Iya, aku tidak akan marah.” Sahut Han Sian lembut. Dia tidak habis pikir, mengapa gadis ini menjadi seperti ini.
“Mmm...kalau saya melakukan sesuatu, apakah In-Kong tetap tidak akan marah...?” tanyanya lagi dan kali ini dengan wajah yang lebih memerah..
Han Sian jadi geli hatinya. Segera dia memejamkan matanya, menaruh tangan kirinya di belakang sementara tangan kanannya di angkat sejajar bahu dengan dua jari teracung keatas berbentuk V.
“Benar nona Yan, aku bersumpah bahwa aku sama sekali tidak akan......hmmmmpps..” Tiba-tiba Han Sian tidak dapat melanjutkan kata-katanya. Matanya terbelalak. Betapa tidak? Bibir gadis itu sudah menempel dan menyumbat mulutnya.
Sesaat dia terkejut, tapi naluri kelaki-lakiannya berbicara lain. Apalagi dia sudah tidak asing lagi dengan hal tersebut. Otomatis tubuhnya bereaksi memberikan sambutan terhadap tubuh gadis yang nampak pasrah itu. Tangan Han Sian bekerja dengan cepat sehingga dalam sekejap saja tidak satupun pakaian gadis itu yang masih menempel di badan. Maka terjadilah pergumulan yang hangat dari kedua insan yang menikmati nikmatnya permainan cinta. Apalagi tatkala Han Sian Mulai menggerak-gerakkan pinggangnya menekan sesuatu yang keras keluar-masuk dengan kuatnya yang di sambut dengan rintihan-rintihan serta erengan lirih dan nikmat dari Yan-Er, sampai akhirnya:
"Aakkkhhhh....oohhhhh..." Gadis itu terkulai lemas, tak kuasa menahan lagi ketika pada puncaknya dia merasakan kenikmatan yang amat...amat sangat...ini terus di ulang oleh Han Sian dan berlangsung selama 2-3 kali.
Waktu berlalu dengan cepat. Hari menjelang sore ketika Han Sian berdiri di pinggir sungai dengan berpakaian lengkap. Di belakangnya gadis itu baru saja habis membetulkan pakaiannya.
“In-Kong, sekarang apa rencanamu?”
Han Sian berbalik dan menghadap pada gadis itu sambil memandang dengan penuh selidik
“Nona Yan, apakah nona menyesal dengan semua yang telah terjadi?”
“Akhh, tidak...bisa menyenangkan orang yang telah menjadi penolongku, justru sangat menyenangkan hatiku...hanya... sebelum berpisah, bolehkah aku mengetahui nama In-Kong? Menyelesaikan kalimatnya, Yan-Er mengangkat wajahnya dan memandang dengan tersipu.
Han Sian membalas senyuman itu sambil mencubit dagu gadis itu. Dilain saat Tubuhnya sudah melayang menyeberangi sungai itu sampai ke seberang dan lenyap dengan cepat.
“Tuan...?” Yan-er berteriak sambil menatap hampa bayangan pemuda itu. Tapi tiba-tiba terdengar suara yang menggema di telinganya.
“Namaku Han Sian, Tee-Tok-Sam-Kwi menyebutku Tangan iblis, maka biarlah mulai sekarang aku pakai nama itu...” perlahan suara itu lenyap.
Yan-er tertegun, dengan lirih mulutnya mengulangi nama yang baru saja sirna dari telinganya: “Tangan Iblis...ya...ya...Pendekar Asmara Tangan Iblis.....Pendekar Asmara Tangan Iblis...”
Entah bagaimana caranya beberapa bulan kemudian, dunia kang-ouw telah mengenal nama julukan ini sebagai salah satu dari beberapa pendatang muda yang sakti di dunia kang-ouw.