Laman

Jumat, 12 April 2013

Bu-Tek Chit-Kiam-Ciang

Hari sudah menjelang malam, ketika Han Sian selesai menguburkan semua mayat tersebut.
Sejak tadi Han Sian hanya membiarkan saja gadis itu berdiam diri di depan kuburan kedua orang tua angkatnya. Tak lama kemudian terlihat dia bergerak perlahan. Mungkin karena duduk berjam-jam membuat berdirinya tidak kokoh, sehingga gadis itu sempoyongan hampir jatuh.
“Hui Si Cicie, kau kenapakah ...?”Tahu-tahu Han Sian telah berdiri disamping Tang Hui Si dan menahan bahunya.
“Uuhhk, tidak ... tidak apa-apa!” Berusaha menguatkan hatinya, Tang Hui Si berusaha berdiri tegap, tapi justru lebih parah. Kepalanya jadi pusing dan lain saat dia sudah terkulai pingsan.Kalau saja Han Sian tidak segera menggendongnya, niscaya tubuh dara ayu yang aduhai itu akan terbanting ke tanah.
Han Sian menggendong gadis itu dengan kedua tangannya. Setelah memastikan susana disekelilingnya sejenak, dia berjalan kearah sebuah rumah di sebelah kirinya yang paling besar. Agaknya itulah rumah yang dijadikan tempat Tang Kai sekeluarga.
Setelah memasuki sebuah kamar yang bersih, dibaringkannya tubuh gadis itu. Hatinya terkagum. Tanpa terasa dipandanginya wajah yang cantik namun agak kepucat-pucatan itu.
“Ahh, kasihan engkau, Enci Hui Si ..! Begitu berat pukulan batin yang kau terima ...!”
Malam itu dilewati dengan tenang sampai keesokan harinya. Ketika ayam mulai berkokok, Han Sian tersadar dari semedinya. Perlahan dia membuka matanya dan menengok ke kiri. Tapi tubuhnya segera meloncat berdiri tatkala didapatinya gadis itu tidak berada di pembaringannya lagi.
Sekali berkelebat, tubuh Han Sian segera melesat keluar, tiba-tiba ...
“Ehh ...” Tubuhnya yang melesat cepat itu berpapasan dengan tubuh gadis itu. Tidak keburu baginya untuk menghentikan laju tubuhnya. Kakinya menutul perlahan ke lantai sambil tubuhnya tiba-tiba bergerak aneh, melejit seringan kapas. Tapi tahu-tahu, sudah berada di sebelah belakang gadis itu.
Segera Hui Si membalikkan tubuh menghadapi pemuda tersebut sambil tersenyum manis. Manis sekali sampai Han Sian terbeliak, terpesona. Betapa tidak, gadis didepannya sungguh sangat cantik. Sekejap pikirannya tiba-tiba teringat dengan Cu In Lan. Hanya bedanya gadis di depannya ini nampak lebih dewasa beberapa tahun dan lebih masak dari Cu In Lan.
“Hai Sian te, maaf sudah membuatmu terkejut?”
“Eh …? Iya …! Iya … eh tidak apa-apa ...! Oh syukurlah kalau Hui Cicie sudah tidak apa-apa ...!”
Sedikit ragu Han Sian memandang rupa orang, tapi segera keraguannya lenyap karena tidak didapatinya sinar kesedihan lagi di wajah yang ayu didepannya ini.
“Marilah, kau ikut denganku ...!” Ajak Tang Hui Si dengan mulut masih tersenyum, “Apa kau pernah mendengar tentang Kolam Pedang Asmara?”
“Hemm, tidak ... kolam apakah itu?”
“Kolam itu adalah pusaka lembah ini yang tidak diketahui siapapun selain ayah dan aku. Tapi aku belum pernah memasuki tempat tersebut kaarena menurut ayah sangat berbahaya bila dimasuki oleh seorang wanita.”
“Eh, kalau berbahaya, kenapa Hui Cicie berkeras mau memasukinya?”
Gadis itu tertunduk, sahutnya lirih, “Ayah sudah tiada, lagi pula sudah lama memang aku ingin melihat tempat itu ... dan ...” Berhenti sejenak, kemudian sahutnya dengan muka merah, “Dan lagi ada kau disini, takut apa?”
Segera Tang Hui Si membalikkan tubuh dan berjalan ke depan mendahului Han Sian yang hanya terbengong saja mendengarnya. Akhirnya kaki Han Sian pun melangkah mengikuti dari belakang.
Kira-kira hampir setengah jam mereka berjalan menuruni lereng terjal bagian belakang lembah pedang tersebut sampai di sebuah guha kecil yang sebenarnya lebih mirip sumur. Mulut sumur itu hanya kecil dan hanya bisa dimasuki satu tubuh saja.
Tanpa ragu Hui Si memasukki mulut sumur itu, diikuti Han Sian. Ternyata hanya mulut sumur itu saja yang kecil, sedangkan semakin ke dalam semakin lebar dan bercahaya.
Lima menit kemudian tibalah mereka di bagian dalam yang membuat mereka berdua terbeliak kagum.
Ruangan itu sangat luas. Di depan mereka ada aliran kolam kecil berair jernih berwarna agak kebiruan dengan ukiran pinggiran kolam yang indah.
Di atas kolam tersebut ada patung dua orang pria dan wanita yang sedang bercinta, sangat hidup, seolah-olah nyata. Tapi yang aneh di tangan kiri patung pria itu memegang sebuah pedang berwarna perak tipis yang ujungnya ditusukkan ke buah pinggang kiri dari patung wanita yang ditindihnya.Dari buah pinggang kiri patung wanita cantik itulah keluar aliran air jernih berwarna kebiruan itu.
Sementara keadaan dalam ruangan itu terang oleh gemerlap Langit Langit yang ternyata terbuat dari marmer putih yang dapat memantulkan cahaya.
Han Sian mengagumi keadaan di dalam ruangan itu. Matanya melirik sekilas pada Hui Si untuk melihat reaksi gadis itu. Tapi dia tertarik karena melihat pandangan Hui Si tertuju pada sebuah ukiran kecil yang indah di bawah kedua patung yang sedang bercinta itu, hampir tidak kelihatan:
“Bila asmara Langit bumi menyatu
Tak Terhindar sumpah dan kutuk
Jodoh Pedang Asmara dan
Kitab Ilmu Pedang Iblis Bumi.
Hanya sekilas Han Sian membacanya, tapi tidak mengerti, dilihatnya Hui Si juga hanya mengerutkan kening saja. Diapun tidak memperhatikan lagi. Matanya justru tertari kepada salah satu sumur tua diarah kiri. Perlahan dia melangkah mendekati.Ternyata dari dalam guha itu mengeluarkan asap tipis yang tidak bau. Dan asap ini memenuhi seluruh ruangan, tapi hanya sedikit saja.
Baik Han Sian maupun Hui Si sama sekali tidak menyadari pengaruh dari asap tersebut yang mempengaruhi nafsu mereka perlahan-lahan. Hanya saja mereka berdua adalah orang-orang muda yang berhati lurus dan memang belum pernah mengalami hal-hal yang lebih intim, maka pengaruh asap itu bekerja sangat lambat.
Han Sian membalikkan tubuhnya menghadap Hui Si, tapi apa yang dia temukan sungguh sangat mengejutkan. Darahnya berdesir. Betapa tidak?
Gadis itu sekarang berdiri membelakanginya nyaris tanpa pakaian. Perlahan namun sangat pasti, Han Sian menyaksikan betapa gemulai sepasang tangan gadis itu melepaskan baju pakaian terakhir yang melekat ditubuhnya.
Tubuh gadis itu terpampang di depan matanya. Dari belakang dia bisa melihat kulit yang putih mulus, dengan tubuh yang ramping padat. Apalagi bentuk paha dan pinggul yang bulat itu. Han Sian tak tahan, segera ia memejamkan mata. Namun bayangan tubuh itu tetap tidak mau hilang dari pikiran Han Sian.
Perlahan gadis itu melangkah memasuki kolam dan semakin lama tubuhnya semakin tenggelam sampai sebatas leher, dan akhirnya kepala dengan rambut yang panjang itupun tidak kelihatan lagi.
“Hui Cicie ...!” Teriak Han Sian khawatir ketika membuka mata, dan tidak melihat Hui Si. Segera dia memburu ke tepi kolam.
Saat Han Sian hendak menjulurkan tangannya menyibak air kolam, tiba-tiba sebuah tangan yang putih mulus keluar dari dalam air dan menangkap tangannya. Han Sian tertegun sejenak.
“Hui Cicie, apakah ...?” Kalimat Han Sian terpotong ketika kepala pemilik tangan itu tersembul keluar ...
“Sian te, airnya sangat nikmat, menyegarkan ... kau ... kau temanilah aku!”
Tanpa melepaskan tangannya, Tang Hui Si keluar perlahan dari air sampai sebatas pinggang. Tubuhnya nampak mengkilat bagaikan pualam.
Tidak dapat tidak, Han Sian memandangi gadis cantik di depannya ini, kali ini berhadapan, sehingga dengan jelas dia dapat melihat keindahan tubuh yang langsing padat, dengan dua buah dada yang besar dan kencang itu. Sungguh gadis yang telah benar-benar matang.
Sesaat kemudian, kedua tangan gadis itu, entah kapan telah merangkul erat leher pemuda yang baru jaya-jayanya dalam pertumbuhan ini sehingga bibir mereka menyatu. Sampai lama mereka berciuman. Naluri kelaki-lakiannya mulai mengerjakan bagiannya yang memang menjadi sifat alami setiap insan di dunia yang berlainan jenis ini.
*****
Han Sian dan Hui Si sudah tidak mengetahui lagi sudah berapa lama mereka bergumul dan entah sudah berapa kali mereka melakukannya, namun sampai kapanpun itu mereka lakukan selalu diakhiri dengan senyum kepuasan yang amat sangat.
Namun “malang tak dapat ditolak” taktala untuk ke sekian kalinya mereka bercinta, mereka, bahkan Han Sian yang sedang terlena sendiripun, tidak menyadari bahwa di ruangan itu sudah bertambah tiga orang yang aneh-aneh.
“Hehehe ...! Song Bun Mo Ong, inikah pemuda yang kau katakan hebat itu ...? Kenapa yang ku lihat tidak lebih dari budak nafsu saja ...?”
Betapa terkejutnya Han Sian saat menyadari akan hal ini, tapi baru saja dia hendak melepaskan pelukannya, tiba-tiba dia merasakan pelukan Hui Si mengencang dan memaksanya membalikkan tubuh sehingga posisi Hui Si berada di atas.
Saat itulah mukanya menjadi pucat seketika, namun terlambat ...pukulan maut Song Bun Hiat Jiu yang dahsyat sudah bersarang di punggung dan pinggang gadis itu yang hanya mampu mengeluarkan keluhan pendek. Dilain saat tubuh mereka berdua terlempar menabrak sumur di sudut sebelah diri ruangan itu hingga hancur.
Rupanya Song Bun Mo Ong yang sudah mengetahui kehebatan Han Sian, tidak mau berlaku ayal. Mengambil kesempatan selagi kedua orang muda itu tidak siap, dia sudah melancarkan pukulan dengan seluruh tenaganya. Sayang Hui Si yang terlebih dahulu melihat ini, tidak mau membiarkan pukulan itu mengenai Han Sian, dan segera bertindak pada detik-detik terakhir.
Han Sian tersadar, namun akibat pengaruh pukulan keji tersebut, dia juga telah mengalami luka yang cukup parah. Walaupun dia tadi sempat mengerahkan tenaga, tapi itu tidak berarti banyak. Han Sian terlalu kelelahan selama beberapa waktu ini.
Sambil menahan sakit, Han Sian memeluk tubuh Tang Hui Si yang sudah tak bernyawa lagi.
“Hui Cicie ...!” Mata Han Sian jadi merah karena marah dan sedih yang bercampur menjadi satu. Perlahan dia meletakkan tubuh Tang Hui Si.
Segera Han Sian mengerahkan tenaganya. Tenaganya hanya bisa dikeluarkan setengahnya. Namun dia tetap berusaha. Sampai lama, akhirnya dia muntah darah segar. Kenapa? Ternyata dia berusaha untuk mengerahkan Kui Sian I Sinkang tapi tidak bisa, dalam sekejap Han Sian coba lagi dengan Bu Tek Chit Kiam Ciang, tapi juga tidak bisa, karena tenaganya tidak cukup sehingga membuat lukanya lebih parah.
Sebenarnya Han Sian telah mencoba mengerahkan ilmu ketiganya yang dia pelajari dari kitab-kitab sakti di Tebing Langit tapi juga tenaganya tetap tidak cukup.
Sementara Han Sian termenung, Salah satu dari dua orang yang ikut datang mendampingi Song Bun Mo Ong, mendengus, ”Anak muda, engkau menyerah saja, agar tidak perlu membuatku mengotori tangan ...!”
Berkata demikian, tangannya berbentuk cakar dipukulkan kearah Han Sian dengan mengeluarkan suara berdesing ...Itulah Hek Coa Tok Sin Ciang (Pukulan Sakti Racun Ular Hitam).
Tiada waktu buat Han Sian untuk berpikir panjang. Diapun belum ingin mati. Segera terdengar dengusan tajam dari hidungnya. Tangannya memapaki pukulan lawan dengan ilmu “Inti Petir Murni” dengan sisa-sisa tenaga terakhirnya.
“Dhuuaaar …!”
Kembali benturan keras terjadi. Orang yang memukul itu terdorong ke belakang empat langkah, sedangkan Han Sian merasakan tubuhnya terlempar dan melayang sampai lama dan membuat dia tidak sadarkan diri.
Tanpa dia sadari, tubuhnya melayang masuk ke dalam sumur tua yang entah berapa dalamnya.
Sementara itu salah satu dari tiga pendatang tersebut, ternyata adalah Tee Sun Lai. Dia tidak memperdulikan keadaan ketiga orang yang sedang bertempur. Matanya tertarik melihat kearah patung pria dan wanita yang sedang bercinta itu.Tee Sun Lai terpaku memandangi patung itu sampai akhirnya dia mendengar suara gurunya.
“Sun Lai ayo kita pergi!”
“Suhu, ijinkanlah Teecu tinggal beberapa lama disini. Pahatan patung ini sangat menarik …”
“Hehehe ...! Guru dan murid sama saja, dasar memuakkan ...!” Orang yang memiliki pukulan Hek Coa Tok Sin Ciang itu menyahut. Sebenarnya dia sudah terluka dalam. Hanya dia gengsi dan tidak mau menunjukkan kepada rekannya, sehingga walaupun kedua patung itu juga menarik perhatiannya, tapi yang lebih utama dia pikirkan adalah menyembuhkan lukanya dahulu.
“Hahaha ...! Hek Coa Sin Kay, sekarang kau sudah rasakan kehebatan pemuda itu bukan, dalam keadaan terluka saja dia masih sanggup menggempurmu empat langkah. Lebih baik kau tidak usah mencampuri urusan kami guru dan murid, mari kita pergi ...!” Berkata demikian Song Bun Mo Ong membalikkan tubuh dan berlalu dari situ.
Sementara itu, Tee Sun Lai yang masih terpaku pada patung itu seperti tersihir, melompat ke atas patung itu. Sekali tangannya bergerak, dia telah melemparkan patung pria yang menindih patung wanita itu ke tanah hingga hancur.Ternyata kedua patung itu tidak menyatu seperti kelihatannya.
Seperti orang gila Tee Sun Lai memeluk patung wanita cantik tersebut dan menggumulinya. Sampai lama, semakin dia menggumuli, semakin kuat tenaga saktinya dikerahkan di seluruh tangan sampai akhirnya terdengar suara retak.Patung wanita cantik itu retak dan hancur.
Tee Sun Lai tersadar dan segera meloncat turun. Melihat patung itu hancur, terbersit juga rasa penyesalan di hatinya. Tapi hatinya tertarik ketika matanya melihat sesuatu bungkusan kain hitam diantara hancuran patung tersebut.
Segera Tee Sun Lai mengenjotkan tubuh kembali ke atas dan tangannya menyambar bungkusan hitam itu.
Dengan hati-hati dia membuka bungkusan itu untuk melihat isinya. Hatinya berdebar-debar. Setelah dibuka, matanya memancarkan sinar kegirangan. Isi bungkusan itu adalah sebuah kitab hitam yang sudah usang dan tua sekali.
Tee Sun Lai coba membuka-buka halaman kitab itu. Dia tidak mengerti tulisan-tulisan yang tertera di kitab tersebut, tapi betapa senangnya ketika dia menemukan gambar-gambar orang yang bersilat dengan ilmu pedang tingkat tinggi yang amat dahsyat.
Tee Sun Lai kemudian tertawa terbahak-bahak seolah anak kecil yang baru mendapat mainan baru.
Segera Tee Sun Lai menyembunyikan kitab itu di balik baju dan bangkit berdiri. Dari pecahan patung pria yang dibuang tadi, dia temukan lagi satu kitab mengenai sejarah dan rahasia membaca tulisan kuno tersebut.
Setelah membaca sejenak, dia mengetahui ternyata kitab itu adalah warisan Iblis Pedang yang berjaya kurang lebih 250 lalu. Itu adalah ilmu pedang “Tee Mo Kiam Sut”.
“Buukk …!”
Akhirnya tubuh Han Sian mendarat di tanah. Setelah sekian lama melayang-layang di udara. Sekian lama, yang ada hanya keheningan. Entah berapa lama keheningan ini berlangsung.
Ketika Han Dian tersadar, dia mendapati seluruh tubuhnya tidak bisa digerakkan, sakit dan tulang-tulangnya nyeri.
Han Sian segera sadar bahwa luka-lukanya sangat parah. Dia keracunan hebat karena adanya dua macam hawa pukulan beracun bersarang ditubuhnya.
Perlahan dia teringat Ilmu ke tiga yang dilatih dari kitab-kitab kuno di Tebing Langit. Ilmu mujizat Hui Im Hong Sinkang (Tenaga Sakti Burung Hong Api Dingin).
Puncak tertinggi dari ilmu tersebut adalah peleburan tenaga sakti Api Dingin. Dimana pada taraf yang tertinggi sanggup menghasilkan tenaga penyembuh mujizat dalam sekejap sehingga pemilik ilmu tersebut sangat susah ditaklukkan tapi juga menjadikan ilmu tersebut sebagai ilmu terlarang karena daya penghancurnya yang sangat dahsyat.Tapi sayang, walau Han Sian sudah berusaha sekuat mungkin untuk memahami rahasia ilmu ini tapi tetap masih menemukan kesulitan.
Saat-saat yang cukup kritis dalam hidupnya ini, Han Sian coba mengerahkan ilmu itu dan ternyata berhasil dibangkitkan. Ternyata syarat untuk melatih ilmu ini, dia harus terluka parah terlebih dahulu.Dalam keadaan tidak bergerak, Han Sian memahami rahasia mengerahkan ilmu ini dan menyembuhkan luka-lukanya.
Tubuh Han Sian terasa tersiksa sekali.Selama tiga hari-tiga malam Han Sian berada dalam keadaan tidak bergerak ini. Semua ilmu yang pernah dilatihnya, bergantian dikerahkan dan tenaganya bergerak ke sana kemari menetralisir racun dan menjebol semua penghambat di tubuhnya.
Akhirnya pada hari ke tiga, Han Sian merasakan tubuhnya sudah mulai bereaksi. Perlahan tubuhnya terangkat melayang ke atas setinggi dada.
Han Sian membuka matanya, seluruh tubuhnya dirasakan dipenuhi tenaga. Bahkan sinar keemasan memancar dari sekeliling tubuhnya.
Sungguh luar biasa. Dia dapat merasakan gerakan tenaga yang dahsyat bergerak seolah olah ingin menerobos keluar. Segera dia menyalurkan tenaganya memainkan delapan Tingkat dari Ilmu tersebut dengan baik tanpa kesulitan seperti dahulu.
Bahkan ketika Han Sian memainkan Kiu Sian I Sinkang dan Bu Tek Chit Kiam Ciang serta ilmu “Pukulan Inti Petir Murni”, semuanya dia lakukan tanpa kesulitan sama sekali.
Setelah bersilat hampir setengah hari, tiba-tiba Han Sian menarik kembali tenaganya dan berhenti bersilat. Keadaan dalam Guha yang cukup lebar itu nampak-porak poranda hampir tak berbentuk lagi.
Tapi bukan itu yang menjadi perhatiannya. Mata Han Sian menangkap bayangan peti mati besar dari besi hitam yang berdiri disalah satu sudut guha tersebut. Peti itu telah hancur sebagian terkena terjangan hawa pukulannya.