Laman

Selasa, 16 April 2013

3. Puncak Kabut Pedang 1

Puncak Kabut Pedang merupakan salah satu dari lima puncak tertinggi di barisan pegunungan Thai San. Puncak ini sangat mustahil di datangi oleh orang biasa. Selain sangat tinggi dan di kelilingi oleh jurang-jurang, puncak ini hanya dapat di capai dengan mengandalkan ilmu-ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi seperti “Langkah Angin Menembus Langit” atau “Melayang Bagai Kapas” serta “Tangga Langit”.
Sayangnya ilmu-ilmu meringankan tubuh seperti ini sangat sulit untuk di miliki dan hanya dapat di kuasai oleh orang2 yang sudah memiliki tenaga dalam yang sempurna, dan pada masa itu mungkin sangat sukar di cari orang yang telah menguasainya.
Jauh di dasar Puncak Kabut Pedang yang biasanya sepi, kali ini terlihat bayangan seorang laki-laki yang berlari dengan cepat mendaki ke atas sambil berloncatan dari jurang yang satu ke jurang yang lain. Di kedua lengannya mengempit Sepasang gadis berusia empat belas tahun yang sedang pingsan karena luka-luka yang cukup parah. Tampaknya laki-laki ini memiliki ginkang yang tidak lemah. Terbukti dia dapat berlari cepat walaupun menggendong kedua gadis tersebut.
Tiba-tiba langkah laki-laki itu terhenti. Matanya memandang ke depan. Di hadapannya tampak dua orang berkerudung hitam sedang memegang golok bergerigi di tangan.
“Serahkan kedua gadis itu pada kami, maka nyawamu akan kami biarkan utuh…”
Laki-laki itu tetap berdiam. Sambil mengawasi kedua orang di depannya, langkahnya mundur dengan perlahan. Tiba-tiba tubuhnya membalik dan berlari ke arah yang berlawanan.
Namun belum juga jauh tubuhnya berlari, tiba-tiba berkelebat satu bayangan yang diikuti suara desingan senjata tajam mengarah kebelakang kepala laki-laki tersebut.
“Ziiiing…..” “Uuts…” Merasakan adanya bahaya, laki-laki itu membungkukkan badannya dengan cepat menghindari tusukan pedang. Namun bayangan yang membokongnya itu tidak berhenti sampai di situ saja. Tangan kirinya bergerak, dan tampak puluhan sinar berkeredapan dengan amat cepatnya menghajar tubuh laki-laki itu tanpa dapat di hindari lagi.
“Aaaaakhh…” Tatapan laki-laki itu tiba-tiba jadi gelap. Salah satu Gadis berusia di tangan kirinya terlepas dan terlempar ke bawah jurang…”Goat-Kiongcu…aaakkhhh…”
Tanpa dapat meneruskan suaranya, laki-laki itu terjerembab ke tanah sambil tetap memeluk gadis yang satunya lagi. Megap-megap suaranya berbisik: “Seng-Kiongcu…hamba tidak dapat menahan lagi…maafkan hamba…maafkan hamba…” Perlahan tapi pasti, suara itu lenyap seiring dengan lenyapnya nyawa orang laki-laki itu.
“Heeemmn…cari mati sendiri” Salah satu dari kedua orang berkedok hitam itu berkata dengan suara dingin. Kemudian mengalihkan tatpannya kepada gadis satu lagi yang pingsan tersebut.
“Akan kita apakan gadis ini?” Sahut orang berkedok yang satunya lagi.
“Binasakan saja. Membiarkannya hidup hanya akan menambah bibit penyakit di kemudian hari”
Sehabis berkata demikian, tangannya yang memegang pedang di gerakkan menusuk kepala gadis yang di sebut Seng-Kiongcu (Putri Bulan) oleh laki-laki yang mati tadi. Tampaknya tidak ada harapan lagi bagi sang gadis. Tiba-tiba…
“Lancang…! Membunuh di wilayah kekuasaanku tanpa seijinku…” Suara itu tidak terlalu keras, namun nadanya datar dan dingin dan terasa seperti bunyi halilintar di telinga kedua orang berkedok hitam tersebut. Hal mana membuat kedua orang itu terkejut. Namun belum lagi mereka mengetahui siapa yang telah datang, tiba-tiba mulut mereka menjerit histeris dan tubuh mereka terpelanting. Mereka bahkan tidak sempat tahu sama sekali apa penyebab kematian mereka.
Bayangan seorang kakek berusia delapanpuluh berjubah merah berkelebat ke dekat gadis yang pingsan itu. Tangannya mengurut sebentar beberapa jalan darah di tubuh gadis itu sehingga membuatnya sadar.
“Hemm…gadis yang malang, siapa namamu?” Suara kakek berjubah merah itu perlahan, namun agak serak kedengaran di telinga gadis tersebut.
Gadis itu tidak menjawab, kepalanya berputar ke-kanan-kiri sampai berhenti di atas dua sosok tubuh berkerudung hitam yang terkapar tak jauh dari tempat itu. Namun tidak berlangsung lama karena mata itu kembali terpaku pada sesosok tubuh yang agak jauh.
Dengan cepat, walaupun masih lemah, gadis itu merayap dengan kedua kaki tangannya ke arah mayat tersebut sambil menangis sesengukan.
“Paman kwa…paman kwa…huhuhuhuuuu, jangan mati paman! Jangan mati…jangan tinggalkan Lin Hong paman, huhuhuuuu….!”
Sepeminuman teh kemudian, saat suara tangis gadis itu mulai reda, terdengar kakek berjubah merah itu berkata: "Pamanmu sudah mati, di manakah rumahmu...lohu akan menyuruh orang mengantarmu pulang..."
Gadis menggelengkan kepala, "Semua sudah mati...di bunuh penjahat...aku sebatang kara..."
Saat mengatakan hal ini tatapan gadis itu mencorong penuh kebencian.
Dengan perlahan, kakek berjubah merah itu membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi ke puncak gunung. Seng Lin Hong melihat kakek itu melangkah pergi, segera bangkit dan mengikuti dari belakang.
Jalan kakek berjubah merah itu semakin lama-semakin cepat. Maka gadis itu lalu mengerahkan tenaganya mengikuti dengan cepat, namun dia kalah jauh. sekejap saja dia telah tertinggal jauh.
"Lopeh..tunggu! Teriak gadis itu dengan putus asa, namun tetap saja kakek berjubah merah itu sudah tidak kelihatan lagi. Dengan putus asa akhirnya dia menjatuhkan diri di atas sebuah batu dan menangis.
"Oh ayah...ibu...anak tidak berbakti! anak tidak bisa belajar ilmu nomor satu untuk membalas musuh-musuh itu...huhuhu...."
"Hemm, kau ingin belajar ilmu nomor satu?..." Tiba-tiba terdengar suara serak di telinganya. Tubuhnya tersentak berdiri. Gadis itu membalikkan tubuhnya dan memandang dengan terbelalak. Kakek berjubah merah itu sudah ada di depannya lagi.
Melihat ini betapa senang hatinya. Walaupun dengan mata yang bercucuran air mata, segera dia berlutut di hadapan kakek itu.
"Mohon kemurahan hati kiranya locianpwe yang agung sudi menerimaku sebagai murid..."
"Huh, aku tidak mau menerima murid cengeng sepertimu, pergilah dari tempat ini..." Kakek itu menatap dingin, kemudian sekali lagi membalikkan tubuh dan lenyap dari situ.
Seng Lin Hong termangu-mangu, namun di lain saat dia menyeka airmatanya dan berseru: "Locianpwe, teecu tidak akan menangis lagi... untuk membuktikannya, teecu tidak akan berdiri dari tempat ini sampai kau orang tua menerimaku..." Tidak ada jawaban.
Waktu berlalu, hari menjelang pagi. Tampak tubuh Seng Lin Hong memeluk tangannya dan meringkuk di tengan jalan itu. Satu malam telah lewat, namun dia tidak berdiri juga. Kekerasan hatinya sungguh luar biasa.
"Hehehe...kau anak gadis yang keras hati, berdirilah lohu menerimamu..." Tiba-tiba terdengar suara yang parau menggema ke telinganya. Di lain saat berkelebat bayangan merah menyambar lengannya dan menarik gadis itu dan melesat menuju ke atas Puncak Kabut Pedang.
Siapakah kekek berjubah merah itu? Dia bukan lain adalah Penghuni Puncak Kabut Pedang yaitu, Ang-I-Giam-Sian (Dewa Neraka Berjubah Merah) Tek Kun yang merupakan salah satu dari empat Bulim-Su-Sian. Tampaknya Thian sudah mengatur nasib gadis itu.
Sejak saat itu Seng Lin Hong mendapat gemblengan keras Ang-I-Giam-Sian (Dewa Neraka Berjubah Merah) Tek Kun yang memperdalam ilmu-ilmunya dengan ilmu silat tingkat tinggi terutama "Cui-Beng Chit-Seng-Khi (Hawa Tujuh Bintang Pengejar Nyawa) yang bisa menyerap tenaga lawan, Ang-In-Hoat-sut-I-Ciang (Pukulan Jubah Sihir Awan Merah), dan Ilmu Tangga langit yang dahsyat.
Bersambung ke bagian 2...