Laman

Selasa, 16 April 2013

7. Pertarungan Pertama

Hari itu telah senja menjelang malam ketika dengan perlahan Hong Sin memasuki kota besar Su Chuan. Sudah lima hari dia melakukan perjalanan seorang diri. Dandanannya sederhana, dengan pakaian, berjubah putih panjang dan lengan baju yang di gulung seadanya sampai sebatas sikut, Kepalanya memakai sebuah caping bambu. Meski demikian, tetap tidak dapat menutupi perawakannya yang sedang, tegap dan tampan.
Tujuan perjalanannya kali ini bukanlah untuk bersenang-senang. Telik sandi yang dia sebarkan telah melaporkan adanya pergerakan yang mencurigakan di kota itu. Beberapa pembunuh berantai yang membantai beberapa tokoh-tokoh puncak dari enam perguruan silat akhir-akhir ini telah di temukan jejaknya, berkeliaran tak jauh dari sekitar kota Su Chuan yang besar ini.
Dengan sebatang kipas lempit di tangan kirinya, dia berjalan sambil mengipasi tubuhnya. Yang tidak berkeringat. Langkah kakinya berhenti di depan sebuah rumah makan yang cukup terkenal dekat pintu gerbang selatan. Seorang pelayan di depan rumah makan itu cepat-cepat mempersilahkannya masuk.
“Terima kasih paman, tolong sediakan makanan secukupnya di tempat duduk paling ujung dekat jendela di sebelah utara itu…” Katanya sambil tersenyum saat telah berada di dalam rumah makan tersebut. Pelayan tersebut mengiyakan kemudian berlalu untuk menyediakan pesanan pemuda itu.
Posisi yang di pilihnya memang strategis, karena dari sudut ini dia bisa memandang ke seluruh ruangan dengan baik. Tak lama kemudian semua pesanan datang dan dia mulai makan dengan lahapnya.
Saat makanannya sudah hampir habis, dengan ekor matanya yang tajam dia menangkap gerakan dari jendela yang menghadap ke jalan. Sebuah kereta kuda mewah yang di tarik oleh dua ekor kuda yang gagah berhenti tepat di hadapan rumah makan tersebut.
Tertarik dia melihat kereta ini sehingga terus memperhatikan dengan seksama. Tak lama kemudian pintu kereta terbuka. Dari dalamnya keluar dua orang pemuda perlente yang berpakaian sutera mahal. Yang satu memakai jubah berwarna hitam, berusia dua puluh tiga tahun. Wajahnya cengar cengir dengan mata yang liar. Sedangkan pemuda yang satunya lagi memakai jubah kuning, berusia duapuluh lima tahunan. Wajah aneh, seperti bukan orang kebanyakan yang ada, dengan mata besar serta alis yang melengkung membayangkan kekerasan hati.
Tidak ada yang terlalu mengherankan dari tampang kedua orang ini bagi orang banyak. Namun bagi Hong Sin, dia dapat melihat sinar mata yang samar-samar keluar dari tatapan pemuda berjubah kuning tersebut. Diam-diam dia meningkatkan kewaspadaannya.
Saat kedua pemuda itu memasuki rumah makan tersebut. Tiba-tiba Hong Sin mulai merasakan tekanan udara yang lain dari biasanya. Tenaganya segera di kerahkan untuk melawan namun saat itu juga langsung di tekan dan di tarik pulang. Sekejap dia melirik ke arah kedua pemuda itu kemudian melanjutkan makannya dengan santai.
Pemuda berpakaian kuning tersebut mengerutkan keningnya. Saat dia masuk tadi dia telah mengerahkan tenaganya untuk menjajal apakah ada orang yang berkepandaian di sekitar situ ataukah tidak. Sekilas dia meraskan ada muncul perlawanan, namun saat dia mulai mengerahkan tenaga lebih kuat, tenaga perlawanan itu tiba-tiba lenyap. Herannya, dia tidak bisa mendeteksi dari mana arah tenaga aneh yang hanya muncul sekejap tersebut.
Dengan langkah yang pasti kedua pemuda itu berjalan ke meja besar di tengah ruangan dengan di antar oleh pemilik rumah makan. Agaknya salah satu dari kedua pemuda perlente itu cukup terkenal, terbukti dari wajah cukong rumah makan tersebut yang terbungkuk-bungkuk dengan hormat menyapanya.
“Silahkan Gan-kongcu, agaknya kongcu mempunyai teman baru? Semoga pelayanan kami tidak mengecewakan kongcu…”
“Hemn, kalau kau tidak melayani dengan baik, kepalamu akan segera menggelinding ke bawah meja. Tambahkan lagi lima kursi, aku hendak menjamu Talibu-kongcu ini dan beberapa jago besar yang akan datang sebentar lagi…” Pemuda berjubah hitam yang di panggil Gan-kongcu itu berkata dengan suara keren sambil mengulapkan tangannya.
Kepala pelayan itu segera memerintahkan pelayan yang ada untuk menyiapkan semua kebutuhan dengan cepat. Tak lama kemudian, dari pintu masuk bermunculanlah lima sosok yang berkelebat cepat bagaikan hantu. Namun yang membuat Hong Sin terkejut bukanlah kemunculan mereka, melainkan hawa pembunuhan yang di bawa oleh kelima orang ini. Dalam sekejap saja beberapa orang yang ada di sekeliling tempat itu langsung pingsan.
Kelima orang ini memiliki tampang yang cukup menggetarkan. Beberapa tamu yang mengetahui siapa adanya orang-orang yang baru datang ini segera meninggalkan makanan mereka walaupun belum habis, hingga hanya tersisa Hong Sin di sudut serta seorang pemuda halus berpakaian sastrawan di sudut yang lain.
Gan-kongcu segera berdiri menyapa kelima orang tersebut, sedangkan pemuda berpakaian kuning itu tetap duduk dengan angkuhnya.
“Cahye, Gan Thong Ki, menyapa para cianpwe yang terhormat untuk sudi menikmati jamuan sederhana ini….silahkan-silahkan…” Pemuda itu segera mempersilahkan kelima orang itu untuk duduk.
Sementara itu tampak sinar berkilat keluar dari mata kelima orang itu ketika melihat pemuda berpakaian kuning itu tidak menatap sekejappun pada mereka.
“Hemm, tidak tahu Gan-kongcu ada keperluan apa mengundang kami jauh dari istana kongcu, namun kami tidak dapat duduk sejajar dengan orang yang tidak terkenal…harap kongcu maklum.” Kakek pertama yang tampaknya menjadi pemimpin rombongan tersebut menyahut dengan suara dingin.
Gan-Kongcu melirik sekejab kearah sahabat di sampingnya kemudian tertawa: “Hahaha…janganlah para cianpwe mempermasalahkan hal ini, mari cahye perkenalkan, ini adalah kongcu ini. Beliau adalah Tabuli Cin-kongcu. Beliau adalah pangeran kerajaan Mancuria yang merupakan murid terkasih dari Sam-Hok-Kok-cu (Tiga Kokcu Penakluk) yang amat terkenal dan tanpa tanding di Mancuria…”
Kelima orang itu terkejut. Tidak ada yang tidak mengenal nama Sam-Hok-Kok-cu, mereka berdiri sejajar dengan Bulim-Su-Sian. Namun sampai saat ini, Sam-Hok-Kok-cu tidak pernah menginjakkan kakinya di daratan tionggoan karena menjaga wibawa di wilayah masing-masing. Otomatis pandangan mereka berubah. Gan-Kongcu lalu mulai memperkenalkan kelima orang ini kepada pemuda bernama Tabuli Cin tersebut.
Ternyata kakek yang pertama, seorang kakek berbaju hitam bertubuh kurus, dan memiliki wajah seperti tengkorak dengan tangan yang menjulur hampir menyentuh lututnya adalah salah satu dari Hekto-Kui-Mo (Sembilan Iblis Jalan Hitam), yang berjuluk Hek-Tok-Jiauw-ong (Raja Cakar Racun Hitam). Orang kedua adalah seorang padri gemuk yang bertubuh pendek dan beralis putih. Di lengannya terlilit tali yang amat panjang terbuat dari bahan khusus yang kuat beradu dengan senjata pusaka. Julukannya adalah Pek-Bi-Kwi-hud (Budha Iblis Beralis Putih).
Orang ketiga dan keempat memakai jubah warna ungu. Keduanya memiliki wajah yang sama, bagai pinang di belah dua. Mereka adalah sepasang iblis kembar yang berjuluk Cui-Tok-Siang-Kwi (Sepasang Iblis Peracun Jiwa). Sedangkan orang terakhir adalah seorang pria berusia limapuluh tahun yang memakai baju putih dan celana hitam. Sekilas orang ini tampak biasa saja, tapi saat Hong Sin memperhatikan, dia terkejut karena wajah orang itu telah berubah, lain daripada waktu dia masuk tadi. Orang itu adalah “Pat-Bin-Jai-Hwa-mo (Iblis Cabul Berwajah Delapan).
Ketujuh orang itu kemudian duduk sambil tertawa-tawa. Namun saat mereka mulai bersulang, Hong Sin telah menyelesaikan makannya. Segera dia memanggil pelayan dan membayar semua tagihan. Kemudian dengan perlahan dia mengenakan capingnya kembali dan berdiri kemudian melangkah pergi dari tempat itu.
Baru saja tubuhnya berjarak satu tombak dan hendak melewati ketujuh orang itu, tiba-tiba Pek-Bi-Kwi-hud (Budha Iblis Beralis Putih) tertawa menyeringai: “Hehehe, jamuan ini sangat menyenangkan, sayang tidak ada hiburan, akhh…biarlah nyamuk kesasar ini jadi hiburan sementara saja…hahaha…”
Sehabis berkata demikian, arak dalam cawan di tangannya bergerak meluncur keatas dan bergerak melengkung mengarah ke arah kepala Hong Sin.
Pemuda itu diam saja, tetap berlaku seolah-olah tidak tahu. Namun sesaat sebelum arak itu menyentuh kepalanya. Tiba-tiba arak tersebut berbalik arah dan mengara ke arah pemuda halus berpakaian sastrawan yang dari tadi hanya diam saja di suduk timur ruangan tersebut. Di saat bersamaan terdengar suara yang dingin.
“Hahaha, sungguh perjamuan yang ramai sekali, maafkan cahye yang lancang berani mewakili saudara ini meminum arak perjamuan yang di suguhkan …”
Ke tujuh orang itu, termasuk Hong Sin memandang kearah pemuda sastrawan tersebut. Dengan tatapan penuh terima kasih, Hong Sin menjura dan tersenyum. Sedangkan Pek-Bi-Kwi-hud (Budha Iblis Beralis Putih) yang merasa di permalukan di hadapan kawan-kawannya tersenyum kecut. Matanya tidak lepas dari wajah pemuda berpakaian sastrawan di depannya ini. Sontak tubuhnya melayang ke depan sambil tangan kanannya mencengkeram kearah pundak pemuda itu..
“Bagus, kau sudah bersedia menerima suguhan arak itu, mari temani pinceng menghibur para kawan sakelian…”
Dahsyat sekali serangan itu. Walaupun terlihat sederhana, namun pemuda itu tahu bahwa dirinya terancam bahaya yang serius dan tidak boleh anggap enteng karena dari tangan itu tercium bau hamis yang memuakkan.
Meski demikian tetap tidak nampak perobahan pada wajahnya. Sesaat itu juga tenaganya di kerahkan. Jari telunjuknya bergerak perlahan kedepan dengan memainkan jurus andalannya yang bernama “jari maut menembus hati”.
“Hiiyaaaaa…. It-Ci-Tok-Ciang…?” Tubuh yang gendut seperti bola itu tiba-tiba menarik tangannya dan melempar tubuhnya ke kanan sambil terus bergulingan menabrak meja-kursi yang lain sehingga hancur berantakan, baru kemudian dia melompat bangun.
Peristiwa ini tidak menimbulkan reaksi apa-apa terhadap Hong Sin, maupun ke dua tuan muda tersebut, namun terhadap kelima tokoh hitam itu, ternyata berpengaruh sangat besar sekali. Serentak tempat itu penuh dengan hawa kematian yang santer dengan kekuatan yang di lambari hawa beracun tingkat tinggi.
“Saudara muda, kau menyingkirlah dari sini...” Sambil tersenyum dingin tanpa perobahan pada mimik wajahnya, pemuda berpakaian sastrawan itu berkata kepada Hong Sin sambil matanya tak pernah lepas dari kelima datuk sesat di hadapannya. Dari tubuhnyapun keluar tenaga yang amat kuat menebar ke segala penjuru berusaha menekan hawa sesat beracun yang mulai menguasai ruangan tersebut.
Pek-Bi-Kwi-hud (Budha Iblis Beralis Putih) melangkahkan kakinya mendekati pemuda berpakaian sastrawan di depannya. Tampak sinar matanya mencorong tajam menakutkan. Kedua tangannya telah berobah menjadi hitam sampai sebatas sikut. Di lain saat dia telah menyerang kedepan sambil mengeluarkan bentakan menggelegar,
Tubuhnya berobah menjadi delapan bayangan, menyerang dari segala arah ke tubuh pemuda tersebut. Inilah ilmu andalannya yang membuatnya termashur sebagai salah satu dari Hekto-Kui-Mo, yaitu Kwi-Hud -Tok-ciang (Pukulan Beracun Budha Iblis) yang dahsyat.
Pemuda berpakaian sastrawan itu mengernyitkan alisnya. Belum tubuhnya bergerak, dia telah merasakan tekanan-tekanan yang amat kuat di sekeliling tubuhnya, bahkan memantek kakinya sehingga tidak dapat bergerak. Dalam keadaan kritis demikian, dia tidak kehilangan akal. Kedua matanya terpejam, tiba-tiba dari mulutnya terdengar suara siulan nyaring. Tekanan yang tadi di rasakan sangat berat itu lenyap seketika. Saat itu juga dia telah mengerahkan salah satu ilmu andalannya yang di sebut Bian-Ciang Cap-Sha-Ciang (Tigabelas Pukulan Tangan Kapas).
Tubuhnya berkelebat berpindah tempat bagaikan kilat hingga tak tampak bayangannya, menyusup dan mengurung di antara bayangan-bayangan tubuh Pek-Bi-Kwi-hud, sementara tangannya menangkis semua pukulan tokoh sesat tersebut dan mengembalikannya kepada pemiliknya sendiri.
Dua puluh jurus kemudian tampak Pek-Bi-Kwi-hud mulai jatuh di bawah angin. Keringatnya bercucuran dan nafasnya ngos-ngosan. Sambil membentak keras, dia meningkatkan setaker kekuatannya dan memainkan jurusnya yang paling ampuh, yaitu cui-cu-kwi-hud-jiu (Telapak Budha Iblis menyerap Jiwa). Dari mulutnya terdengar suara tertawa terkekeh-kekeh yang nyaring di lambari ilmu sihir sesat yang mempengaruhi pikiran sehingga lawan merasa terbelenggu dalam ketakutan dan pengaruh hawa beracun yang amat dahsyat.
Cakupan dari pertarungan itu sudah menyebar tiga tombak lebih. Keempat iblis lainnya bersama Tabuli Cin masih tetap pada tempatnya, sedangkan Gan-kongcu sudah mundur dan menjaga di pintu masuk rumah makan tersebut.
Pemuda berpakaian sastrawan itu masih tidak berkeringat sedikitpun. Sambil memekik panjang, dia mengerahkan jurus kesebelas dan duabelas dari Bian-Ciang Chap-Sha-Ciang (Tigabelas Pukulan Tangan Kapas) nya dengan tenaga yang-kang menyambut terjangan lawan. Terdengar benturan menggelegar yang amat kuat. Kedua pihak tergentak mundur kebelakang.
Bedanya, kalau Pek-Bi-Kwi-hud tergentak mundur lima langkah dengan mamuntahkan darah segar dengan dada kedua pundak berlobang, sesaat kemudian dia pingsan. Sedangkan pemuda halus berpakaian sastrawan itu hanya terdorong satu langkah saja.
Melihat ini Toa-Tok dan Ji-Tok dari Cui-Tok-Siang-Kwi (Sepasang Iblis Peracun Jiwa) memekik keras. Tubuh keduanya bagaikan bayangan hantu menyergap sebat dari kanan-kiri sambil mengerahkan ilmu-ilmu andalan mereka Cui-Tok-Jiauw-kang (Cakar Peracun Jiwa).
Namun pemuda tersebut masih tetap tenang dan tersenyum sinis. Dengan mengerahkan jurus ketigabelas dari ilmu Bian-Ciang Chap-Sha-Ciang nya, tubuhnya menyongsong kearah bayangan Ji-Tok di sebelah kanan. Tangan kanannya melakukan gerakan mencengkram kearah kepalan lawan, sedangkan tangan satunya melakukan totokan dengan satu jari beracun pada bahu lawan.
Tujuannya adalah sekali serang melumpuhkan lawan, itu sebabnya gerakannya dilakukan dengan amat cepat bukan main. Belum sempat lawan menarik mundur serangnnya, tangan kirinya sudah terpegang. Segera Ji-Tok melempar tubuh ke samping untuk menghindar totokan jari pemuda itu yang sangat berbahaya. Sementara itu Toa-Tok yang melihat saudaranya terancam, segera memburu dengan kecepatan penuh sambil melancarkan duapuluh enam kali pukulan dan tendangan dari samping dengan sepenuh tenaga dengan jurus Cui-Tok-Jiauw-kang (Cakar Peracun Jiwa) yang dahsyat sekali.
“Awas…!” Hong Sin berteriak memperingatkan. Dia khawatir pemuda itu tidak sanggup menghindari serangan yang dahsyat tersebut.
Pemuda itu melirik sekilas pada Hong Sin sambil tersenyum. Sambil tetap mencengkeram tangan lawan, tiba-tiba tubuhnya bergerak dengan sebat berputaran seperti gazing ke atas. Saat itu juga dia telah mengerahkan jurus pertama dari Bu-Beng Goat-Kui-Ciang (Tenaga Sembilan Bulan Tanpa Tanding).
Dengan enteng sekali dia menekan jalan darah di pergelangan tangan Ji-Tok sehingga tubuhnya lemas kemudian menarik tubuh itu sebagai tameng untuk menyambut ke duapuluh enam pukulan dari Toa-Tok tersebut. Terdengar suara mengerung nyaring tatkala sesosok tubuh yang penuh dengan darah melayang menabrak pintu rumah makan hingga hancur.
“Aaaakh…Ji-tee…” Toa-Tok tertegun diam di tempatnya. Sementara matanya terbelalak lebar. Bila ada hal tragis yang akan di sesali oleh seseorang adalah bila ssaudara sendiri menjadi korban oleh tangan sendiri. Itulah yang di rasakan Toa-Tok saat ini. Tak tahu apa yang hendak di perbuat.
Orang-orang yang hadir di situ tertegun. Peristiwa menyerangnya Cui-Tok-Siang-Kwi, serta terbunuhnya Ji-Tok, tidak lebih hanya dua hitungan saja. Belum lagi keterkejutan setiap orang sirna dengan keadaan menggenaskan dari Pek-Bi-Kwi-hud yang semaput, kini di tambah satu lagi. Sungguh luar biasa. Bila tidak menyaksikan dengan kepala sendiri, mustahil ada orang yang mau percaya.
“Bagus-bagus, nona ini hebat sekali…entah murid siapakah adanya?...” Saat semua orang terdiam, tiba-tiba terdengar suara tepuk tangan dan seruan yang ternyata mempunyai efek yang hebat. Tabuli Cin talah berdiri dan berjalan perlahan kearah pemuda itu.
Tubuh pemuda berpakaian sastrawan tersebut tampak bergetar. Orang telah mengetahui penyamarannya, rasanya tak perlu lagi menyembunikan diri. Namun hanya sekejap saja dia berpikir begitu, kemudian kembali dengan tatapan sinis dan dingin membalas pertanyaan Tabuli Cin.
“Hemmn…siapa adanya aku tak usah kau ikut urus, aku adalah penagih hutang…” Kali ini suaranya telah berubah, benar-benar suara wanita, halus dan merdu namun dingin tanpa perasaan
“Hahaha…kau memang hebat nona, namun hendaknya kau melihat keadaan saja, sehebat apapun kau, mustahil dapat lolos dari kami…Lebih baik kau menyerah saja agar kita dapat bicara baik-baik…”
“Huh…siapa kesudian meladeni omongan kentutmu…” Gadis yang menyamar sebagi pemuda berpakaian sastrawan itu mendengus dan menjawab dengan bentakan yang ketus.
“Baik, jadi nona monolak arak kehormatan?...” Tabuli Cin berseru hambar sambil mengerahkan tenaganya. Dia adalah seorang pangeran. Perkataannya biasa diikuti, kali ini seorang wanita membentaknya tentu saja hal itu menyinggung kewibawaannya. Diam-diam dia telah mengerahkan Ang-Jit-Sin-Kang (Tenaga Sakti Matahari Merah)-nya yang merupakan salah satu dari tiga ilmu andalannya yang dia pelajari dari Sam-Hok-Kok-cu (Tiga Kokcu Penakluk). Sekejap ruangan tersebut terasa sesak oleh tekanan tenaga berhawa panas yang amat kuat.
“Jangan banyak omong, kalau kau punya kepandaian, silahkan menahanku di sini…hanya ku kira kau takkan punya kemampuan tersebut.” Sambil membentak, tiba-tiba tubuh Gadis yang menyamar sebagi pemuda berpakaian sastrawan itu merentangkan kedua tangannya ke samping sambil mengerahkan Bu-Beng Goat-Kui-Kang (Tenaga Sembilan Bulan Tanpa Tanding).
Saat itu juga sebentuk hawa dingin yang aneh berputaran menerjang desakan hawa panas dari Tabuli Cin. Saat itu juga terjadi bentrokan tenaga kasat mata yang dahsyat dari kedua orang itu. Badan mereka bergoyang keras.
Gadis yang menyamar sebagi pemuda itu terdorong mundur setengah langkah kebelakang, sedangkan kaki Tabuli Cin melesak sedalam setengah inchi di lantai. Kedua-duanya terkejut. Mereka maklum kalau tenaga mereka hampir berimbang.
Gadis yang menyamar sebagi pemuda itu tertawa sinis dan berkata: “Hemm, apa pertarungan ini masih akan di lanjutkan?”
Belum lagi Tabuli Cin menjawab, terdengar suara mengekeh dari Hek-Tok-Jiauw-ong (Raja Cakar Racun Hitam): “Hehehe, meski Tabuli-kongcu tak mau bergebrak denganmu, namun kami masih mempunyai perhitungan darah yang harus kau bayar…” Saat itu juga dia bersama Toa-Tok dari Cui-Tok-Siang-Kwi (Sepasang Iblis Peracun Jiwa), dan Pat-Bin-Jai-Hwa-mo (Iblis Cabul Berwajah Delapan) telah mengurung Pemuda berpakaian sastrawan tersebut.
Begitu ketiga orang ini mengerahkan tenaganya, tampak suasana di tempat itu terasa berat dan penuh dengan hawa kematian yang pekat dan sarat akan ilmu-ilmu dahsyat yang mengandung racun-racun tingkat tinggi. Nona yang menyamar itu melangkah mundur satu tindak. Tenaganya di kerahkan kesekeliling tubuhnya untuk mengusir pengaruh racun-racun yang mematikan tersebut.
Untuk sesaat dia terdiam tak dapat berbuat apa-apa, namun demikian dia masih sempat melirik kearah Hong Sin dengan tatapan khawatir. Namun betapa terkejutnya dia saat melihat pemuda yang dikhawatirkannya masih saja tersenyum-senyum. Tiba-tiba salah seorang lawannya tertawa:
.
“Hehehe…nona, melihat bentuk tubuhmu dan suaramu yang indah ini, aku yakin wajah di balik topeng tipis yang kau pakai itu tentulah sangat cantik, aku adalah Pat-Bin-Jai-Hwa-mo yang sangat suka dengan wajah cantik…hahaha, marilah kita bersenang-senang sepuasnya”.
“Huh, manusia cabul yang mau mampus, tunggu nonamu menghajarmu, baru kau tahu rasa…?
Sementara itu, Gan-Kongcu yang tadi berdiri di pintu tiba-tiba bersuit nyaring. Dalam sekejap saja tempat itu telah di kurung oleh pasukan panah berpakaian hitam dengan anak panah yang mengarah pada Hong Sin serta Gadis yang menyamar sebagi pemuda.
Melihat akan situasi ini, Hong Sin berpikir bahwa sudah waktunya dia menerjunkan diri. Meskipun gadis yang menyamar sebagai pemuda sastrawan ini belum terancam, namun dia tidak tega melihat orang terus-menerus bertarung untuk membelanya.
Matanya yang tadinya tidak mengeluarkan sinar seperti mata orang kebanyakan, tiba-tiba jadi mencorong tajam dan berwarna agak kehijauan. Di lain saat dia telah mengerahkan Thian-Te Tok-Khi (Hawa Racun Langit Bumi). Kipas di tangan kirinya mengebas perlahan kearah wajah gadis yang menyamar tersebut, sedangkan tangan yang satunya lagi melancarkan empat kali pukulan secara bersamaan dengan ilmu Im-Yang Tok-Kiam-Ci-nya yang dahsyat.
Kibasan kipasnya tampak enteng, namun saat itu juga gadis yang menyamar sebagai pemuda sastrawan tersebut merasakan hawa yang harum yang segera membuyarkan semua hawa beracun yang keji tadi. Sementara serangan Hong Sin dengan tangan kanannya tampak sederhana, namun kesudahannya membuat kelima pengurung itu terkejut.
Empat gulungan angina tajam mengarah bagaikan kilat ke dada mereka masing-masing. Sedapat mungkin mereka berusaha menangkisnya, namun hawa tajam yang aneh itu tiba-tiba berputaran sehingga tenaga pukulan mereka lenyap tanpa bekas. Dalam keadaan berbahaya ini, Tabuli Cin mengerahkan kekuatan tertinggi dari ilmu Ang-Jit-Sin-Kang (Tenaga Sakti Matahari Merah)nya dengan tenaga im-kang memapaki serangan hawa tajam itu, kemudian dengan berputaran seperti gasing dia mengalihkan kekuatan itu dengan memukulkan kedua tangannya ke lantai yang sehingga menimbulkan ledakan keras.
Sementara empat pengepung lainnya serentak mereka membuang diri ke belakang dengan cepat sambil bergulingan sehingga hawa pukulan tajam itu melabrak dinding rumah makan tersebut.
“Braaaaaaaakkkkk…Krakk…kraaaakkk..Blaaammm…” Terdengar suara keras saat rumah makan tersebut ambruk sebagian. Semua yang ada di dalam rumah itu segera berkelebat keluar dengan cepat menyelamatkan diri
Debu yang tebal beterbangan di sekeliling tempat itu. Para jago yang sekarang ada di luar saling pandang dengan rasa penasaran. Buruan mereka lenyap dari depan mata mereka tanpa mereka dapat berbuat apa-apa. Tentu saja ini memukul harga diri mereka sebagai jago kawakan yang telah bertahun-tahun mengangkat nama sebagai orang yang di takuti dan tak pernah membiarkan sasaran lolos dari depan mata mereka.
Tabuli Cin mendengus tajam, jarinya di masukkan ke mulutnya sehingga terdengar suara siutan yang nyaring. Tak lama kemudian di hadapannya berkelebat empat orang gadis yang cantik-cantik. “Kejar gadis itu, gunakan “jala neraka pembekuk iblis” dan bawa kepadaku, namun jangan sampai terluka…”
Keempat gadis itu berkelebat lenyap dengan cepat sekali, tanda gin-kang mereka sudah mencapai tingkat yang amat tinggi sekali. Sementara Talibu Cin kemudian berkelebat meninggalkan tempat itu.
Hek-Tok-Jiauw-ong (Raja Cakar Racun Hitam) dan Pat-Bin-Jai-Hwa-mo (Iblis Cabul Berwajah Delapan) juga berkelebat dari situ tanpa bicara lagi. Tertinggal Gan-kongcu serta para pasukan panahnya juga Pek-Bi-Kwi-Hud yang telah berhasil di tolong oleh Gan-kongcu dan Cui-Tok-Siang-Kwi Toa-Tok yang berdiri mematung dengan wajah bengis memandang kearah reruntuhan tersebut.
Gan-kongcu mengulapkan tangannya menyuruh pasukannya untuk mundur. Wajahnya tersenyum licik. Sejenak kemudian dia membalikkan tubuh dan memperhatikan Cui-Tok-Siang-Kwi Toa-Tok denga saksama.
Toa-Tok yang merasa di perhatikan akhirnya menggerakkan kepalanya menatap dingin kearah pemuda itu. “Apa yang kau inginkan dariku…”
“Sesungguhnya aku mempunyai ambisi yang besar untuk menguasai dunia persilatan, namun siauw-te tidak mampu jika hanya bergerak sendiri. Aku ingin menawarkan kerjasama denganmu…dan juga dengannya…” Kata-katanya terhenti sambil tangannya menunjuk kearah Pek-Bi-Kwi-Hud yang masih pingsan, kemudian dia melanjutkan: “…kerjasama ini tidak akan merugikanmu, bahkan membuka peluang untuk membalaskan dendammu…”
“Huh, kau licik dan juga cerdik, coba jelaskan, kau punya rencana apa untuk membantu membalaskan dendamku…?”
“Aku memiliki lima ratus pasukan rahasia yang terlatih baik sebagai pendukung, hingga saat ini aku masih merahasiakan kepandaianku karena belum tiba waktunya. Itu sebabnya aku masih membutuhkan bantuanmu….”
‘Hah, aku tidak punya waktu untuk melayani pemimpi sepertimu…jangan membuang waktuku…” Mata Toa-Tok berkilat bengis memandang pemuda itu. Perlahan dia mengangkat tangannya, siap untuk menewaskan pemuda tersebut dengan sekali pukul.
Gan-Kongcu tertawa: “Aku anjurkan sebaiknya kau melepaskan niatmu untuk mencoba bergebrak denganku, dengan keadaanmu sekarang, aku masih mempunyai keyakinan untuk menamatkan riwayatmu. Hingga kini aku telah berhasil menguasai Ceng-Hwi-Tok-Ciang (Pukulan Beracun Api Hijau), Jian-Coa-Tok-jiu (Telapak Beracun Seribu Ular), dan Hek-Im-Tok Ci (Totokan Beracun Hitam Pembeku), bila kau sudi bekerjasama denganku dan memberiatu rahasia untuk melatih ilmu Cui-Cu-Tok-Sat-mu serta Kwi-Hud -Tok-ciang (Pukulan Beracun Budha Iblis) miliknya, aku bisa melengkapi syarat untuk memperdalam Ngo-Kwi-Tok Sin-Khi (Hawa Sakti Lima Racun Iblis) sehingga ilmuku akan jadi tanpa tanding, saat itu partai iblisku akan manjadi pemimpin dari keempat partai iblis lainnya…”
Toa-Tok tertegun hampir tak percaya. Matanya tajam menyelidiki wajah dihadapannya. Sebenarnya siapa adanya pemuda yang memiliki ambisi yang luar biasa ini? Partai iblis apa yang di maksudkan dan benarkah dia telah menguasai ilmu-ilmu sakti yang di sebutkan tadi? Setaunya ilmu-ilmu tersebut adalah ilmu yang di miliki ketiga rekannya yang lain yang termasuk dalam Hekto-Kui-Mo….Matanya melirik kearah Pek-Bi-Kwi-Hud yang masih pingsan, kemudian tersenyum dengan tatapan licik.
***
Dua bayangan itu berkelebat dengan amat cepatnya dan berhenti di pinggir sungai, di luar kota Su Chuan. Mendadak salah seorang di antaranya berhenti. Dan duduk menjublak di bawah sebatang pohon. Sedangkan pemuda tampan bercaping dan berjubah putih itu hanya berdiri bengong saja, tak tahu harus berbuat apa menghadapi gadis di hadapannya yang tidak mirip perempuan? Ingin dia berkata sesuatu, namun sepanjang perjalanan tadi, orang hanya membungkam seribu bahasa saja. Namun akhirnya dia memberanikan diri:
“Sobat….ehh, no…nona! Apakah…apakah ada yang salah sehingga nona membungkam sedari tadi…?” Hong Sin membuka percakapan sambil terbata-bata.
Sekian lama gadis yang menyamar pria itu memandang kearah air sungai yang mengalir, tanpa memperdulikan pemuda yang bertanya tersebut. Perlahan kemudian dia menarik nafas panjang dan berdiri. Sedikitpun dia tidak melirik kearah Hong Sin dan terus menuju ke pinggir sungai.
Hong Sin jadi kheki melihatnya. Diam-diam dia mengangkat bahu saja sambil terus memperhatikan tingkah laku aneh dari gadis itu. Karena asiknya dia memandang, tak di sadarinya gadis yang menyamar pria itu yang belum dia ketahui bagaimana bentuk wajahnya, telah memandangnya dan berseru dengan ketus:
“Eh, kenapa kau masih terus memandang kemari, apa kau juga segolongan dengan pemuda pencomberan yang gemar mengintip orang mandi?...”
Hong Sin terkejut mendengarnya. Hatinya dongkol bukan main. Mengikuti kata hatinya, mulutnya terbuka hendak menyahut, namun tiba-tiba mulut yang sudah terbuka lebar itu terhenti…, parasnya memerah bagai udang di rebus ketika dia menyadari sesuatu persoalan. Saking jengahnya, badannya segera berputar membelakangi sungai.
“Maaf…maaf…silahkan nona membersihkan diri…”
Bersambung...