Laman

Selasa, 16 April 2013

4. Puncak Kabut Pedang 2

Dari atas ketinggian, gadis yang di panggil Goat-Kiongcu itu meluncur dengan cepat. Tak pelak lagi, gadis itu pasti akan menemui nasib naas di bawah jurang.
Tubuh itu terus meluncur semakin ke bawah, tiba-tiba…
“Pyaaaarrrrrr…” Air muncrat setinggi satu meter setengah. Tubuh anak itu tercebur ke aliran sungai yang mengalir di bawah jurang tersebut. Tak lama kemudian tubuhnya timbul dan kemudian hanyut mengikuti aliran sungai.
Lama sekali tubuh itu hanyut di bawa aliran sungai hingga melewati seorang kakek tua yang sedang bersemedi di bawah pohon di pinggir sungai tersebut.
“Eh, apa itu? Sepertinya ada sesosok tubuh yang tercebur ke sungai…” Matanya yang tajam melihat sesuatu yang hanyut agak jauh dari tempatnya. Namun sejauh apapun, itu tidak menjadi halangan bagi kakek tersebut. Tangannya bergerak, dan dari tangannya mengalir tenaga tak kelihatan yang menyedot kearah tubuh tersebut. Hebatnya tubuh itu bergerak menepi dan di lain saat tubuh itu telah berpindah ketangan kakek tersebut yang segera di baringkannya ke bawah pohon.
Sekilas di periksanya tubuh itu yang ternyata adalah seorang gadis yang cantik jelita berusia kira-kira lima belas tahun. Denyut nadinya lemah, perutnya kembung dan dalam keadaan tidak sadar. Segera tangan kanannya menotok sana-sini dengan cepat. Sementara tangan kirinya memegang kedua kaki gadis itu dengan entengnya dan di jungkirbalikkan dengan kepala di bawah. Kemudian tangannya yang sebelah mengurut perut yang kembung tersebut untuk mengeluarkan air yang ada di perutnya.
Setelah semua air keluar dari perutnya. Tangannya memasukkan sebuah pil sebesar gundu berwarna merah darah ke dalam mulut gadis itu. Barulah kakek itu bernafas lega dan membiarkan gadis itu berbaring di atas rumput. Namun dari mulut kakek tersebut tiba-tiba memuntahkan darah segar.
“Ohh Thian, kau memperlambat kematianku, apakah karena anak ini?...”
Kakek itu tidak memperdulikan darahnya, melainkan hanya menarik nafas panjang dan segera melanjutkan meditasinya. Sepeminuman the kemudian, tampak tubuh gadis itu mulai bergerak-gerak lemah. Kakek itu membuka matanya dan mendekati gadis itu. Beberapa saat kemudian gadis itu membuka matanya. Bola mata gadis itu berputar-putar hingga akhirnya berhenti pada wajah sang kakek.
“Hahaha…gadis kecil, jangan takut, kakek yang telah menolongmu, siapa namamu?” Kakek itu bertanya dengan suara yang halus.
“Aku…aku? Namaku Hui Hwa kek, Goat Hui Hwa…kakek siapa?”
“Hohoho, kakek sudah tidak punya nama, kau boleh memanggil kakek Bu Beng Lo-Jin (Tanpa Nama) saja… Kau kakek temukan dari sana…” katanya sambil menunjuk kearah aliran sungai,
Goat hui Hwa segera berlutut di hadapan kakek tersebut sambil menangis: “Locianpwe, Hwa-Ji sudah tidak punya orang tua lagi, Keluarga kami di serang oleh penjahat serta para pengkhianat sehingga semua keluarga mati terbunuh. Tadinya paman Kwa yang menyelamatkan Hwa-Ji beserta Suci Seng Lin Hong, tapi Hwa-ji tidak tahu sekarang mereka di manadan bagaimana keadaan mereka…tolonglah locianpwe cari dan selamatkan mereka juga”
“Hohoho…nona kecil, dari kemarin lohu di sini dan tidak melihat tubuh lain selain engkau, kalau engkau mengkhuatirkan mereka marilah kita sekarang coba mencari mereka…!” Kakek itu lalu menggandeng tangan Goat Hui Hwa dan berkelebat mengikuti aliran sungai untuk mencari Pman Kwa dan suci Seng Lin Hong-nya.
*****
Menjelang pagi mereka menyusuri sepanjang pinggir sungai bolak-balik namun tidak menemukan orang yang di cari. Akhirnya kakek itu membawa Goat Hui Hwa ke sebuah goa yang tersembunyi.
“Nah, Hwa-ji kita sudah mencarinya kesana-kemari, menurut kakek keadaan mereka masih baik-baik saja. Sekarang kau dengarlah. Mulai sekarang engkau akan ikut lohu untuk memperdalam ilmu silat yang kau miliki. Maukah kau?”
Goat Hui Hwa cepat menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu: “Terima kasih atas budi suhu yang sudi menerima teecu sebagai murit. Teecu berjanji akan belajar dengan sebaik-baiknya…”
“Hohoho…bangunlah, kita tidak ada hubungan guru dan murid, asal kau menggunakan semua ilmu-ilmu ini yang akan ku wariskan dengan benar, aku sudah berterima kasih padamu. Nah waktu yang lohu miliki tidak banyak sehingga tidak bisa memberi banyak petunjuk padamu…sekarang cobalah kau mainkan ilmu silat tertinggi yang kau kuasai.”
Goat Hui Hwa mengangguk. Tubuhnya berkelebat cepat memainkan ilmu Bian-Ciang Chap-Sha-Ciang (Tigabelas Pukulan Tangan Kapas) warisan keluartanya. Tubuhnya bagaikan bayangan yang lemah gemulai berputar-putar sedangkan dari tangannya keluar suara berdesir halus yang tampak seperti tidak bertenaga sama sekali, namun saat tangan itu menyentu batu dan pohon yang ada di sekitarnya, semua hancur berkeping-keping.
“Cukup, rupanya kau keturunan dari penghuni Istana Bulan & Bintang. Bagus-bagus…kau sudah memiliki dasar yang kuat, itu memudahkan lohu, sekarang kau duduklah bersila, dan kendorkan seluruh urat sarafmu dan jangan melawan apapun yang kau rasakan…mengerti”
Goat Hui Hwa mengangguk tanda mengerti dan segera duduk bersemedi. Sementara kakek itu bersila di belakang gadis itu dan menempelkan tangannya di punggung dan ubun-ubun sang gadis sambil menyalurkan tenaganya. Tenaga Bu-Beng Lo-Jin bergerak menuntun tenaga gadis itu menerobos ke seluruh jalan darah di tubuhnya.
Tiga jam kemudian terdengar suara sang kakek: “jalan darah Jin-Tokmu dsudah tertembus, sekarang putarkan tenagamu sebanyak tiga puluh enem kali sambil menyelaraskan tenaga yang tersalur.
Goat Hui Hwa melaksanakan perintah kakek itu. Di saat bersamaan terdengar suara lirih sang kakek yang memberikan petunjuk-petunjuk kepada dan arahan bagaimana menyempurnakan ilmu yang baru di mainkannya tadi.
Selang dua jam kemudian, Bu-beng Lo-jin melepaskan tangannya, dan saat itu juga tubuh Goat Hui Hwa melayang ke atas dan berkelebat lambat memainkan ilmu Bian-Ciang Chap-Sha-Ciang (Tigabelas Pukulan Tangan Kapas) tadi. Namun kali ini permainannya sangat berbeda dari yang tadi.
Kali ini gerakan-gerakannya tampak lambat, namun sesungguhnya bergerak dua kali lebih cepat. Bahkan tenaga yang mengikuti pukulan-pukulannya sangan dahsyat. Di samping itu beberapa kelemahan-kelemahan dari ilmu yang tadi dia mainkan sudah tertutup semua.
Selang beberapa lama dia bersilat, tiba-tiba Goat Hui Hwa menghentikan gerakannya kemudian menjatuhkan diri di depan sang kakek.
“Suhu terima kasih banya, suhu sudah membantu teecu menembus jalan darah Jin-Tok, bahkan memberikan sebagian tenaga suhu…”
“hohoho, kau jangan cerewet lagi, waktuku tidak banyak. Memang lohu sudah terluka dalam yang cukup parah, kau ambil dulu dua kitab ini…” Tangan kakek itu mengangsurkan dua buah kitab kepada gadis itu. Goat Hui Hwa menerima kedua kitab itu dengan tangan gemetar. Di atas kitab pertama itu tertulis Bu-Beng Goat-Kui-Ciang (Tenaga Sembilan Bulan Tanpa Bayangan) dan kitab kedua tertulis Ilmu “Melayang Bagai Kapas” serta It-Ci-Tok-Ciang (Pukulan Beracun Satu Jari).
“Lohu terluka di tangan keroyokan musuh yang tangguh, yaitu empat dari antara gembong-gembong Hekto-Kui-Mo, meski demikian merekapun takkan dapat hidup lebih dari tiga tahun setelah menderita luka parah akibat pukulan lohu. Ketahuilah lohu termasuk nomor satu dalam Bulim-Su-Sian. Lohu menyesal tidak dapat memberi petunjuk kepadamu lebih lama, namun engkau jangan khuatir, dengan bekal kepandaian yang kau miliki sekarang, tak sampai lima tahun kau sudah dapat menjadi jaoan pilih tanding yang tidak usah takut menghadapi para iblis tersebut…”
Menarik nafas panjang sejenak, kakek itu melanjutkan: “Di dalam goa itu ada Batu bulan biru yang amat dingin, pakailah sebagai tempat berlatih. Ingat!, setelah kematianku, kau harus menyembunyikan dirimu selama lima tahun untuk mendalami kedua ilmu itu, baru engkau boleh muncul lagi di dunia kang-ouw, mengerti?”
“Teecu mengerti…” Kata Goat Hui Hwa sambil bersujut di hadapan sang kakek. Sampai lama tidak ada suara. Goat Hui Hwa mengangkat kepalanya memandang sang kakek. Alangkah terkejutnya saat melihat kakek itu sudah tidak bernafas lagi.
Dengan sedih Goat Hui Hwa lalu meneruskan menyembah sampai Sembilan kali, kemudian menguburkan tokoh legendaris yang di sebut Bu-beng Lo-jin itu. Sehari semalam gadis itu melakukan penghormatan kemudian berlalu dari tempat itu dan masuk ke dalam goa dan menutupnya dari dalam.
bersambung...