Laman

Selasa, 16 April 2013

5. Para Duta Sakti 1

Di pinggir pantai laut Po-Hai, seekor kuda tampak berlari dengan sangat cepat. Puluhan li sudah di laluinya dan tampaknya kuda tersebut sudah berlari sehari-semalam. Namun penunggang kuda itu masih tetap mencambuki kuda tersebut untuk di paksa berlari.
Penunggang kuda itu adalah seorang pria berusia empat puluh tahunan yang memakai baju hitam dan berikat kepala merah. Di punggungnya tersoreng sebatang pedang hitam yang amat tajam.
Saat di amati wajahnya, raut mukanya orang itu seperti ketakutan. Kepalanya berkali-kali melirik ke belakang, seperti khawatir kalau-kalau ada yang mengejarnya. Tapi banarkah ia ketakutan?
“Hyyeeeeeeeiiiiiiiiihh….” Tiba-tiba kuda itu meringkik keras. Di lain saat tubuh kuda tersebut terjengkang ke depan dengan mulut yang berbusa. Keras sekali sehingga melemparkan penunggang kuda tersebut. Di lain saat kuda itu diam tak bergerak.
Orang itu segera berjumplitan sebanyak dua kali di udara, kemudian mendarat dengan kedua kakinya. Tangannya bergerak sekejap ke belakang punggung, di lain saat pedang hitamnya sudah terhunus di tangan kanan. Tubuhnya diam tak bergerak sambil matanya yang tajam menatap kearah darimana dia datang tadi sambil menunggu.
Baru saja pedangnya tercabut. Tiba-tiba berdesir suara desiran baju yang tersapok angin. Tak menunggu lama tampak dua orang kakek berpakaian hijau pupus, berambut putih panjang telah berdiri di hadapannya. Yang aneh dari penampilan kedua kakek itu adalah, wajah mereka yang telah rusak sebelah kanan sehingga mirip tengkorak dan tampak mengerikan.
Kedua kakek ini bukan orang sembarang. Dalam dunia hitam mereka berdua sudah lama angkat nama sebagai “Sepasang Tengkorak Beracun” yang melang-melintang tanpa tanding di daerah kwitang. Namun hari ini mereka berdua muncul di tepi laut Po-Hai ini sudah tentu bukannya tiada maksud.
“Hehehe…Hek-Kong-Kiam (Pedang Bersinar Hitam) Kwie Cun, sampai di manapun engkau coba untuk melarikan diri, kami takkan melepaskanmu. Perintah Mo-Hu-Pangcu tak bisa di langgar, engkau harus mati…” Dengan suara dingin, salah seorang dari dua kakek itu berseru datar.
“Heh, selama ini aku tidak pernah takut dengan kalian, aku hanya menyesal bahwa aku tidak punya kesempatan untuk membeberkan kebusukan kalian pada para pendekar. Majulah…! Aku akan pertaruhkan selembar nyawa ini untuk memenggal kepala kalian…”
“Heh, mulut besar, dengan keadaanmu seperti itu, cukup aku sendiri saja sudah cukup mengirimmu ke neraka…” Berkata demikian, tangan tiba-tiba di tangan salah satu kakek berbaju hijau pupus tersebut sudah memegang gaman yang aneh. Sebilah pisau kecil yang bergagang kepala tengkorak. Ujung pegangan senjata tersebut di kaitkan seutas rantai kecil yang panjang dan tergulung di tangannya.
Keadaan Kwie Chun memang sudah tidak pada puncaknya lagi. Saat dia kepergok oleh Mo-Hu-Pangcu sedang membebaskan para tawanan, dia telah terkena pukulan yang dahsyat yang menggetarkan isi dadanya. Meskipun tidak mmembuatnya mati, namun paling tidak dia harus beristirahat selama dua-tiga tahun baru bisa pulih dalam keadaan semula.
Namun saat ini dia tidak bisa lari lagi, maka tanpa menunggu lawannya bergerak lebih dahulu, Kwie Cun membentak nyaring dan membuka serangan. Tubuhnya melambung setinggi tiga tombak dan berputar bagai gasing. Di saat itu pedangnya berkelebat dengan arah berlawanan membentuk tiga jalur sinar yang panjang sekaligus menyerang dari kanan, kiri dan atas. Hebat sekali, karena serangan ini menggunakan seluruh tenaganya yang ada dengan jurus andalannya yang mematikan yaitu “Hok-Mo-Sam-Kong” atau Tiga sinar Penakluk Iblis.
“Jurus bagus, tapi sayang tidak bertenaga…Hiaaah!” kakek berjubah hijau pupus itu membentak nyaring, kedua kakinya melesak satu inci ke tanah, di lain saat pisau kepala tengkoraknya yang aneh telah berputaran ke bagai kitiran mengelilingi tubuhnya tanpa celah sedikitpun.
“Trangg…traanngg…traaannng…” Terdengar tiga kali benturan. Kwie Cun tergentak mundur berjumplitan ke belakang, pedangnya hamper terlepas dari tangan. Di saat itu kakek berjubah hijau pupus itu mengerahkan tenaganya secara penuh dan kakinya melancarkan tujuh kali tendangan maut yang sangat keras dari atas. Sementara gaman aneh di tangannya, tanpa suara, telah menjadi dua bayangan berputar dari samping dan kiri, dengan di kendalikan oleh rantai kecil di tangannya.
Keadaan ini membuat Kwie Cun terkejut setengah mati. Tak di sangkanya hanya dalam satu jurus dia telah berada dalam posisi di bawah angin.
Sedapat mungkin dia memutar pedangnya dan melempar tubuh ke belakang dengan sisa tenaga yang ada. Namun tak urung serangan pisau dari sebelah kirinya masih terlambat dia hindari.
“Crassss….Aaakhh!” Jeritan mengerikan keluar dari mulut Kwie cun. Tubuhnya bergulingan lima kali dan diam. Sedang tangan kirinya terpotong dan mengalirkan darah segar.
Kakek berjubah hijau yang menyerang Kwie Cun mendarat di atas tanah sambil memandang dengan tatapan tajam kearah Kwie Cun. Sementara itu tanpa berkata apa-apa, tangan dari kakek yang satunya lagi bergerak cepat kearah leher dari Kwie Cun.
Bagaimana dengan Kwie Cun, benarkah hidupnya hanya berakhir sampai di situ saja? Pada saat yang kritis itulah tiba-tiba di samping tubuh yang hampir menjadi mayat itu telah muncul seorang pemuda berjubah putih bagaikan hantu saja.
“Cukup…!...Cringgg….Aaaakh…!” Kakek berjubah hijau pupus itu terdorong mundur kebalakang. Sementara senjatanya lenyap tidak tahu ke mana.
“Kurang aja, siapa manusia berani mati mengganggu Tengkorak Beracun Hitam…?” Kakek itu memaki dengan marah. Saat dia menatap pendatang di depannya, tampak seorang pemuda berpakaian putih yang memiliki wajah yang tampan dengan mata yang mencorong tajam bagaikan mata elang.
Tanpa banyak bicara, tangan pemuda itu bergerak mengibas kearah kedua kakek beracun tersebut. Perlahan saja, namun akibatnya sangat luar biasa sekali, tubuh kedua kakek tersebut terlempar menabrak dua pohon besar di belakang mereka dan memuntahkan darah seketika. Ternyata telah terluka dalam yang cukup parah.
Perlahan mereka berdiri, kemudian memandang tajam kepada pendatang baru itu. “Siapa Kauuu…?”
“Huh, kalian hanya gentong nasi yang tiada guna, tidak cukup sepadan menanyakan namaku. Hemmm, apakah kalian berdua menunggu aku mencabut nyawa kalian.?” Kembali pendatang baru itu berseru dengan suara dingin.
Kedua orang kakek berjubah hijau itu menatap dengan tatapan penuh kebencian, namun mereka tahu diri…segera mereka membalikkan tubuh dan melangkah pergi dengan hati punuh dendam.
Pemuda itu mengalihkan pandangannya kea rah Kwie Cun. Sekejap kemudian tubuhnya membungkuk dan tangannya bergerak menotok di sekitar pergelangan tangan kiri Kwie Cun yang telah buntung untuk menghentikan jalan darahnya.
“Huuh…racun kacangan!” Tangannya di tempelkan ke tangan yang terpotong yang telah berwarna kehitaman. Heran, dalam sekejap saja warna hitam tersebut telah lenyap. Pemuda itu kemudian merogoh ke dalam buntelannya dan mengeluarkan sebotol porselen kecil. Dari situ dia mengeluarkan satu butir pil berwarna keemasan kemudian melolohkannya ke mulut Kwie Cun.
Tak lama kemudian tubuh Kwie Cun bergerak dan membuka matanya. “Ohhh…dimana aku…apa aku sudah mati?”
“Paman, engkau tidak mati…sayang aku terlambat tiba di tempat ini sehingga tidak sempat menolongmu, tapi engkau sudah minum Kim Kak Tan (Pill Tanduk Emas) cepatlah engkau bersila dan mengatur tenagamu…” Pemuda berjubah putih itu menyahut perlahan.
Kwie Cun terkejut mendengar suara ini. Cepat kepalanya menoleh ke samping. Matanya melihat seorang pemuda berjubah putih berdiri disampingnya. Wajahnya amat tampan dengan dandanan sederhana.
“Akhh…anak muda apakah engkau yang menolongku? Terima kasih banyak…” Kwie cun berkata sambil tubuhnya berusaha berlutut untuk mengucapkan terima kasih.
“Jangan banyak adat paman, aku tidak suka hal seperti ini, lebih baik engkau pulihkan dulu tenagamu. Jangan sampai Kim Kak Tan kehilangan khasiatnya…” Kembali pemuda itu berkata sambil bergerak ke belakang Kwie Chun.
“Terima kasih anak muda…” Kwie Cun mengangguk dan segera menjatuhkan diri bersila sambil mengatur pernafasannya. Tiba-tiba terdengar suara halus di telinganya:
“Sebelum khasiat Kim Kak Tan ini hilang, segera alirkan tenaga paman berputar kearah jalan darah ke arah Jin-tok, …aku akan membantu…” Kwie Cun terkejut. Jalan darah JinTok adalah jalan darah kematian yang paling berbahaya dan paling sukar untuk di tembus. Namun jika seorang ahli silat sudah bisa menembus jalan darah ini, maka dia sudah boleh di golongkan sudah mencapai tingkat atas yang pilih tanding yang sempurna dalam tenaga dalam.
Selagi hatinya ragu, saat itulah tiba-tiba di rasakan suatu arus yang amat kuat mengiringi tenaganya berputaran di seluruh tubuhnya kemudian menerobos perlahan kearah kedua jalan darah kematian tersebut.
Lewat sepeminuman teh kemudian, pemuda itu menarik tangannya. Kwie Cun-pun menarik nafas beberapa lama kemudian menghentikan samadinya. Perlahan di bukanya matanya. Di lain saat tubuhnya sudah berlutut di hadapan pemuda itu.
“Tuan, aku tidak tahu namamu dan siapa engkau, tapi kau adalah penolongku, tanpa engkau nyawa ini tidak ada artinya lagi, maka hari ini Kwie Cun bersumpah akan mengikuti dan melayanimu kemana saja engkau pergi…”
“Eh..eh, jangan begitu paman…aku tidak bias menerima penghormatan seperti ini, lekaslah berdiri!” Sahut pemuda itu gelagapan. Tiba-tiba saja tubuhnya lenyap dari hadapan Kwie Cun dan pindah ke belakang.
Namun Kwie Cun tetap berlutut. “Aku tidak akan berdiri sampai engkau menerima…keputusanku sudah bulat. Kalau tidak lebih baik Kwie Cun mati saja…” Tangannya bergerak memukul ke arah kepalanya.
“Wuuut…Plaaakk!” Sebuah telapak tangan menepis tangannya. Pemuda itu sudah kembali berada di hadapannya.
“Baiklah kalau itu keinginanmu paman, tapi aku tidak memaksamu…!” Pemuda itu berkata dingin sambil membalikkan tubuh. Kwie Cun tersenyum sambil berdiri.
“Hemm…engkau beruntung paman, dalam keadaan biasa, Kim Kak Tan ini hanya akan memulihkan tenagamu seperti sedia kala. Namun tubuhmu sudah kehabisan tenaga sebelumnya dan juga tampaknya engkau sudah dua hari tidak makan jadi dalam keadaan kosong, itulah sebabnya hanya sedikit bantuan tenagaku, paman sudah bisa menembus jalan darah Jin-Tok itu…Selamat-selamat, kini paman sudah menjadi salah satu tokoh tingkat tinggi yang sukar di lawan?”
“Terima kasih Kong-cu, ini adalah berkat kemurahan hati kong-cu. Walau demikian, hamba tahu kong-cu memiliki ilmu yang jauh lebih tinggi. Bolehkah aku mengetahui nama dan gelar Kong-cu?”
“Aku pemuda biasa yang tidak mempunyai gelar paman…di manapun kita berada, aku tidak ingin paman membahasakan diri dengan hamba….panggil saja aku Sin-te (Anak Sin). Aku sudah tahu tentang diri paman karena sudah dua hari ini paman Lam Ciong dan paman In Hoat mengikuti paman sampai di sini…”
bersambung ke bagian 2...