Hampir satu tahun tidak ada gerakan apapun dari para pendekar ataupun
partai-partai lainnya. Dunia kang-ouw dan bu-lim kehilangan
kepercayaan diri. Situasi ini menyenangkan dan mulai di manfaatkan oleh
para pengikut jalan Hek-to. Di mana-mana muncul raja-raja kecil yang
merajalela dengan kejahatan mereka yang tanpa ampun, membunuh dan
memperkosa anak-istri orang. Diantaranya ialah dua perkumpulan yang
menamakan diri mereka Thian-tee-san-pai (Perkumpulan gunung langit dan
bumi) dan Kim-liong-kiam-pai
Memasuki daerah Lam-khia, seorang pemuda berjubah putih berjalan
dengan gagah memasuki rumah makan paling terkenal di sekitar laut timur
ini.. Wajahnya tampan dengan alis tebal dan bibir yang selalu tersenyum
kalem. Di punggungnya terdapat sebuah buntelan pakaian.
Dengan tenang dia naik ke lantai tiga dan memilih tempat duduk di
sudut ruangan yang menghadap kearah pintu. Tempatnya strategis sehingga
mudah melihat orang-orang yang keluar masuk dan juga ke luar. Tidak
menunggu lama karena memang pelayanan di rumah makan itu sangat cepat
untuk memuaskan pelanggan, pemuda itu sudah menikmati masakan dengan uap
yang masih mengepul…nikmat sekali.
Tak berapa lama dia menyelesaikan makanannya. Seketika dia hendak
membayar harga makanannya, tiba-tiba matanya menangkap gerakan yang
tidak wajar dari orang-orang dalam ruangan tersebut. Mereka semua
memandang kepadanya dengan sorot mataaneh. Tiba-tiba salah satu pria
berjenggot disebelah kanannya maju dan duduk di depannya sambil berkata:
“Anak muda, nampaknya kau dari golongan putih…siapa kau dan dari mana asalmu?”
Pemuda itu tidak menjawab. Hanya ekspresi wajahnya yang tenang dan
kalem memiliki karisma yang sangat menggetarkan. Sehingga mau-tak mau
pria berjanggut itu agak was-was juga, namun saat dia mengedarkan
pandangan ke arah rekan-rekannya hatinya menjadi mantap lagi. Kembali
dia membentak:
“Kalau kau tidak mau menjawab, jangan salahkan kalau aku melemparmu
ke luar …” Berkata begitu, dengan cepat ke dua tangannya tiba-tiba
terulur kea rah pundak pemuda itu dan mencengkram bahunya dengan salah
satu jurus Kin-na-jiu yang cukup bertenaga. Tampaknya pemuda itu akan
menemui sialnya. Semua orang memandang dengan senyum-senyum liar.
“Heeeeaaaahhh…” “Braakkk…” Satu tubuh melayang ke luar dengan cepat
dan menghantam gerobak yang ada di luar, sekejap semua orang belum
sadar, tapi di lain saat orang-orang di dalam ruangan itu serentak
berdiri dan mencabut senjata mereka masing-masing.
“Hemmm…maaf, aku tidak berniat mencelakainya, dia sendiri yang
cari…permisi” “Sraaattt…” Tiba-tiba tubuh pemuda itu melayang ke luar
dengan ringan sambil membawa buntelannya. Sementara melayang ,
tangannya melemparkan lima keeping uang tembaga yang menembus dinding
dekat kasir.
“Hahaha…kalau kau bisa semudah itu lolos, jangan panggil kami
Hek-pek-tok-coa-siang (Sepasang ular beracun hitam-putih)…” Selagi
orang-orang terkejut, tidak tahu mo buat apa, dua buah bayangan berjubah
hitam dan putih melesat keluar dengan cepat sambil memukul ke arah
punggung pemuda yang masih melayang di udara tersebut. Terdengar suara
berkesiuran yang dahsyat di ikuti bau amis mengarah ke arah punggung si
pemuda.
Sedetik saat kedua pukulan itu akan mengenai sasarannya, tiba-tiba
tubuh pemuda itu menghilang dari depan mereka. Kedua orang itu terkejut
dan segara berjungkir balik untuk menghindari bokongan musuh dan
mendarat di atas tanah. Mata mereka mencari-cari, dan wajah mereka
murka ketika melihat pemuda buruan mereka berjalan lenggang menuju luar
kota. Segera mereka mengejar dengan cepat.
Pemuda itu hanya berjalan seenaknya saja, namun betapa terkejutnya
mereka karena jarak mereka tetap terpaut jauh seperti tadi. Tapi tidak
menunggu lama karena dari jauh mereka melihat berkelebatnya empat
bayangan yang langsung mengepung pemuma itu. Segera mereka mendekan
karena itu adalah rekan-rekan mereka.
“Hahaha, mungkin kau punya bekal sedikit kepandaian, tapi kau tetap
tak akan lolos dari kami…” berkata si pria muka putih, salah satu dari
Hek-pek-tok-coa-siang
“Maaf cuwi skalian, saya hanyalah seorang perantau saja, bolehkah
saya tahu apa kesalahan saya sehingga cuwi mengejar-ngejar saya?” Tanya
pemuda itu dengan suara yang masih tenang dan terkesan ramah.
“Hemm…Siapapun yang berasal dari golongan putih, harus mati. Bengcu
kami menyediakan hadiah besar bagi siapapun yang berhasil memenggal
kepala para pendekar dari golongan putih”
“Bengcu…?” “Eh, bukankah bengcu itu harusnya melindungi keamanan kaum persilatan???” Pemuda itu berseru heran.
“Hahaha, rupanya kau baru turun gunung ya? Sekarang ini kekuatan
kalian kaum putih sudah hancur dan tidak bisa di andalkan. Bengcu dunia
persilatan sekarang adalah raja pedang Tee-mo Kiam-ong yang sangat
sakti dan tanpa tanding.”
“Oh ya, terima kasih atas informasinya, kalau begitu cahye mohon diri dulu…” Pemuda itu tetap kalem menjawab.
“Hohoho…tidak semudah itu, kau harus melewati kami dulu…” Jawab
salah satu dari ke empat orang yang mencegatnya sambil melancarkan
pukulan yang kuat ke tengkuk pemuda itu. Namun hanya sedikit
memiringkan tubuh saja pemuda itu sudah menghindar. Namun kembali orang
itu menyerang dengan tendangan samping di ikuti tangannya yang
melemparkan pelor-pelor besi ke arah kepala dan dada pemuda itu.
Dengan sebat pemuda itu mengangkat tangannya menangkap pelor-pelor
tersebut dan sekali remas langsung hancur. Sementara itu tendangan
orang itu di tepisnya dengan perlahan. Namun akibatnya hebat, orang itu
tiba-tiba terlempar dengan tulang kaki patah.
“Serbuuuu….” Bentak Hek-coa marah, sekejap di tangannya dia sudah
memegang seekor ular hitam yang beracun. Diikuti ke lima rekannya yang
memegang berbagai senjata aneh lainnya, mereka menyerbu sambil
mengeroyok pemuda itu.
Namun mereka kecelik kalau mengira pemuda itu makanan empuk. Di
antara selewiran senjata-senjata yang menyerang dengan cepat, tetap
tidak ada satupun yang sanggup menyentuh pemuda itu yang bersilat dengan
ilmu Hong-in Bun-hoat (silat sastra Awan dan Angin) dan mementalkan
setiap senjata lawan. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, memasuki
jurus ke lima belas, tiba-tiba pemuda itu yang tadinya hanya diam di
tempat, tiba-tiba melangkah dengan aneh sambil membagi-bagi pukulan yang
mengeluarkan hawa panas dan dingin.
“Hwi-yang Sin-ciang dan Soat-im Sin-siang???” Seru pek coa dengan kaget.
“Dia dari keluarga Suma…LARIII..” Seru yang lain, namun terlambat.
Belum lagi mereka bergerak lari, dari lidah mereka terdengar suara
raungan dan jerit kematian dari tubuh yang hangus dan beku.
Satu-satunya yang selamat hanyalah pria yang tidak ituk mengeroyok yang
masih duduk karena patah tulang kakinya.
Pemuda itu diam, Ekspresi penyesalan tampak dari wajahnya. Perlahan matanya melirik orang yang patah kaki tersebut.
“Apakah engkau masih mau kepalaku?...”
“Ti…tid…tidak tayhiap, ampun…ampunkan saya…”
“Baiklah, kau boleh pergi, tapi ingat! Sekali lagi aku menemukanmu
melakukan perbuatan jahat, Aku Suma Hong Sin tak akan mengampunimu…Kaum
putih belumlah kalah karena sekarang legenda Enam Dewa Pelindung Tanpa
Tanding telah bangkit lagi…” Belum habis suaranya, tubuhnya telah
lenyap dari pandangan mata.
Siapakah Suma Hong Sin ini? Dia putra bungsu dari lima bersaudara
yang merupakan keturunan terakhir dari keluarga Pulau Es yang sudah lama
musnah itu. Dia adalah satu-satunya keturunan keluarga Suma yang dapat
mewarisi ilmu-ilmu pilihan keluarganya sampai di tingkat yang
tertinggi. Diantaranya,: Bian-Ciang, Hwi-yang sin-ciang & Soat-im
sin-ciang, Hong-In Bun-hoat, dan ilmu sihir I-Hun-to-hoat serta Hong-lui
Tai-hong-ciang yang menjadi kebanggaan leluhurnya dulu. Bahkan dia
satu-satunya yang berhasil menguasai penggabungan Hwi-yang sin-ciang
& Soat-im sin-ciang yang di ciptakan oleh leluhurnya yang berjuluk
Siluman Kecil.
---lovelydear---
Selama berpuluh tahun keluarga Khu di puncak Sian-thian-san adalah
tempat yang sangat sulit di datangi. Dan menjadi salah satu tempat
keramat. Golongan hitam sekalipun segan berurusan dengan penghuni
puncak ini. Namun di hari yang cerah itu, tiba-tiba terdengar dua
jeritan keras dari sebuah rumah yang ada di tengah-tengah perkampungan.
Tak lama kemudian sesosok bayangan hitam berkelebat amat cepatnya
melarikan diri sambil membawa buntelan kecil.
“Bangsat tak tahu di untung…mau lari ke mana kau?...” Satu sosok
bayangan yang lain dengan cepat memapaki laju bayangan hitam tersebut
sambil memukul dengan pukulan yang mengandung tenaga dalam tinggi.
“Dhuaaarrrrr…Sleepp…” Orang yang memamapi itu terlempar kebelakang
dan menabrak pohon di belakangnya. Segera bayangan berbaju hitam itu
berkelebat lenyap dari tempat itu.
Suasana kembali tenang. Hanya angin yang bertiup tenang. Dari
bagian utara puncak tersebut, berjalan dua orang yang saling bergandeng
tangan sambil tertawa-tawa. Yang satu nampak tua sekali sedangkan yang
satu seorang pemuda tampan.
Tampaknya mereka masih belum menyadari ada sesuatu yang mengerikan
telah terjadi sampai langkah mereka terhenti di pekarangan yang luas di
hadapan sesosok mayat yang telah dingin.
“Hok-jin kau kenapakah???...” Seru si kakek yang terlebih dahulu
melihat mayat itu sambil mendekati dan memeriksanya. Namun namanya
mayat, tetaplah mayat. Biar bagaimanapun tetap takkan bisa menjawab.
Hanya satu yang mengejutkan, ialah pelayan ini mati dengan dada hancur
akibat gentakan ilmu Bu-kek-kang-sin-kang tingkat ke empat yang mereka
kenal baik.
Timbul rasa tidak enak di hati ke dua orang ini dan dalam sekejap
tubuh mereka melesat bagai asap hampir bersamaan ke arah rumah. Dan tak
ayal lagi, tiba-tiba terdengar jerit yang menyayat hati dari pemuda
tadi.
“Ayahhhhh…..Ibuuuu…???” Pemuda itu bertelut sambil memeluk mayat dua
orang yang menjadi korban suatu ilmu yang sama yang mereka sangat kenal
baik. Mata anak muda berusia duapuluh tahun itu berkaca-kaca, namun
dia masih berusaha mengeraskan hatinya.
“Ayah, Ibu, siapa yang melakukan ini pada kalian?...”
“Liong-ji lihat itu?” tiba-tiba sang kakek menunjuk ke lantai de
sebelah mayat ayah dari pemuda itu. Terdapat tulisan yang tampaknya di
tulis dengan darah, berbunyi “BUNUH TIN CU…”
“Kong-kong, di mana Suheng Tin Cu?...” Anak muda itu segera
terhenyak dan melompat berdiri. Tanpa menunggu jawaban kong-kongnya,
tubuhnya melesat ke dalam menuju kamar pusaka. Dan apa yang dia dapat,
sungguh membuatnya kesal karena orang yang di cari tidak ada. Sekejab,
tahulah dia, bahwa suhengnya itu mungkin telah berkhianat… Segera dia
kembali ke ruang di mana ayah dan ibunya terbaring.
“Kong-kong, aku rasa suheng Tin Cu berkhianat, aku akan mengejarnya…”
Suaranya perlahan saja, namun matanya merah tanda amarah yang amat
sangat.
Sang kakek bangkit berdiri. Dengan mata berkilat di tatapnya pemuda di depannya dan berkata:
“Redakan amarahmu, karena kau akan gagal kalau hanya menuruti
nafsumu…kalau kau sudah tenang, masih belum terlambat untuk mencarinya.”
Habis berkata demikian, kakek itu menggerakkan tangannya dan ke dua
tubuh itu terangkat dan melayang ke arah dalam. Pemuda itu hanya
tinggal berdiam di ruangan itu sendirian sambil berusaha mengendalikan
dirinya.
Lewat dua hari setelah pemakaman ke tiga mayat di puncak Sian-thian-san itu, nampak pemuda itu berlutut di depan sang kakek.
“Cucuku Khu Hee Liong, tampaknya sejak awal, murid murtad itu sudah
bersiasat untuk menyeludup guna mempelajari ilmu pusaka kita. Tapi
jangan khawatir, meskipun dia membawa lari pusaka-pusaka kita, tapi
rahasia untuk melatih ilmu-ilmu itu sampai tingkat yang tertinggi tidak
ada dalam cartatan kitab-kitab tersebut….” Dia terdia sejenak. “…Selain
kau harus mencari murid murtad itu dan membawa kembali ilmu kitab-kitab
pusaka itu, kau juga harus mewakili leluhurmu membangkitkan lagi
legenda Enam Dewa yang sudah terkubur selama delapan puluh tahun…”
“Legenda Enam Dewa Tanpa Tanding? Apakah itu kong-kong?...”
“Delapanpuluh tahun lalu ketika dunia persilatan mengalami bencana
karena munculnya para pengganas sesat pelarian dari Tibet dan Nepal,
dunia persilatan meminta bantuan enam keluarga untuk menghadapi mereka.
Ke enam keluarga ini kemudian mengutus jago-jago terbaik mereka yang
kemudian di kenal dengan julukan Enam Dewa tanpa tanding….dua bulan lalu
saat kong-kong sedang bermeditasi, tiba-tiba seorang pemuda yang
mengaku bernama Han Sian muncul dan menyerahkan surat ini.” Tangan
kakek itu tiba-tiba menyodorkan suat surat pada Hee Liong yang segera
menyambutnya dan membaca.
Dalam surat itu berbunyi: “Demi terciptanya kembali keamanan dunia persilatan, mohon bantuan Enam Dewa Tanpa Tanding…”
“Siapakah pemuda itu kong-kong?”
“Hemm…dia sebaya denganmu dan mengaku bernama Han Sian. Anak muda
itu lihai sekali karena dia mewarisi Hui-Im-Hong-Sin-Kang dan Kui-Sian
I-sin-kang yang telah di kabarkan lenyap limaratus tahun lalu. Agaknya
hanya dengan menguasai Bu-kek-kang-sin-kang tahap ke sepuluh baru kau
bisa menandingi sama kuat dengannya.”
“Baik, kongkong, Liong-ji akan memperhatikan hal ini…mohon pamit?”
Habis berkata demikian, tubuhnya melesat lenyap bagaikan asap saja.
Pembaca, Khu Hee Liong adalah satu-satunya keturunan keluarga dari
Sian-thian-san yang sanggup menjebol ilmu dahsyat Bu-kek-kang-sin-kang
tahap sembilan di usianya yang masih muda itu.